Pernyataan Komisaris Jenderal Budi Waseso, bahwa narkoba sudah masuk ke pesantren membuat gempar komunitas santri. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menyulut respon beragam dari organisasi pesantren. Menurut Budi Waseso, bahwa ada salah satu pesantren yang berdzkir dengan menggunakan ekstasi, dari kiai hingga santri. “Dia zikir pake ekstasi, dan ini bukan hanya santri, pemukanya juga,” ungkapnya. Budi Waseso menemukan fenomena ini, ketika mengunjungi beberapa pesantren di Jawa Timur (JPNN, 5/03).
Pernyataan kepala BNN ini kemudian mengundang reaksi dari komunitas santri. RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyyah), organisasi pesantren Nahdlatul Ulama, menyebut bahwa pernyataan Budi Waseso dapat menimbulkan kesalahpahaman. Seharusnya, BNN sebaiknya merilis nama pesantren yang sudah dimasuki narkoba, hingga tidak menggeneralisir nama semua pesantren.
Sebelumnya, Pada 4 Februari 2016 lalu, Menkopolhukham Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa narkoba sudah masuk ke pesantren. “Banyak dari mereka yang tidak tahu bahwa yang mereka konsumsi itu ekstasi”, ungkap Luhut dalam beberapa arsip media.
Rangkaian pernyataan tentang jaringan narkoba yang masuk ke pesantren ini, menjadi isu hangat di berbagai komunitas santri. Silang pendapat tentang narkoba masuk ke pesantren ini harus direspon dengan bijak, agar tidak menimbulkan salah paham tentang jaringan peredaran narkoba, serta pesantren sebagai institusi pendidikan.
Indonesia: Portal Narkoba
Pada dua tahun terakhir, peredaran narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Indonesia dianggap sebagai salah satu portal jaringan peredaran narkoba dunia. Troels Vester, koordinator PBB untuk kejahatan narkoba, UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) menyebut bahwa pada awal 2016, sekitar 5,6 juta pengguna narkoba di Indonesia. Terjadi peningkatan signifikan sejak tahun 8 tahun lalu.
Merujuk data Badan Narkotika Nasional (BNN), pada tahun 2008, jumlah pengguna narkoba di negeri ini mencapai 3,3 juta jiwa, atau setara dengan kisaran 1,99 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut, 1,3 juta dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Dengan demikian, perbandingan hampir 2 persen dari angka keseluruhan pengguna narkoba sudah sangat mengkhawatirkan. Pada kurun 2006-2008, jumlah korban jiwa akibat penggunaan narkoba mencapai 15.000 jiwa. Ini berarti, 41 jiwa tiap hari, dengan kisaran 78 persen terjadi pada pemuda usia 19-21 tahun.
Pada tahun 2015, merujuk data terbaru yang dirilis Kementrian Hukum dan HAM, jumlah pengguna narkoba naik drastis menjadi 5,8 juta. Data ini, disampaikan oleh Direktur TPUL, Jaksa Muda Tingkat Pidana Umum RI, Ahmad Djainuri. Menurut Djainuri, pada 2015 ada kenaikan sekitar 1,8 juta pengguna, dibanding tahun sebelumnya dengan kisaran 4 juta. Sejalan dengan data-data yang dirilis oleh BNN dan media, berita tentang penangkapan bandar narkoba di beberapa daerah juga secara massif terhampar.
Terakhir, BNN menggrebek bandar narkoba asal Pakistan di Jepara, yang berkedok pengusaha mebel, pada 28 Januari 2016. Jaringan pengedar narkoba asal Pakistan menggunakan Jepara sebagai salah satu titik peredaran narkoba internasional, dengan menggunakan selubung usaha mebel. Dari Jepara, narkoba kemudian diedarkan ke beberapa kota di sekitarnya.
Narkoba Beredar di Pesantren?
Pernyataan Budi Waseso (Kepala BNN) dan Luhut Binsar Pandjaitan (Menkopolhukham) tentang jaringan pengedar narkoba yang telah masuk pesantren perlu direnungi sekaligus ditindaklanjuti. Merujuk data yang dirilis oleh BNN dan UNODC, bahwa pengguna narkoba sudah hampir mencapai 6 juta jiwa, tentu sangat prihatin. Indonesia sudah menjadi negara jaringan peredaran narkoba internasional, yang dipasok dari berbagai negara Asia.
Lalu, benarkah narkoba masuk ke pesantren? Pernyataan Budi Waseso tentang narkoba menjadi pendamping dzikir mengusik ketenangan santri dalam mengaji, sekaligus menumbilkan gerah pengasuh dan pendidik di berbagai pesantren.
Pesantren, yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan mencetak santri sebagai pengabdi pengetahuan dan berakhlak baik, tercoreng oleh pernyataan Budi Waseso.
Meski, dalam hal ini pernyataan Kepala BNN bermaksud sebagai peringatan, alih-alih justru menyulut kegemparan.
Pesantren dan Rehabilitasi
Padahal, di beberapa pesantren, selama ini telah menjadi tempat nyaman untuk rehabilitasi korban narkoba. Sepanjang 2015, Kementrian Sosial sudah membangun tujuh tempat rehabilitasi narkoba berbasis pesantren. Lokasi tersebar di Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Maluku, Sulawesi Utara dan Jawa Timur.
Di Jatim, panti rehabilitasi dibangun di Pesantren Bahrul Maghfiroh, Kota Malang.Pesantren Bahrul Maghfiroh ini dapat dibilang unik, karena sistem pesantren ini telah terbukti mampu merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba. Di pesantren yang diasuh Kiai Lukman al Karim, dipersiapkan lahan seluas 1,5 hektar dengan kapasitas 200 orang. Selain pesantren ini, beberapa pesantren juga menjadi rujukan untuk rehabilitasi korban narkoba, semisal: Pesantren Suryalaya Tasikmalaya (Jawa Barat), Pesantren Bina Akhlak (Cianjur), Pesantren az-Zainy (Malang, Jatim), Pesantren Hikmah Syahadah (Tangerang Banten) dan beberapa pesantren lain. Bahkan, pesantren Suryalaya yang didirikan Abah Anom, menggabungkan unsur tarekat sebagai metode penyembuhan.
Dengan demikian, pesantren selama ini sebenarnya menjadi ruang untuk membenahi akhlak, sebagai kawah candradimuka yang mencetak santri-santri berprestasi. Pesantren, yang memiliki sejarah panjang sebagai lembaga pendidikan yang mengawal pendidikan bangsa, sudah selayaknya berbenah, dengan meningkatkan keamanan internal agar tidak menjadi sasaran pengedar narkoba.
Pernyataan Budi Waseso bahwa pesantren menjadi sasaran peredaran narkotika harus direspon dengan data akurat, hingga tidak menjadi kesalahpahaman. BNN harus menunjukkan pesantren mana, kiai siapa, yang terindikasi melakukan penyalahgunaan narkoba. Dengan demikian, publik tidak salah mencerna informasi yang berbedar, tentang narkoba tersebar di pesantren. []
Munawir Aziz adalah dosen dan peneliti.
Sumber gambar di sini