Bermula dari komentar saya atas postingan seorang kawan di status media sosialnya, kami pun terlibat diskusi kecil. Dalam postingannya, dia membagikan berita tentang meninggalnya 100 anak hafidz-hafidzah di Afghanistan akibat serangan udara sebuah helikopter. Anak-anak ini meninggal di hari bahagia kelulusannya.
Kawan saya menyayangkan para generasi penghafal al-Qur’an tersebut menjadi korban. Dia juga menyalahkan Amerika sebagai dalang penyerangan yang kemungkinan besar sudah direncakan tersebut. Amerika –menurutnya– tidak suka terhadap calon pempimpin masa depan dari generasi Qur’ani yang tangguh jiwa dan raganya. Lebih jauh lagi, barangkali Amerika memang tidak suka Islam.
Melihat kabar duka yang dibagikan sang kawan, saya turut empati sekaligus skeptis. Muncul rasa haru sekaligus pertanyaan di kepala saya: Apakah benar jumlah korban tepat di angka 100? Apakah benar Amerika menjadi tersangka utama dan satu-satunya? Apakah benar latar belakang penyerangan adalah kebencian terhadap para penghafal al-Qur’an (atau Islam)?
Sejauh perjalanan membunuh rasa penasaran itu, berbagai portal berita (nasional/internasional) yang saya baca terkait pemberitaan bahkan bertolak belakang dengan informasi yang disebarnya. Benar ada penyerangan, tapi tidak ada angka 100 pada hitungan korban. Tidak ada pula keterlibatan Amerika. Juga tidak ada indikasi kesengajaan melukai penduduk sipil, apalagi dalih “menghancurkan” Islam.
Penyerangan itu terjadi pada awal April lalu. Operasi udara yang dilancarkan militer Afghanistan ke Distrik Dashte Archi, Provinsi Kunduz ditujukan untuk menyapu kelompok Taliban yang sedang berkumpul di sana. Meski rencananya Pemerintah Afghanistan menyasar para komandan Taliban dan anak buahnya, naas saja bom yang dijatuhkan juga menimpa sebuah madrasah.
Pemerintah Afghanistan secara resmi mengakui bahwa penyerangan ini berada di bawah tanggungjawabnya. Tentu saja pihak Amerika yang berada di Afghanistan pun menyangkal keras bahwa dirinya terlibat. Terkait korban, tidak ditemukan data jumlah secara pasti, baik dari pihak Taliban maupun penduduk sipil. Sebagian besar media melaporkan jumlah korban meninggal dan terluka mencapai lebih dari 100 orang.
Verifikasi data seperti ini setidaknya mencegah saya untuk berempati secara membabi buta.
Seperti kita tahu, Amerika memang menjadi sekutu pemerintah Afghanistan dalam memerangi kelompok Taliban. Sepanjang sejarahnya, negara adidaya itu juga meninggalkan jejak darah di berbagai pergolakan konflik Timur Tengah. Tapi bukan berarti kita harus secara otomatis menyalahkan Amerika ketika ada umat Islam yang menjadi korban dan langsung menuduhnya anti-Islam. Kompleksitas geopolitik di Timur Tengah tidak sesederhana itu.
Di Indonesia, Amerika hanyalah satu entitas yang sering diwaspadai dan dijadikan musuh bersama (common enemy) berbarengan dengan subjek lainnya: Asing, Aseng, Komunis, Freemason, Illuminati, dan Yahudi. Meski tidak menyeluruh, masih banyak masyarakat kita yang percaya bahwa Amerika dan kawan-kawan adalah iblis yang tak ada baik-baiknya.
Jadi jangan heran, misal ada berita tentang suatu huru-hara yang menuduh salah satu di antara musuh bersama tadi sebagai dalangnya, berita itu bisa menyebar secepat api membakar jenggot. Banyak orang langsung percaya tanpa merasa harus mengkroscek kebenarannya. Ujungnya, berita itu akan banyak dibagikan disertai dengan himbauan atau makian.
Kita ambil contoh bagaimana sentimen anti-Yahudi digulirkan di negara kita. Disulut oleh konflik Palestina dengan Israel, masyarakat Indonesia berbondong-bondong memberi dukungan Palestina sebagai bangsa yang ditindas. Dukungan ini bisa atas nama kemanusiaan atau juga sentimen keagamaan.
Lebih jauh lagi, kaum Yahudi kemudian dipandang sebagai kelompok yang patut dibenci dan haram hukumnya untuk diberi ruang dalam hati kita. Yahudi juga diidentikkan dengan kelompok pembenci Islam, ingin menghancurkannya dengan cara-cara yang halus, bahkan Yahudi juga dianggap ingin menguasai dunia dengan segala konspirasinya.
Lantas, apakah benar Yahudi adalah pusat dari segala kekacauan di dunia ini? Sebagaimana banyak berita mengabarkan dan cerita konspirasi menuturkan. Baiklah, mari kita jernihkan dulu apa dan siapa itu Yahudi!
Kita harus bisa membedakan Yahudi sebagai ras, Judaisme sebagai kepercayaan, dan Zionisme sebagai ideologi politik. Orang-orang Yahudi sangat beragam, sebagaimana kita yang berasal dari kelompok masyarakat Jawa, Bali, atau Papua. Dalam menganut kepercayaan pun sama halnya, sebagian dari mereka ada yang memeluk Judaisme, Islam, Kristen, atau bahkan agnostik dan ateis.
Tidak semua orang Yahudi menganut ideologi Zionisme. Artinya, tidak semua di antara mereka percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di Yerusalem. Ada banyak kaum Yahudi sendiri yang menentang itu, baik mereka yang berada di Israel ataupun yang tinggal di luar Israel.
Di antaranya adalah JVP (Jewish Voice for Peace), komunitas Yahudi di Amerika yang aktif menolak berdirinya negara Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina. Ada juga Neturei Karta, kelompok ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri terdapat berbagai kelompok, salah satunya adalah Maki: Partai komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina. Ya, mereka ini sudah Yahudi, komunis pula, tapi malah membela Palestina mati-matian. Bingung kan?
Akhir kata, saya hanya ingin menyarankan bahwa ada baiknya kita membenci apa yang kita pahami saja, pun dengan mencintai. Tidak semua yang jahat di dunia ini sama sekali tak pernah berbuat baik, tidak pula yang baik di dunia ini bersih dari perbuatan jahat. Kita dituntut adil sejak dalam pikiran, saudara-saudara.
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.