Seorang Pak Haji baru saja keluar masjid seusai melaksanakan ibadah shalat tarawih bersama sang istri dengan mengendarai sebuah motor. Ia sengaja memilih masjid yang shalat tarawihnya 20 rakaat karena menganggap bahwa semakin banyak jumlah rakaat shalat tarawih yang ia laksanakan maka semakin banyak pula pahala yang akan dia dulang pada bulan Ramadan ini. Beberapa hari menjelang “final” Ramadan (10 hari terakhir), Pak Haji juga memfokuskan dirinya untuk beribadah dan bahkan menambah durasi ibadahnya dengan melaksanakan i’tikaf di tengah malam hingga menjelang waktu sahur menjelang. Dia yakin dengan amalan yang super padat seperti itu, ia dengan mudah akan dapat menjaring lailatul qadar yang konon katanya terdapat di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Hari-harinya berlalu dengan seabrek amalan yang membuat siapapun yang melihat akan terkesima dan salut akan keistikamahan Pak Haji. Hingga sampai suatu malam sehabis melaksanakan ibadah shalat tarawih di masjid, ia lewat di depan beberapa penjual nasi goreng dan berbagai jenis makanan yang berderet di pinggir jalan seolah menggoda siapapun yang lewat di depannya. Tanpa sadar, Pak Haji pun bergumam dalam hatinya, “Alangkah ruginya orang-orang ini. Bulan Ramadhan yang hanya 30 hari dalam setahun, bukannya digunakan untuk beribadah shalat tarawih dan i’tikaf, tapi malahan masih menjajakan dagangannya”.
“Serakus itu kah kalian terhadap dunia wahai para pedagang.? Kapan kalian akan berubah dan menfokuskan diri kalian untuk beribadah kepada Allah. Semoga kalian diberi petunjuk oleh Allah SWT. Amien.!!”, begitu lirih Pak Haji sembari meluruskan peci hajinya yang agak miring tertiup angin. Sang istri yang kebetulan berpikiran sama, menepuk bahu Pak Haji dari belakang sembari bertanya sambil terheran-heran kepada sang suami, “Pak, apakah hidup para pedagang ini hanya untuk mencari dunia saja ya Pak, sampai-sampai di jam segini, mereka masih saja sibuk berjualan seolah-olah tidak peduli dengan bulan Ramadhan. Ibu kasian sama mereka Pak.!”. Pak Haji pun mengangguk pertanda setuju.
Sekilas, apa yang dibicarakan oleh Bapak dan Ibu Haji di atas merupakan sikap ideal seorang muslim dalam mengisi Ramadhan. Mereka telah berhasil menjalankan Ramadhan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk dari al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Tapi sadarkah kita akan suatu prinsip yang sedikit terpeleset dari orientasi ibadah Pak Haji. Tahukah Anda akan hal itu.? Apakah muslim yang menang dalam Ramadhan hanya mereka yang menjalankan rutinitas ibadah seperti yang mereka lakukan? Apakah amalan ramadhan hanya terpusat kepada amalan-amalan mahdhah (murni) seperti itu? Dan apakah boleh bagi seorang muslim menganggap diri lebih baik dari orang lain hanya gara-gara ibadah yang ia lakukan?
Memang benar, ibadah dalam artian sempit adalah melakukan ritual-ritual khusus berupa ketaatan yang diwajibkan atau dianjurkan oleh agama. Ibadah dalam artian ini bisa juga disebut dengan ibadah mahdhah (ibadah murni) yang aturan dan kadarnya sudah ditentukan oleh agama. Sebagiannya ada yang bersifat wajib seperti salat lima waktu sehari dan semalam, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan sebagainya. Sebagian yang lain bersifat sunah atau anjuran semata-mata yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa seperti salat sunat rawatib, dhuha, dan amalan sunah lainnya.
Pengertian ibadah seperti ini berbeda dengan pengertian ibadah secara luas yang mencakup segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mencari keridaan Allah Swt. Ibadah seperti ini terkadang tidak seperti ibadah formal sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Bentuknya bisa saja seolah-olah tidak seperti ibadah tapi karena pelakunya meniatkan pekerjaan tersebut sebagai usaha mematuhi perintah Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka pekerjaan itupun bernilai ibadah. Hal ini juga banyak disinggung dalam kitab-kitab kaedah fikih, khususnya yang membahas persoalan niat.
Tersebut dalam kitab Asybah wa al-Nazair karya Imam al-Suyuthi bahwa pekerjaan-pekerjaan yang hukum asalnya adalah mubah (boleh), namun jika diniatkan untuk menguatkan badan dalam beribadah maka hal tersebut bisa saja dianggap sebagai ibadah yang dengan melakukannya seorang akan diganjari pahala oleh Allah SWT. Begitu juga halnya berjualan ataupun pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh seorang suami, jika hal itu dilakukan dengan niat tulus ikhlas untuk mencari nafkah keluarga yang hukum asalnya adalah wajib, maka pekerjaan itupun dapat dianggap ibadah yang pelakunya insyaAllah akan dibalasi dengan pahala yang besar oleh Allah Swt sebagaimana sabda Rasul yang menyebutkan :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Artinya:
“Dari Abi Mas’ud, dari Nabi Saw, ia bersabda, “Apabila seorang laki-laki bekerja menafkahi keluarganya, maka nafkah tersebut baginya menjadi sedekah”. (H.R. al-Bukhari)
Bahkan dalam sebuah sub tema dari kitab Sahih al-Bukhari, Imam al-Bukhari menuliskan :
بَاب مَا جَاءَ إِنَّ الْأَعْمَالَ بِالنِّيَّةِ وَالْحِسْبَةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَدَخَلَ فِيهِ الْإِيمَانُ وَالْوُضُوءُ وَالصَّلَاةُ وَالزَّكَاةُ وَالْحَجُّ وَالصَّوْمُ وَالْأَحْكَامُ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى{قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ}عَلَى نِيَّتِهِ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا صَدَقَةٌ وَقَالَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ.
Artinya :
“Ini adalah bab tentang amalan yang harus didasarkan kepada niat dan perhitungan. Dan bagi masing-masing orang tergantung dengan apa yang ia niatkan, termasuk dalam hal beriman, berwudu, shalat, zakat, haji, puasa, dan beberapa hukum yang lain. Allah SWT berfirman, “Katakanlah wahai Muhammad, “Masing-masing orang beramal berdasarkan niat awalnya.” Nafkah yang diusahakan oleh seorang suami untuk keluarganya merupakan sedekah. Lalu Rasul berkata, “Namun tergantung kesungguhan dan niat.”
Berdasarkan data tersebut, dapat dipahami bahwa ibadah pada dasarnya tidak hanya khusus dengan persoalan-persoalan mahdhah (formal) seperti yang dianggap oleh Pak Haji di atas. Ibadah juga dapat diartikan sebagai segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka menjalankan kewajiban dan perintah Allah SWT dengan catatan harus berniat dan bersungguh-sungguh. Perlu disadari bahwa tidak semua orang hidup dalam kondisi batin dan finansial yang sama seperti halnya Pak Haji dan Bu Haji di atas. Sebagian ada yang hidup di bawah garis kemiskinan yang mengharuskan mereka bekerja di waktu-waktu yang seharusnya digunakan untuk melakukan ibadah mahdhah bagi sebagian yang lain.
Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi adalah pelaksanaan ibadah sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Bagi Pak Haji dan Bu Haji yang kebetulan diberikan waktu dan finansial yang lebih oleh Allah SWT, membuat mereka bisa menjalankan ibadah mahdhah yang mungkin saja kualitasnya lebih tinggi dari ibadah ghairu mahdhah (ibadah tidak formal) yang dilakukan oleh penjual nasi goreng karena niat menghidupkan malam-malam Ramadan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadis Nabi. Namun juga berpotensi mempunyai kualitas di bawah ibadah ghairu mahdhah yang dilakukan oleh penjual nasi goreng tersebut jika dilakukan dengan kesombongan dan perasaan lebih baik dari orang lain.
Jika semua orang memikirkan hal yang sepele ini, maka tidak akan ada lagi klaim menganggap suci diri pribadi dan menganggap derjat orang lain di bawah ataupun bahkan tidak berharga sama sekali dibandingkan dengan dirinya. Malahan anggapan seperti ini berpotensi menghabiskan semua amalan mahdhoh yang dilakukan karena menyertainya dengan perasaan sombong seperti yang telah kita jelaskan. Rasulullah SAW pernah mengatakan dalam sebuah hadis shahihnya, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, sekalipun hanya sebesar biji sawi.” Oleh sebab itu, beramallah! InsyaAllah Allah SWT akan melihat dan membalasinya sesuai dengan kesungguhan dan keikhlasan kita. Semoga bermanfaat.