Apakah Menteri Agama yang Jenderal itu Bakal Melindungi Minoritas?

Apakah Menteri Agama yang Jenderal itu Bakal Melindungi Minoritas?

Bagaimana Menteri Agama yang baru ini harusnya lebih menghargai minoritas agama, bukan jadi menteri agama mayoritas

Apakah Menteri Agama yang Jenderal itu Bakal Melindungi Minoritas?

Menteri Agama, Fachrul Rozi, menyulut kontroversi pasca dilantik. Beberapa komentarnya pun menimbulkan perdebatan di tengah publik, mulai dari usulan mengatur cadar-burqa di lingkungan pemerintah hingga persoalan ia yang siap jadi menteri agama yang hanya lima agama. Terkait hal ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menganggap menteri agama ini di periode kedua Jokowi terlihat kurang kompeten, khususnya terkait bidangnya di isu agama.

“Sebaiknya diskusi mendalam dulu dengan para ahli demi menegakkan UUD 1945 yang melindungi dan menjamin seluruh Rakyat Indonesia, apapun Agama dan Keyakinannya,” tutur YLBHI sebagaimana rilis yang diterima redaksi (30/10).

Memang, Pasca dilantik menjadi menteri agama Fachrul Rozi mengeluarkan beberapa pernyataan yang cukup kontroversial. Beberapa  antara lain ia bukan menteri agama Islam tapi menteri agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama. Tentu saja, pernyataan ini memang terlihat melindungi seluruh agama tetapi mengandung kesalahan mendasar yaitu adanya agama yang diakui di Indonesia.

“Kesalahan tersebut selama ini menjadi sumber diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan (aliran yang tidak dominan ataupun lebih sedikit diikuti,” lanjutnya.

Mahkamah Konstitusi telah mengatakan dalam putusannya Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 1/PNPS/1965 pertimbangan hal. 297-298: “Mahkamah tidak sependapat dengan ahli Mudzakkir bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan Agama dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada agama yang secara administratif memenuhi syarat dan diakui oleh negara. Menurut Mahkamah tidak ada hak atau kewenangan bagi negara untuk tidak mengakui eksistensi suatu agama, sebab negara wajib menjamin dan melindungi agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia”

Perrnyataan ini serupa pula dengan penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 yang berbunyi ‘Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)’. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.

“Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia,” tambahnya.

Jikapun Menag menafsirkan penjelasan ini sebagai pengakuan negara, harusnya ada 6 agama yang disebut dan bukan hanya 5 agama saja. Dan, itu entah disengaja atau tidak, tapi bisa ditafsirkan banyak hal.

Baca juga: Menitipkan Kementerian Agama kepada Seorang Jenderal

Menteri agama ini juga menyatakan di lain kesempatan bahwa fatwa MUI perlu diikuti pemerintah serta melindungi komunitas Ahmadiyah tetapi dengan syarat yaitu tidak lagi sebagai agama. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan pasal 1 Konstitusi yaitu Indonesia adalah negara hukum. Artinya seluruh tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan bukan yang lainnya.

“Fatwa MUI mengikat mereka yang mempercayainya tetapi bukan bagian dari sumber hukum Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan,” ujarnya.

Makanya, Menteri Agama harusnya menyatakan akan melindungi umat Ahmadiyah. Bukan malah sebaliknya, menyatakan Ahmadiyah  sebagai ‘bukan  agama’ dan pernyataan ini tidak berdasar karena SKB 3 Menteri tentang JAI hanya mengatur larangan untuk menyebarkan ajarannya saja.

“Tidak ada pernyataan bahwa menganut Ahmadiyah membuat mereka menjadi tidak menganut agama. Kalaupun toh ada pernyataan seperti ini maka negara telah melanggar hak beragama berkeyakinan warganya.

Hal-hal di atas ini seakan membenarkan kekuatiran publik tentang pengangkatan menteri di lingkaran kekuasaan Jokowi. Pengangkatan yang dianggap berbau politis dan terkesan jabatan tersebut diserahkan ke orang yang dianggap tidak kompeten. Jenderal Fachrul Rozi adalah salah satu yang dianggap ‘salah penempatan’ oleh Jokowi, apalagi sebelumnya menteri agama diamanahkan kepada Lukman Hakim Saefuddin, sosok yang dianggap dekat dengan publik lewat media sosial dan tentu saja media darling. Pernyataan Lukman Hakim di beberapa hal memang dianggap menyejukkan–meskipun di beberapa level kita bisa bisa berdebat soal posisinya terhadap minoritas-mayoritas di agama.

Beberapa pernyataan kontroversial yang dilakukan oleh menteri kelahiran Banda Aceh, Aceh Darussalam, 26 Juli 1947 lalu ini terkait agama ini agaknya memang harus dikritisi oleh publik sipil, apalagi posisinya yang memegang jabatan publik yang ‘cukup panas’ seperti menteri agama. Meskipun saat ini beliau bakal dibantu oleh Wakil Menteri, Zainut Tauhid, yang juga dianggap cukup kontroversial terkait kasus Ahok dan posisinya di MUI. Bagi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah dan lain sebagainya tentu saja agak ngeri-ngeri sedap.

Ya, Pak Menteri yang juga jenderal ini memang harus lebih ‘memahami’ persoalan agama yang kompleks di Indonesia, apalagi terkait dengan relasi minoritas-mayoritas yang memang jadi persoalan serius beberapa tahun belakangan ini.