Bersongkok hitam dan bersarung, beberapa mengenakan dasi panjang. Beberapa juga mengenakan jas meski lebih banyak yang berbusana putih lengan panjang. Di bibir meja, hadirin duduk dengan penuh khidmat. Dengan kepala agak menunduk dan menoleh ke ujung meja serta tangan pada paha masing-masing. Mereka berlomba menyimak ulasan dari seorang muda yang memunggungi papan tulis.
Seorang muda itu, bertubuh tegap. Ekspresinya penuh kharisma. Wajahnya memancarkan keramahan sekaligus wibawa. Dari balik kaca mata, ada bening hati yang terpancar, yang akan mengeyuhkan siapa saja. Gestur tubuhnya santun mengalir, artikulasinya tampak lantang. Seolah ada samudra pengetahuan yang sedang disampaikan. Tetapi, ia merangkainya selaksa embun yang menetas pada daun-daun kering. Entah bagaimana aku jadi tahu, kelak, Kiai Musa menikahkan pemuda itu dengan putrinya. Mungkin bila berjumpa, Layla juga akan melupakan Qais demi pemuda itu.
Dengan berat hati, langkah kaki menuntut untuk beranjak. Meninggalkan perkumpulan. “Sepertinya aku tahu betul siapa pemuda tersebut,” gumamku. Beberapa langkah kemudian aku menoleh ke belakang. Berharap ingat, menuntaskan tanya. Tetapi kaki semakin memaksa melangkah. Semakin bias dari gedung bertingkat dua berarsitektur eropa kuno. Menuju antah cahaya.
Tanganku mengais-ngais, menyibak kilauan cahaya. Mencari tuju kemana kaki ini pergi. Di balik kabut yang memburamkan mata, samar, mulai tampak sebuah gedung berlantai tiga. Dan semakin jelas. Bangunan yang menjulang di antara bangunan lain. Bangunan yang mencolok sebab beberapa orang berkerumun pada jendela lebar tak bertirai. Di atas pintu, terdapat papan nama berlatar hijau bertuliskan Tashwirul Afkar. Ornamen dan kaligrafinya meneduhkan pandang. Menyulut rindu akan Tanah Haram.
Di dalam, di ruang utama, orang-orang beradu raut. Seperti saling balas argumen. Dari dua saf kursi yang melingkar, sesekali hadirin mengacungkan tangan. Sedangkan orang-orang yang berdiri di belakang kursi juga sesekali menggebrak bangku yang membatasi pergolakan pemikiran mereka.
Penciumanku menangkap aroma tembakau. Ada kepulan asap menyembul dari arah belakang. “Subhanallah,” kutengok, adalah pemuda yang kujumpai tadi. Ia melayang senyum menyimak perdebatan. Pemuda santun nan wibawa. Getar dadaku merambat ke sekujur diri. Di ujung bara udud kemudian ia berdiri tepat di hadapanku. Seisi ruangan terdiam hormat. Hening. Ia mendekat. Menabrak aku, yang ternyata hanya siluet. Seperti asap terakhir pada lilin.
Ia menyampaikan paparan-paparan kepada hadirin. Seolah tak menyadari telah menembus tubuhku yang kian pudar. Di antara hujaman tanya pada benakku, pandanganku yang kabur melihat ia dengan santun menengahi perdebatan sengit tersebut. Semakin pudar aku seperti jatuh dari ketinggian. Tercebur dalam adukan cahaya. Tubuhku terguncang diombang-ambingkan pusaran entah.
“Allahummarhamnaa, yaa Allah, tuntunlah hamba yaa Rohiym,” aku bersimpuh. Luruh. Mempasrahkan segala tanya. Mempasrahkan segala gejolak rasa. Mempasrahkan segala tiba. Air mataku turut mengiba pengampunan. Darah dan sum-sum tulangku bersimpuh atas Kuasa. Begitu hening dan detak jantung seperti dentum meriam yang menyambut Raja dari para raja.
Dalam badai yang mulai reda tubuhku semakin terkulai. Dadaku masih mengempiskan nafas yang tersenggal. Pada kesadaran yang kian tipis aku mencari sadar. Aku berada di antara suadagar-saudagar. Pada kedip mata yang tak berdaya aku mencoba membaca situasi. Membaca gerak bibir mereka.
###
“Pemuda yang kamu jumpai berulang-ulang tadi, beliaulah Mbah Wahab”
“Mbah Wahab?” tanyaku pada Yai Kamit setelah beberapa jenak.
“Ya, beliau yang sering kamu sebut dalam tawassulmu.”
“MaasyaaAlloh. Mbah Abdul Wahab Chasbulloh, Yi?”
Yai Kamit mengangguk. Menggantung senyum. Betapa hati ini berbunga bungah-bungah ruah. Walau usai diterjang ruang—waktu. Ternyata benar aku merasa akrab dengan pemudah itu. Hampir setiap waktu kulantunkan sholawat burdah, ijazah dari guruku, guruku dari gurunya, santri beliau.
Di dinding kamar, kubingkai foto Mbah Wahab yang sedang bercengkerama dengan Mbah Bisri. Di dinding ruang tamu, kubingkai foto Mbah Wahab yang sedang berpidato di hadapan ribuan Muktamirin. Ayal saja terbesit keakraban. Beberapa sasar agaknya telah tuntas terjawab. “Yaa Muqollibalquluub,” dzikirku bertubi-tubi. Berusaha meredakan geligis yang masih kerasan, bahkan di ujung jari.
“Tetapi, Yi,” lamat, kupilih-pilah kata, yang paling santun, agar sekiranya Yi Kamit tak tersinggung, “Bukankah, panjenengan sampun?” slap. Aku ditampar kilatan cahaya!
###
Ini waktu aku berada di teras rumah berarsitek Jawa. Halamannya cukup luas. Di bawah teduh pohon jambu anak kecil bermain lompat tali. Ada yang bermain layang-layang sembari mendendangkan tembang-tembang dolanan. Di samping rumah juga ada yang sedang asik berpetak umpet. Tawa riang mereka memancing paksa senyumku.
Berselang kemudian kakiku mensyaratkan masuk ke ruang tamu. Kuturuti saja. Meski sebenarnya enggan. Karena pintunya terbuka lebar dan aku tahu sedang tak ada tuan rumah. Hanya sepi dan sayup yang mempersilahkan. Menduduki kursi kayu. Lalu tiupan menyibakkan serakan lembaran-lembaran pada meja beranyam rotan. Seperti ada seseorang sedang khusyuk membaca.
Kudekati, kubaca. Pada halaman muka, sepertiga halaman atasnya tertulis bahasa Arab. Tepat di bawahnya terdapat bahasa asing, Half Maandblad, yang sepertinya bahasa Belanda. Mungkin itu berarti terbitan ke sekian. Di bawahnya lagi, terdapat tulisan Berita Nahdlatoel ‘Oelama. Ku hela, helai demi helai.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik-pekik takbir menghiruk. Belum genap lembaran-lembaran berlumur tuah ini semakin membenamkan. Aku tersentak. Berdiri. Bergegas lari melintasi lapang cahaya untuk menemu datangnya suara. Di setiap jengkal langkah panjang, kegelisahan dan kemungkinan beradu. Apa mungkin, Mbah Wahab sedang memimpin Laskar Mujahidin? Ah. Sekencang-kencangnya pacu kaki hanya menyeretku pada sejarah. Sebagaimana cerita dari Gus Idris ketika kami mengaji Ihya’.
Saat itu Kiai Kholil tiba-tiba memanggil semua santrinya. “Anak-anakku, mulai hari ini kalian harus memperketat penjagaan di pondok. Pintu gerbang harus selalu dijaga, karena sebentar lagi akan ada macan yang memasuki pondok.” Mendengar dawuh dari guru yang begitu dihormati, para santri kemudian bergegas mempersiapkan diri. Hari demi hari penjagaan semakin diperketat. Tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan diri.
Memasuki minggu ketiga, datanglah seorang pemuda bertubuh kurus. “Assalamualaikum,” ucap pemuda itu dengan santun dan lirih. Mendengar salam tersebut, Kiai Kholil justru memanggil santri-santrinya “Hai santri semua, ada macan! macan! ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok!” Mendengar teriakan Kiai, semua santri berhamburan dari pos penjagaan, masing-masing datang membawa apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi. Pemuda itu nampak pucat. Dan tak memiliki pilihan lain kecuali melarikan diri. Namun karena tekad ingin nyantri begitu kuat, keesokan harinya pemuda itu datang lagi. Belum sempat melewati pintu gerbang pemuda itu langsung disambut dengan pengusiran-pengusiran. Begitu juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda penuh tekad ini memasuki pesantren secara diam-diam. Karena lelah dan rasa takut, akhirnya pemuda itu tertidur di bawah kentongan di surau pesantren. Secara tidak terduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya. Lalu pemuda itu diajak ke kediaman Kiai Kholil. Setelah basa-basi panjang akhirnya pemuda itu diterima sebagai santri Kiai Kholil.
“Pemuda itu bernama KH. Abdul Wahab Hasbulloh,” pungkas Gus Id.
Setelah menembus tembok markas, aku terhenyak. Rupanya dugaanku benar. Bukan kematian begitu menggetarkan nyali. Tetapi, sosok yang dulu oleh Mbah Kholil disebut sebagai macan, kini kembali memimpin kawanan. Lantunan Syubbanul Wathon menggema. Ribuan santri gagah menyerbu, menerjang hamburan peluru. Berawan hizib yang dirampal para Kiai khos. Aku ikut maju.
Tetapi. Perlahan, lajuku terhenti di Wonokromo. Tiba-tiba air mata gulana dari segala nestapaku meluap. Oleh khutbah iftitah Mbah Wahab.
*Achmad Muchammad Kamil,