“Setiap yang berjiwa pastilah akan sirna”, begitu kata al-Qur’an. Atau, “cukup kematian sebagai nasihat”, demikian Nabi pernah bersabda dan selalu diulang-ulang dalam acara pemakaman. Meski begitu, seharusnya nasihat itu tidak lantas hanya kita hadirkan saat acara pemakaman saja, tetapi memang bisa menghujam dalam sanubari dan menjadi pegangan dalam menjalani hidup sehari-hari.
Kemarin, Selasa pagi (18/2), kita dikagetkan dengan berita duka yang mendadak. Meminjam istilah media entertaiment, bak petir di siang bolong. Bagaimana kita sangat kaget pada kematian Ashraf Sinclair, suami dari aktris dan penyanyi kondang Bunga Citra Lestari. Dilaporkan dari berbagai media daring, Ashraf meninggal pada usia 40 tahun karena serangan jantung, pada pagi hari sekitar pukul 5.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sampun tilar ndunyo Sederek Ashraf Sinclair injing meniko. InsyaAlloh jenazah bade dipun sareaken bakda duhur. Nyuwun tambahi fatehah.
Matur suwun perhatosanipun.— NU Garis Lucu (@NUgarislucu) February 18, 2020
Sungguh kematian cukup menjadi pengingat kita agar tidak menjadi manusia yang sombong, jahat, penuh dendam dan takabur. Jelas bahwa kematian datangnya tak bisa diprediksi dan direncanakan. Karena memang kematian tidak hanya menyasar pada para tetua yang pesakitan, tetapi juga dapat melawat siapa saja dan di mana saja. Sehingga dari sana bekal dan pembenahan diri memang penting untuk selalu kita usahakan.
Menyediakan bekal berupa amalan yang baik tidak bisa kita tunda-tunda dengan dalih masih muda dan masih sehat, karena menjadi baik adalah sebuah proses yang hasilnya tidak bisa hadir atas kejadian satu dua hari, tetapi perlu latihan dan elaborasi setiap hari.
Ibnu Attoilah mengingatkan melalui hikmah yang ditulis dalam kitab Al-Hikam, bahwa “Kesungguhanmu dalam memperjuangan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesembalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu”
Dari hikmah itu kita bisa dapatkan bahwa ada sesuatu yang memang sudah disiapkan oleh Allah sehingga tidak perlu mati-matian kita mengusahakannya dan ada sesuatu yang perlu diusahakan karena kita tidak dijamin akan bagaimana hasilnya. Hal itu adalah menjadi manusia yang baik.
Menjadi manusia yang baik adalah proses yang perlu sesegera mungkin kita mulai. Menjadi manusia yang bermanfaat dan tidak menyakiti yang lain. Menjadi manusia yang ayem dan ngayemke orang disekitar karena kita punya perawakan yang baik dan sifat serta laku yang menyenangkan orang. Relasi kita pada diri sendiri, manusia lain dan lingkungan adalah bagian-bagian yang tentu menjadi fokus dalam menjadi manusia yang baik. Apalagi Nabi pun menyebutkan bahwa yang terbaik di antara kita adalah yang paling banyak memberikan manfaat.
Kematian adalah suatu keniscayaan dan pasti akan hadir untuk kita semua. Secerdas apapun seseorang, muaranya ia akan meninggal. Sekuat apapun orang, pada muaranya juga ia akan sampai pada liang lahat. Sampai sesakti apapun manusia, kematian adalah hal yang pasti hadir dalam hidup.
Harta segunung tidak akan membuat kematiakn bisa dinego mundur beberapa hari. Memiliki pengikut jutaan tidak lantas membuat kematian bisa ditawar juga. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan sudah menjadi kejelasan bagi Tuhan kapan dan di mana kita akan terpisah antara ruh dan raga.
Dari setiap kematian kita bisa belajar banyak hal untuk menjadi manusia yang lebih memanusiakan manusia. Dalam acara pemakaman kita bisa melihat hujan tangis dan suasana haru biru yang sering kali menjadi pertanda bahwa yang meninggal adalah orang baik. Pun di situasi lain kita bisa menemui orang meninggal yang malah membuat sekitarnya senang karena selama hidupnya ia sering berbuat onar.
Ada orang meninggal yang polanya seperti hewan tertabrak mobil, ramai sebentar setelah itu orang lupa. Dan ada orang meninggal yang sampai berbulan-bulan, bertahun-tahun tetap dikenang, diingat, dipelajari jasa dan pemikirannya. Tentu kita bisa memilih ingin meninggal dengan pola seperti apa dengan mengusahakan akhlak seperti apa yang akan kita amalkan sehari-hari.
Stephen Covey dalam penjelasan tentang menjadi manusia efektif, ia memaparkan bahwa salah satu langkah menjadi manusia yang efektif adalah dengan memikirkan ingin meninggal dikenang sebagai apa dan dalam keadaan seperti apa. Hal ini ia sebut sebagai “Begin with the End of Mind”. Seyogyanya memang kematian bisa menuntun kita dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Saat kita ingat akan kematian yang bisa datang kapanpun itu, kita dalam bergerak akan memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal itu bisa menjadi penuntun kita dalam memilih sikap dalam hidup. Yang pada akhirnya tidak menjadi persoalan juga kita akan mati kapan, tetapi akan seperti apa bentuk saat kita meninggal.
Dengan ingat pada kematian juga kita akan menjadi manusia yang tidak silau pada bujuk-rayu dunia. Dalam tasawuf, dunia adalah sesuatu yang akan menghijab mata batin kita dari pancaran Ilahi, sehingga dunia bukanlah tujuan yang harus dikejar mati-matian. Kita bisa memiliki dunia tetapi tidak menjadi budaknya. Sehingga seperti yang dicita-citakan Stephen Covey dalam menjadi manusia efektif, kita bisa merdeka secara personal dengan tidak banyak sesuatu yang menarik-narik diri kita dan membuat hidup sengsara. Dan tentu kembali lagi, benar adanya bahwa kematian adalah pengingat yang baik, semoga kita bisa meneladaninya.
Dalam mangkatnya Ashraf Sinclair kemarin, kita melihat banyak orang menangis dan begitu terpukul atas kematiannya. Tidak sedikit bahkan orang yang membagikan moment kebaikan bersama Ashraf, mulai dari seorang driver ojek online, sampai cerita yang mengungkap Ashraf yang kerap menyambangi panti asuhan.
Moga-moga ini memang pertanda bahwa mendiang diterima dengan baik di sana. Kita juga dalam kehidupan sehari-hari jarang mendengar kabar miring dari keluarga Ashraf dan BCL, semoga almarhum yang bersangkutan husnul khotimah. Amin.