Aroma Politik Partisan di Balik Aksi Bela Tauhid dan Sejenisnya

Aroma Politik Partisan di Balik Aksi Bela Tauhid dan Sejenisnya

Benarkah ada muatan politik dan motif lain dalam Aksi Bela Tauhid dan sejenisnya yang marah di Indonesia?

Aroma Politik Partisan di Balik Aksi Bela Tauhid dan Sejenisnya
Aksi Bela Tauhid dituding dilakukan atas dasar politik. Benar nggak? (ANTARA FOTO/Bayu Satrio Wibow)

Di Damaskus, masjid Jami’ Al-Umawi berkali-kali dijadikan  “titik kumpul” dan “langkah awal” demo-demo atas nama Islam, keadilan, dan kemanusiaan. Tujuannya satu: menurunkan pemerintah yang sah, Bassar al-Assad, yang dituding zalim, kufur, koruptif, manpulatif, dan membahayakan masa depan umat Islam. Menggantikan dengan pemerintahan yang baru, yang diseru-serukan sebagai pemerintahan Islami, berkadilan, berkemanusiaan. Slogannya jelas benderang: sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.

Bagaimana bentuknya? Semua tahu, tiada lain ialah khilafah.  Persis posisi madjis Istiqlal kini….

Kendati deru-deru demo berjilid-jilid yang bikin letih mata, telinga, dan mulut semua kita itu, tak menabalkan dirinya dengan benderang sebagai pengusung sistem khilafah, kita tahu gerakan-gerakan itu sepenuhnya politis. Betul, bukan politik yang adiluhung layaknya seruan-seruan adiluhung para tokoh bangsa, para guru bangsa, dan para pemuka kemanusiaan, tetapi betul-betul adalah politik praktis-partisan-elektoral!

Aksi-aksi 212 hingga 211 –dalam jubelan jilidnya yang jika terus diabiarkan akan melampaui tebalnya jilid-jilid Tafsir al-Mishbah—itu serupa karakternya dengan aksi-aksi di Suriah yang tujuannya adalah partisan.

Dengan mempolitisasi hari Jum’at, lalau shalat Jum’at, dan sudah pasti masjid yang sakral di hati umat Islam, diproyeksikanlah gerakan-gerakan demo itu untuk sedari langkah awalnya mendulang sakralisasi. Padahal ia adalah sebenar-benarnya demo politik partisan.

Lebel-lebel Islam diusung ke masjid, lalu ke jalanan, diringkahi pekik-pekik takbir yang membahana, plus baju-baju putih dan pecis-pecis yang mewartakan sandang kealiman dan kesolehen, jadilah aksi-aksi itu tercitrakan sebagai “gerakan ulama”.

Umat yang awam –dan inilah populasi terbesarnya—didorong gelora rohaninya oleh kecintaannya kepada Islam, kepada Allah dan RasulNya, kepada kebenaran syariatNya, dibakar oleh orasi-orasi bermandikan kalimatullah dan label-label Islami itu, sempurnalah bergolak. Seolah yang tengah mereka ikuti, bela, pekiki, bahkan dengan perasaan-perasaan herois siap mati, adalah ‘izzul Islam wal muslimin, demi tegaknya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Mereka rela meninggalkan keluarganya, kampungya, pekerjaannya, dan tidur siangnya, demi agama Allah!

Kurang lengkap apa kedukan legitimasi The Sacred dalam aksi-aksi politis partisan itu?

Kurang satu saja: kurang kritisnya mayoritas umat Islam untuk mengendus sejak dini apa gerangan yang sesungguhnya disasar oleh para pemuka demo-demo itu.

Di satu sisi, maklumilah, faktanya umat Islam kita kebanyakan adalah kaum awam yang hanya tahu cara beribadah kepada Allah sebagai pengisi aktivitas spiritual kesehariannya. Mereka tak tahu politik, bahkan enggan mau tahu soal politik. Mereka hanya ingin hidup biasa-biasa saja dengan nyaman dan aman plus menjadi muslim yang berusaha taat kepada Allah dan RasulNya.

Di sisi lain, mereka memiliki keta’dhiman yang tinggi kepada guru-guru ngajinya. Apa pun yang dituturkan guru ngajinya, diamini. Maka ketika sang guru ngaji telah terkontaminasi oleh deraian narasi politik partisan yang dikemas dengan untaian-untain al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw, sontak tergeretlah semua jamaahnya. Ketika guru-guru ngajinya menyatakan akan turun ke jalan untuk ikut berdemo, katutlah semua jamaahnya.

Dan, jangan lupakan peran besar serbuan link-link yang berserakan di grup-grup Wasap. Dari grup RT, jamaah masjid, hingga alumni dan keluarga. Semuanya diserbu tanpa ampun dan jeda oleh gerakan politik partisan itu. Tentu saja, dengan bingkai-bingkai kalimatullah, ‘izzul Islam wal muslimin, dan libtighai mardhatillah.

Hal segaris juga menjadi karakter umat Islam urban yang kurang memiliki landsan pengetahuan keislaman yang mendalam, lalu merindukan kajian-kajian Islam, dan terjaringlah mereka dalam kelompok-kelompok semacam itu. Mereka adalah penyumbang besar bagi masifnya gerakan ini. Ya karena donasinya, ya karena meleknya pada teknologi, ya karena aksesnya pada ruang-ruang publik. Anda bisa menemukannya dengan mudah di banyak kantor-kantor besar di Jakarta, dari swasta hingga pemerintahan.

Seorang khatib Jum’at yang sudah sepuh di kampung saya berkhutbah dengan suara tinggi, betapa umat Islam akan segera hancur bila tak segera kita lawan dengan keras karena jutaan PKI telah siap, jutaan Syiah telah siap! Umat Islam akan dihancurkan di negeri ini! Kita semua akan diusir dari tanah kampung kita sendiri! Bagaimana bisa kita akan terus diam?! Ini karena pemerintahan yang ada sekarang adalah liberal, komunis, antek Yahudi, kawan kaum Syiah!

Anda pernah mendengarkan khutbah sejenis ini?

Dari mana sang bapak tua itu mendapatkan informasi yang tak masuk akal itu, yang seolah menempatkan intelijen kita sebagai kambing congek sampai tak tahu ada jutaan (catat: JUTAAN) orang yang siap melumat bangsa ini?

Jelas di antaranya dari link-link provokatif dan fitnah yang berserakan di gurp-grup Wasap. Menyedihkan sekali, tentu saja.

Lebih gahar lagi, para motor gerakan politik partisan berkedok marwah Islam itu menggerakkan opini publik pejoratif dengan cara menjatuhkan para ulama yang sebenar-benarnya ‘alim dan soleh. Mereka yang keilmuannya diakui luas dan dedikasinya pada bangsa dan kemanusiaan di negeri ini membentang panjang puluhan tahun, dihajar dengan tudingan-tudingan yang berorientasi hanya satu hal: pembunuhan karakter.

Prof. Quraish Shihab dituding Syiah, Prof. Buya Syafii Maarif dituding liberal, Gus Dur pun sama, Gus Mus pun senasib, hingga KH Ma’ruf Amin dan TGB. Pendeknya, siapa pun pemuka umat yang tidak menjadi bagian dari gerakan mereka, dihancurkan.

Anda ingat Syekh Said Ramadhan al-Buthi? Beliau adalah ulama besar Aswaja yang puluhan tahun mendedikasikan ilmu dan hidupnya demi syiar Islam. Lantaran berseberangan dengan para penggerak politik ganti presiden Assad itu, suatu hari di Masjid al-Iman, Damaskus, ia dibom beserta 45 muridnya saat sedang mengaji tafsir.

Provokasi, agitasi, fitnah, di dunia maya dan nyata, dihalalkan demi tercapainya tujuan politis itu. Pembunuhan karakter yang jelas-jelas haram hukumnya dilakukan begitu saja. Perpecahan umat Islam dalam ikhtilaf apa pun yang dilarang oleh Ali Imran diterabas begitu saja. Patuh kepada pemerintahan yang sah yang jelas-jelas qath’i dalam al-Qur’an diinjak begitu saja. Hadits Rasulullah Saw tentang “Siapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan berpisah dari jamaahnya, lalu mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah” diterjang begitu saja.

Bagaimana bisa Anda ikut-ikutan gerakan yang seperti itu, yang notabene secara qath’i bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan RasulNya? Bagaimana bisa Anda membiarkan diri menjadi bagian dari aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam tetapi nyatanya memicu keresahan, ketegangan, keruwetan, dan madharat yang mengancam harmoni bangsa ini?

Bagaimana bisa Anda menyediakan diri berpanas dan berlelah sedemikian rupa di bawah kibaran panji Islam dan pekik-pekik takbir, padahal yang ternisbatkan kemudian ke negeri ini hanyalah kesalingcurigaan, ketidaknyamanan, dan panasanya iklim bertetangga, berkawan, dan berbangsa?

Tak ada satu pun tuntunan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul yang membenaran kita menjadi bughat. Apa itu bughat? Ia adaah pemberontak dalam bentuk apa pun.

Negara ini punya prosedur legal yang jelas. Ada saluran aspirasi yang legal. Ada ranah hukum yang legal. Seyogianya, segala aspirasi disalurkan melalui jalan-jalan yang sah tersebut. Bukan dengan cara-cara yang membikin resah, kacau, saling curiga, dan bermusuhan.

Demo berjilid-jilid, aksi alumni berlapis-lapis, tagar-tagar ganti pemimpin yang sah, hingga eksploitasi manipulatif atas insiden bendera HTI di Garut itu, nyatanya hanya melesakkan perpecahan di antara umat Islam sendiri, di antara anak bangsa kita sendiri. Tragisnya, semua kepentingan politik praktis ini disahkan di ruang publik tanpa lagi malu dan takut sama Allah di saat mengatasnamakan Allah dan RasulNya.

Mari mawas diri, Lur. Berkritislah kepada apa pun, aksi-aksi apa pun, kajian-kajian apa pun, pengajian-pengajian apa pun, yang menggiring kita pada kebencian dan perpecahan. Tak peduli siapa pun khatibnya, penceramahnya, motornya, bila narasi-narasinya adalah kebencian kepada kamajemukan bangsa ini, kepada pemerintahan yang sah, maka jelas itu adalah bughat. Jauhilah segera. Carilah guru yang lain, pengajian yang lain.

Islam adalah sebenar-benar agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan la’natan lil ‘alamin.