Pernah mendengar kisah Rasululullah SAW menyuapi orang tua Yahudi? Walaupun kisah tersebut bersumber dari hadis daif, kita jadi bisa berfikir bahwa Rasulullah SAW tetap menjunjung tinggi akhlaknya, walaupun kepada orang yang berbeda agama dengan dia, bahkan dikisahkan bahwa orang tua Yahudi tersebut setiap hari mencela Rasulullah SAW. Arteria dahlan.
Sayangnya, akhlak Rasul, sebagai ajaran Rasulullah SAW yang paling inti, belum bisa diamalkan dengan baik oleh umatnya. Kejadian Arteria Dahlan mengamuk di depan orang yang dua kali lebih tau darinya, Prof. Emil Salim, kemarin memberi tanda kepada kita bahwa akhlak anak muda kepada orang tua, sebagaimana diajarkan Rasulullah tidak sepenuhnya mudah diamalkan.
Padahal, yang terjadi antara Arteria Dahlan dan Prof Emil Salim hanyalah perbedaan pendapat, jauh berbeda dengan kisah Rasulullah SAW dengan orang tua Yahudi yang disebutkan di atas. Perbedaan yang dihadapi Rasulullah bukan hanya sekedar berbeda pendapat. Jika hanya berbeda pendapat saja, seorang yang lebih muda seperti Arteria Dahlan tega berteriak-teriak seperti itu, bagaimana dengan perbedaan yang lebih kompleks lagi?
Dalam kasus lain, kita masih sering menemukan murid-murid yang membentak-bentak gurunya, bahkan dalam beberapa kasus, sang murid tega menganiaya gurunya. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa ada yang hilang dalam diri anak-anak muda, akhlak. Bahkan untuk menyikapi hal ini, Quraish Shihab secara khusus menulis buku yang berjudul “Yang hilang diri kita, Akhlak.”
Antara Akhlak dan Ilmu: Dahulukan Akhlak
Suatu hari Abdullah bin Mubarak ditanya perihal ilmu oleh salah satu sahabatnya. Peratanyaan sahabatnya saat itu adalah mana yang harus didahulukan belajar ilmu atau belajar akhlak. Dalam sebuah kitab tarajum yang ditulis oleh al-Mizi dalam kitabnya Tahdzibul Kamal diceritakan bahwa saat itu Abdullah ibn Mubarak menjawab bahwa akhlak yang harus didahulukan.
Ibn Mubarak bercerita, “Saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama dua puluh tahun, dan mereka (para ulama) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu.”
Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak apapun ilmu yang dimiliki, akhlak yang paling utama. Perbedaan adalah keniscayaan, tapi jika dibarengi dengan akhlak maka hilang sudah buah ilmu yang kita miliki.
Bagi alumni pesantren seperti saya, perbedaan pendapat saat diskusi dalam forum-forum keagamaan yang diselenggarakan pesantren, seperti Bahtsul Masail, adalah hal yang lumrah. Kadang kami gontok-gontokan dengan kelompok atau delegasi dari kelas lain, bahkan beberapa kali juga berbeda pendapat dengan para perumus yang notabenenya adalah guru-guru sepuh yang umurnya jauh di atas kita.
Namun buat saya dan teman-teman di pesantren, perbedaan dengan ustadz atau guru adalah hal yang wajar, selama kami menyampaikannya dengan baik dan sopan. Di luar forum kita masih akrab ngobrol bersama dan beberapa kali ngopi bersama.
Walhasil, kita sebagai anak muda, perlu lagi belajar, tidak hanya belajar ilmu, tapi juga mendalami kembali akhlak kita, terlebih akhlak kita kepada orang yang lebih tua. Apalagi dalam budaya ketimuran menghormati orang yang lebih tua adalah budaya yang sangat dijunjung tinggi.
Jika Rasulullah SAW saja bisa menghormati orang tua yang beragama Yahudi dan masih bersikap sopan santun dengannya, masak kita sebagai anak muda, hanya berbeda pendapat saja tega membentak-bentak orang tua.
Wallahu a’lam.