Sampai saat ini, kesetaraan gender masih terus diperjuangkan oleh banyak perenpuan di seluruh belahan dunia, terutama di negara Arab Saudi (Kingdom of Saudi Arabia/Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Sa’udiyah). Artikel berjudul Gender Mainstream yang termuat dalam jurnal Perempuan mencatat World Summit for Social Development di Copenhagen yang diselenggarakan para tahun 1995 telah menegaskan bahwa kesetaraan gender merupakan strategi yang penting dalam penbangunan sosial ekonomi dan perlindungan lingkungan. Selain itu World Bank juga menegaskan bahwa kesetaraan gender adalah perdoalan mendasar dalam pembangunan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan negara mengembangkan diri, mengatasi kemiskinan dan menjalankan pemerintahan yang efektif. Maka negara yang ingin maju, sudah seharusnya memperhatikan masalah yang terkait dengan kesetaraan gender.
Arab Saudi adalah sebuah negara yang konservatif dalam perpaduan sosial dan agama, hal ini tampak jelas pada budaya homogen masyarakat yang terdiri atas kesukuan dan hubungan agama yang erat dan menjadikan negara ini unik. Namun dari keunikan tersebut sulit untuk membedakan antara prinsip Islam dengan adat atau budaya Arab. Kerajaan Arab Saudi merupakan entitas negara dengan identitas islam yang kuat sejak runtuhnya dinasti Turki Utsmani, 1924. Arab Saudi menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai dasar landasan konstitusi.
Menurut A Hamdan, 2005 dalam Women Education in Saudi Arabia: Challenges and Achievement, beberapa kepercayaan budaya Arab yang melarang perempuan mengendarai kendaraan yang kemudian menjadi bagian dari substansi hukum, bukanlah berasal dari hukum Islam, melainkan muncul dari upaya masyarakat dalam melestarikan budaya. Mayoritas masyarakat Arab Saudi meyakini bahwa tugas utama seorang perempuan adalah berada di rumah. Bahkan Arab Saudi memiliki undang-undang yang berhubungan dengan perempuan baik dalam kehidupan berkeluarga maupun melakukan aktivitas di kehidupannya sehari-hari.
Sementara dalam perspektif Islam, terdapat beberapa ayat Al-Quran yang menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam Q.S al-Nisa (4):124 yang menyebutkan:
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kesetaraan balasan bagi perempuan dan laki-laki dalam beramal saleh. Hal senada juga ditegaskan dalam ayat lain, seperti dalam al-Nahl (16):97 yang menyebutkan:
مَنۡ عَمِلَ صَالِحًـا مِّنۡ ذَكَرٍ اَوۡ اُنۡثٰى وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَلَـنُحۡيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةً ۚ وَلَـنَجۡزِيَـنَّهُمۡ اَجۡرَهُمۡ بِاَحۡسَنِ مَا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab berinterpretasi bahwa ayat tersebut sebagai penilaian kesalehan amal yang tidak membedakan jenis kelamin. Ketegasan lebih general tentang kedudukan manusia disebutkan dalam Q.S al-Hujurat (49): 13 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Musda Mulia, salah seorang feminis Indonesia menginterpretasikan ayat ini tentang ajaran Islam yang membebaskan manusia dari ketidak adilan gender. Suku dan bangsa yang berbeda, jenis kelamin laki-laki dan perempuan bukanlah penentu kemuliaan seseorang, karena kemuliaan di sisi Allah ditentukan oleh kadar ketakwaan setiap individu. Namun demikian, meskipun beberapa ayat al-Quran menjelaskan tentang kesetaraan gender, namun interpretasi yang membatasi ruang sosial perempuan juga banyak seperti yang selama ini dipahami oleh Arab Saudi.
Arab Saudi, sebagai negara produsen minyak terbesar di dunia, pendapatan terbesar Arab Saudi berasal dari penjualan minyak bahkan telah menjadi negara yang memilki ketergantungan tinggi pada minyak, anjloknya harga minyak pada tahun 2014 membuat Arab Saudi harus berfikir keras tentang ketahanan ekonomi negara. Oleh karena itu, digagaslah visi 2030 Arab Saudi oleh putra mahkota Raja Salman sebagai satu terobosan besar yang ambisius untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dalam sektor ekonomi negara. Tidak hanya dalam sektor ekonomi saja, melainkan mengembangkan sektor layanan umum seperti Kesehatan, Pendidikan, infrastruktur, hiburan dan pariwisata. Untuk merealisasikan visi 2030, maka diperlukan perubahan di beberapa bidang, seperti kebudayaan, sosial, politik, hukum, mapun keagamaan. Visi 2030 Arab Saudi mengarah pada corak keberagamaan yang lebih moderat, karena visi 2030 merupakan visi yang memiliki corak terbuka pada budaya dan peradaban luar. Sehingga apabila Arab Saudi masih bertahan dengan model Islam Wahabisme, perubahan yang diinginkan akan sulit tercapai.
Kebijakan tentang kedudukan perempuan mulai bermunculan setelah Visi Saudi 2030 yang dicanangkan oleh Mohammad bin Salman. Kebijakan Arab Saudi dalam pembatasan ruang sosial perempuan mulai dicabut. Kebijakan pertama yang dicabut adalah larangan perempuan mengendarai kendaraan. Pada Juni 2018, Arab Saudi mulai mengizinkan perempuan Arab Saudi untuk mengendai kendaraan. Perempuan juga mulai diizinkan memasuki stadion dibarengi dengan fasilitas pada stadion yang awalnya harus disediakan toilet untuk laki-laki saja, saat ini toilet untuk perempuan juga disediakan. (AN)