Beberapa hari yang lalu, Walikota Banjarmasin menyatakan dukungannya kepada program Geopark di wilayah pegunungan Meratus, dengan alasan program tersebut adalah solusi paling jitu yang bisa menyelamatkan Meratus dari kerusakan lingkungan. Pegunungan Meratus yang membentang 600 km di wilayah Kalimantan Selatan, disebut sebagai atap dari Kalimantan Selatan dan tempat tinggal dari masyarakat adat Meratus yang bermukim di sana sudah sejak lama.
Isu Geopark di pegunungan Meratus ramai diperbincangkan pasca diresmikan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai program perlindungan dari keragaman hayati dan budaya yang ada di pengunungan Meratus, yang di saat yang hampir bersamaan mendapatkan “hadiah” dari Pemerintah Indonesia, karena menerbitkan izin eksplorasi penambangan di bagian terakhir yang belum terkena dampak tambang, yaitu Hulu Sungai Tengah. Padahal, geopark bagi banyak pejuang lingkungan bukan jawaban yang baik untuk konflik agraria seperti Meratus, maka banyak penolakan terhadap program tersebut.
Kasus Meratus hanya salah satu dari sekian banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Di tengah isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena munculnya pembahasan revisi Undang-Undang KPK di Dewan Perwakilan Rakyat RI, isu konflik tanah masih terus terjadi. Kemarin, konflik di Urutsewu antara masyarakat dan TNI menjadi fakta tak terbantahkan bagaimana lemahnya perlindungan bagi rakyat berhadapan dengan kekuasaan Negara atau korporasi.
Sebelumnya, Papua bergejolak panas sepanjang beberapa minggu terakhir juga berujung pada permasalahan penguasaan tanah atau kolonialisasi (baca:penjajahan). I Ngurah Suryawan menyebutkan dalam opininya bahwa permasalahan di Papua diawali dari tindakan Negara yang mengangkangi rakyat di sana atas hak tanah mereka.
Pangkal keinginan penguasaan yang berujung pada konflik tanah adalah pemenuhan atas konsumsi manusia atas kehidupannya, yang terus meningkat dan makin tidak terkendali. Sebab, mengurangi dampak lingkungan dari ekonomi politik global akibat kenaikan konsumsi ini adalah salah satu tantangan tata kelola terbesar abad ke-20, jika bukan yang terbesar. Melakukan hal itu akan membutuhkan pemahaman yang jauh lebih baik tentang bagaimana, mengapa, dan sejauh mana konsumsi berkontribusi terhadap perubahan lingkungan global.
Manusia membeli barang karena berbagai alasan. Yaitu, kebutuhan, kebiasaan, kepercayaan, keinginan, ketakutan. Sebagian besar konsumen kaya bebas memilih di antara banyak produk. Meski begitu, ekonomi politik global menentukan “opsi” serta memandu “pilihan” kolektif konsumen. Iklan masyarakat adalah salah satu senjata dari kekuatan ekonomi politik global dalam menggiring “pilihan” masyarakat untuk membeli. Di sinilah awal peningkatan konsumsi manusia atas barang-barang yang dibuat dari berbagai bahan yang diambil secara massif dari alam.
Mungkin kita tidak lupa, fenomena “kayu Bajakah” yang dianggap memiliki khasiat menyembuhkan beberapa penyakit kanker. Fenomena tersebut yang kemudian diliput oleh salah satu televisi swasta, membuat demand terhadap kayu tersebut menjadi meningkat cukup drastis. Kekhawatiran pun muncul karena permintaan yang massif membuat eksplorasi warga di hutan-hutan untuk mencari kayu tersebut malah berdampak negatif karena alam hutan rentan rusak.
Kerusakan alam yang cukup parah di Kalimantan dan Sumatera yang menghadiahi Indonesia dan Malaysia dengan kepulan asap yang tidak kunjung berhenti, adalah dampak paling dirasakan beberapa bulan ini. Narasi perlawanan terhadap kondisi kerusakan alam ini masih belum mampu menghentikan dampak lingkungan yang dirasakan sekarang. Misalnya, fatwa haram atas penambangan belum terlalu terasa bisa menghentikan lobang-lobang tambang yang terus bertambah. Di Banjarmasin, asap dilawan dengan himbauan untuk memperbanyak berdoa dan salat sunat meminta hujan. Apakah agama kehilangan kemampuannya untuk menghentikan perilaku merusak dari umatnya?
Perusak alam berserta seluruh kronconya tidak bisa dilihat dari agamanya, tapi tuntunan moral agama seharusnya bisa menjadi panduan agar berhenti melakukan kerusakan alam. Urgensi untuk merumuskan teologi pembebasan ala Islam yang disandarkan pada kondisi sosial Indonesia sudah semakin urgen.
Teolog Gustavo Gutierrez di Peru berhasil membangkitkan sisi tanggung jawab sosial dari agama, untuk menjadi pembela bagi rakyat marjinal berhadapan dengan korporasi dan kekuasaan negara yang lalim. Kontruksi pengetahuan Islam yang dikonsumsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia harus menjadikan umat merenungkan apa tanggung jawab agama dan yang harus dilakukan agama secara konkrit dalam konteks pemiskinan struktural dan kerusakan alam yang massif ini.
Kalau umat cuma diminta bersabar dan berdoa maka apakah agama kita (baca: Islam) sudah terjatuh pada stigma Karl Marx, Die Religion … ist das Opium des Volkes (agama adalah opium bagi masyarakat). Mari berjuang bersama mewujudkan Islam sebagai agama progresif yang mampu menjadi pembela bagi umatnya.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin