Sebagian sebasar kita pasti pernah berhutang atau memberikan hutangan. Lalu apakah Islam memberikan aturan terkait hutang piutang ini? Seperti perihal mencatat nominal uang yang dipinjam serta anggaran pembayarannya? Tentu saja iya. Allah SWT berfirman terkait perihal hutang dalam satu ayat panjang dalam surat al-Baqarah, yaitu ayat 282. Ayat tersebut menjadi ayat paling panjang dalam al-Qur’an. Dalam potongan ayat tersebut, Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“ …dan janganlah kamu bosan untuk mencatatnya pada batasan waktunya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Yang demikian akan lebih adil di sisi Allah SWT, dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan mendekatkan pada ketidakraguan, kecuali dalam urusan perdagangan tunai di antara kamu maka tidak ada dosa bagi kamu jika tidak mencatatnya…”.
Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat terkait hukum menulis atau mencatat di sini. Apakah hal tersebut wajib atau sunnah. Dalam suatu Hadis dijelaskan bahwa mencatat hutang walaupun nominal uangnya kecil adalah wajib. Kemudian, dijelaskan lagi dengan Hadis lain, Ibnu Zaid dan Ibn Jurayj dari Abu Sa’id al-Khudri berkata bahwa sampai turun ayat setelahnya yang artinya “jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat hutangnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah SWT” maka kewajiban mencatat anggaran hutang dihukumi “rukhsah” sebagai keringanan. Dengan syarat, ada saling percaya menjaga amanat hutang tersebut. Artinya, orang yang dihutangi adalah orang yang dapat dipercaya.
Kemudian, dalam penjelasan Imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya bahwa makna dari “tulislah” di sini adalah mencatat dan mendatangkan saksi, karena jika hanya catatan maka itu tidak kuat untuk menjadi hujjah tanpa didatangkan saksi. Sedangkan dari penjelasan Ibnu Katsir bahwa wajib hukumnya untuk mencatat anggaran hutang baik dalam jumlah yang sedikit dan banyak, karena hal tersebut lebih mendekati adil dan keragu-raguan. Kecuali, pada jual beli kontan maka tidak wajib untuk mencatat anggarannya karena supaya proses transaksi berjalan lebih cepat dan mudah.
Jumhur (kebanyakan ulama) akhirnya menyimpulkan bahwa hukum mencatat anggaran hutang baik sedikit maupun dalam jumlah banyak adalah sunnah atau nadb dengan syarat saling amanah dan orang yang dihutangi adalah orang yang dapat dipercaya, namun jika orang yang dihutangi diduga kurang dapat dipercaya maka hukum mencatat anggaran hutang adalah wajib. Karena diwajibnya mencatat anggaran hutang adalah untuk tidak adanya kekeliruan maupun kesalahan jumlah uang atau barang sebab lupa. Untuk itu, jika ada rasa khawatir lupa maka lebih baik untuk dicatat.