Di pesantren-pesantren Indonesia umumnya diajarkan satu keyakinan bahwa sifat yang wajib bagi Allah itu jumlahnya ada dua puluh. Di antara sifat-sifat itu ialah sifat wujûd, qidam, baqâ, mukhâlafah lil hawâdits, wahdâniyyah, qudrah, irâdah, ilm, hayâh, dan sifat-sifat yang lain. Namun, kalau kita kaji secara lebih serius, perumusan dua puluh sifat itu sebenarnya hanya merujuk pada salah satu mazhab saja dalam Islam, yaitu mazhab Asy’ari. Sebab, sekte-sekter yang lain, seperti Muktazilah, misalnya, tidak meyakini sifat-sifat yang persis berjumlah dua puluh itu. Muktazilah meyakini bahwa sifat itu adalah Dzat itu sendiri (al-Shifât ‘ain al-Dzât), bukan sesuatu yang berbeda dengan Dzat (ghair zâid ‘alâ al-Dzât).
Bahkan, dalam mazhab Asy’ari sendiri, terutama generasi awal (mutaqaddimûn), tidak menyebutkan adanya dua puluh sifat itu secara persis. Pembagian sifat dua puluh pada umumnya dirumuskan oleh Asya’irah generasi akhir (mutaakkhirûn). Sifat dua puluh, dalam pandangan Asyairah generasi akhir ini, dibagi kedalam empat kelompok.
Pertama, sifat nafsiyyah, dan sifatnya hanya ada satu, yaitu sifat wujûd. Kedua, sifât salbiyyah, jumlahnya ada lima, yaitu qidam, baqa, mukhâlafah lil hawâdits, qiyâmuhu binafsihi, wahdâniyyah. Ketiga, sifât ma’âni, jumlahnya ada tujuh, yaitu qudrah, iradah, ‘ilm, hayât, sama’, bashar, dan kalâm. Keempat, sifât ma’nawiyyah. Ma’nawiyyah ini adalah bentuk penegasan dari berlakunya sifat ma’ani bagi Dzat Allah Swt. Jumlahnya juga ada tujuh, yaitu qâdiran, murîdan, ‘âliman, hayyan, samî’an, bashîran, mutakalliman.
Inilah pengelompokan sifat-sifat Tuhan yang dirumuskan oleh para ulama Asyairah, yang dipelajari secara luas di pesantren-pesantren Indonesia. Sementara pembagian sifat versi Asyairah generasi awal hanya terhenti pada sifat ma’ani saja, yang jumlahnya ada tujuh itu. Karena itu sifat yang mereka sebutkan hanya ada tiga belas. Dengan alasan bahwa ma’nawiyyah bukanlah sifat tambahan. Sifat ma’nawiyyah tidak lebih dari sekedar penegasan atas berlakunya sifat ma’ani bagi Dzat Allah Swt. Orang yang sudah percaya pada sifat ma’âni pastilah percaya dengan sifat ma’nawiyyah. Kelompok Maturidiyyah punya pandangan berbeda lagi. Mereka menyertakan satu sifat yang mereka sebut dengan sifat al-Takwîn. Bukan di sini tempatnya menguraikan tentang makna sifat itu.
Yang jelas, mazhab-mazhab lain punya pandangan berbeda dengan mazhab Asy’ari yang kita pelajari di pesantren-pesantren itu. Namun, betapapun tajamnya, perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan sifat, bukan dzat. Semua sepakat bahwa Dzat Tuhan itu hanya ada satu. Sedangkan sifat-Nya, menurut mazhab Asy’ari, ada dua puluh.
Pembagian sifat yang berjumlah dua puluh itu murni berasal dari kalangan Asya’irah. Merekalah mazhab yang—seperti yang dikatakan Grand Syekh al-Azhar—dianut oleh mayoritas umat Muslim di dunia ini. Tidak heran kalau pembelajaran tentang sifat-sifat tersebut bisa kita temukan di pesantren-pesantren tanah air.
Namun, pertanyaan selanjutnya yang muncul ke permukaan ialah: Apakah dengan meyakini sifat yang dua puluh itu kita hendak membatasi sifat Allah dengan angka dua puluh saja? Apakah dengan begitu kita tidak percaya dengan sifat-sifat Allah yang lain? Bukankah di luar sana juga ada sifat-sifat Allah lain yang tidak dimasukkan kedalam dua puluh sifat itu? Inilah pertanyaan yang kerap dijawab secara keliru oleh kelompok Salafi-Wahabi.
Mereka mengira bahwa dengan mengimani dua puluh sifat itu kita—para penganut mazhab Asy’ari—tidak beriman pada sifat-sifat yang lain. Padahal nyatanya tidak begitu. Asyairah (para penganut mazhab Asy’ari) meyakini semua sifat yang Allah sebutkan dalam wahyu-Nya. Semua sifat yang mengandung makna keagungan, kesempurnaan, dan keindahan, itu berlaku bagi Allah Swt. Baik yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, baik yang tersampaikan, maupun yang tidak tersampaikan. Kita semua harus meyakini itu.
Poin ini perlu kita tegaskan sejak awal. Bahwa pada dasarnya kita beriman dengan semua sifat yang Allah nisbatkan kepada diri-Nya. Tidak ada yang kita ingkari. Artinya keimanan kita tidak hanya terbatas pada dua puluh sifat saja. Semua sifat yang mengandung makna keagungan, kesempurnaan dan keindahan berlaku bagi Allah. Lalu, kalau begitu, mengapa kita hanya menyebutkan dua puluh sifat itu saja dalam pembelajaran akidah? Bukankah sifat Allah itu banyak? Dan kalau banyak, mengapa yang disebutkan hanya ada dua puluh?
Jawabannya, betul, sifat Allah lebih dari dua puluh. Sifat Allah itu banyak. Tidak mungkin Tuhan yang Maha segala-galanya hanya memiliki dua puluh sifat saja. Tetapi, kita mengimani sifat-sifat Allah yang lain melalui dua puluh sifat itu. Dengan kata lain, sifat yang dua puluh itu diyakini sebagai sifat-sifat dasar, atau induk dari semua sifat, yang dengan mengimaninya otomatis kita juga akan mengimani sifat-sifat yang lain.
Inilah jawaban sederhana yang bisa kita kemukakan untuk menjawab pertanyaan di atas. Jadi kalau ada pertanyaan, apakah kita beriman pada sifat-sifat Allah yang lain selain yang dua puluh itu? Jawabannya iya. Dan sifat dua puluh itu kita yakini sebagai induk dari semua sifat.
Sebagai contoh, Anda dan saya pasti percaya bahwa Allah Swt itu maha memberi rizki. Dan karena itu Allah Swt dinamai sebagai al-Razzâq (maha memberi rizki). Tapi, apakah sifat al-Razzâq itu ada dalam pembagian sifat yang dua puluh tadi? Jawabannya tidak ada. Apakah kalau begitu kita tidak memercayainya? Tentu saja kita percaya. Itu adalah salah satu dari nama-nama-Nya yang indah (al-Asmâ al-Husna).
Tapi, dengan mengimani adanya sifat kuasa (qudrah), otomatis Anda akan percaya bahwa Allah itu Maha Memberi Rizki, Maha Menghidupkan, Maha Mematikan, Maha Memberi Hidayah, dan sifat-sifat lainnya. Artinya, sifat qudrah (kuasa) itu menjadi sifat dasar, bagi berlakunya sekian banyak sifat bagi Allah Swt.
Perumusan keyakinan seperti ini justru lebih memudahkan terutama bagi kalangan awam. Mereka tidak harus repot-repot menghafal semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis. Di samping mereka juga mungkin tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk itu.
Cukuplah bagi mereka untuk meyakini sifat-sifat dasar saja. Yang dengan keimanan akan sifat-sifat tersebut, mereka juga mengimani sifat-sifat Tuhan yang lain. Jadi, intinya, keimanan kita akan sifat yang dua puluh itu tidak serta mengandung pembatasan. Tetapi sifat yang dua puluh itu diyakini sebagai dasar untuk mengimani sifat-sifat yang lain.
Wallahu a’lam.