Fakta sejarah menunjukkan bahwa proses transmisi hadis pada era Nabi lebih banyak didominasi oleh metode lisan ketimbang metode tulisan. Akibatnya, proses transmisi yang memakan waktu begitu panjang menggunakan metode lisan ini berdampak pada adanya interpretasi-interpretasi baru oleh pembawahnya sekaligus orang yang menerima hadis tersebut.
Perbedaan kapasitas intelektual para sahabat juga sangat mempengaruhi adanya reduksi terhadap redaksi hadis. Artinya, tidak semua sahabat memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, sehingga kualitas keilmuan mereka sangat mempengaruhi bagaimana matan atau redaksi hadis itu dibentuk. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pencatatan hadis secara maknawi jauh lebih massif daripada secara lafadz.
Selain itu, periwayatan hadis secara makna mempermudah proses transmisi hadis. Berbeda dengan al-Qur’an, yang sejak era sahabat sudah sangat massif ditulis secara lengkap. Bukti bahwa hadis tidak ditulis secara massal sebagaimana al-Qur’an menunjukkan bahwa agar hadis ditulis secara maknawi saja.
Di sisi lain, ada kemungkinan besar bahwa para perawi juga akan dimudahkan dalam penyusunan matan atau isi hadis tanpa keluar dari substansi makna hadis itu. Meskipun, dikalangan para perawi hadis, periwayatan hadis secara makna dan lafadz ini juga masih menimbulkan polemik. Namun demikian, para ahli hadis lebih banyak yang sepakat pada periwayatan secara makna ketimbang bersama lafadz sekaligus, hal ini semata-mata agar transmisi hadis lebih mudah dilakukan.
Sesuai dengan berjalannya waktu, periwayatan hadis secara makna ini pada akhirnya banyak melahirkan interpretasi baru dari para pembawa hadis. Misalnya, perbedaan kemampuan intelektual sangat mempengaruhi redaksi hadis, juga adanya kecenderungan berpikir secara berbeda, misalnya memiliki sikap politik yang berbeda, juga dapat mempengaruhi pelafalan sebuah redaksi hadis.
Fenomena semacam ini pada gilirannya sangatlah mempengaruhi cara bagaimana umat Islam dikemudian hari memahami hadis itu sendiri. Dalam perkembangannya, khususnya era setelah sahabat dan tabi’in, banyak umat Islam memahami hadis hanya sebatas teks yang dibaca saja. Pembacaan secara literal semacam ini tentu akan sangat berbahaya jika tidak memahami betul substansi dari teks hadis tersebut.
Kita tahu bahwa tidak semua hadis dicatat pada masa Nabi dan adanya bukti bahwa banyaknya periwayatan hadis secara makna ini telah memberi peluang besar munculnya pemalsuan hadis.
Secara garis besar, beberapa faktor penentu terhadap munculnya hadis-hadis palsu, menurut Mustafa as-Siba’i, dikarenakan adanya pertikaian politik, fanatisme kesukuan, daerah dan pemimpin, adanya perselisihan dengan para ahli kalam dan fikih, kurangnya memiliki pemahaman agama yang mumpuni, dan lain sebagainya. Semua faktor-faktor ini berawal dari adanya fleksibilitas dalam penulisan hadis yang mula-mula hanya ditekankan pada sisi makna saja, sementara lafadz bisa dibentuk sesuai kapasitas para perawinya.
Adanya fenomena pemalsuan hadis ini membuat para sahabat dan tabi’in bersusah payah melakukan perjalanan panjang keberbagai negeri. Misi mereka jelas yakni menyampaikan hadis-hadis orisinal yang mereka ketahui kepastiannya dan mulai mengumpulkan hadis-hadis yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Dengan demikian, umat Islam sudah seharusnya bersikap kritis terhadap penggunaan hadis dalam amaliyah maupun pengangan hidup. Tanpa sikap yang kritis, umat Islam akan sulit membedakan mana hadis yang orisinil dan mana yang palsu.
Di era kontemporer ini, fenomena pemalsuan hadis memang hampir tidak ada. Namun demikian, hadis-hadis palsu itu, yang muncul di era awal kodifikasi hadis, tetap ada dan tertulis di kitab-kitab selain yang umumnya dipakai untuk pegangan dan sumber hukum Islam. Sikap hati-hati harus tetap harus terus dilakukan dan umat Islam dianjurkan untuk lebih teliti memahami riwayat-riwayat hadis yang akan dijadikan pedoman hidup.
Sumber.
As-Siba’i, Muhammad Mustafa. As-Sunnah wa Makanatul fi al-Tasyri’ al-Islami. Qahirah: Min al-Masyriq wa al-Magrib, 1987.