Menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan tema ini, inilah jawaban subjektifku: Dari beberapa kamus bahasa Inggris, kata fiksi mengandung pengertian “invented” atau “untrue.” “Invented “ artinya, dibuat-buat (concocted), dikarang-karang (trumped up) oleh manusia.
Fiksi juga disamakan dengan fantasi, ilusi, fancy (khayalan liar), lalu dikatakan “untrue” karena mengandung arti tidak benar, berita bohong (fake news), bohong (untruth, falsehood, nonsense). Jadi, secara umum, kata fiksi berkonotasi negatif.
Sedangkan persamaan dan perbedaan antara fiction, fictional, fictitious adalah bahwa ketiganya adalah palsu (fake), dan kebohongan (lies).
Meskipun begitu, sejauh ia menyangkut karya manusia, fiksi mungkin tidak jadi masalah, karena kebenaran karya manusia itu relatif, boleh benar dan boleh salah tak ada hukuman, tak ada kontradiksi. Dari mana datangnya fiksi? Menurut Ibn Sina fiksi dan sebangsanya, fantasi, nerupakan hasil dari daya jiwa yang disebut imaginasi (mutakhayyilah), atau daya imaginasi kompositif, yang mampu menciptakan bentuk-bentuk fantastik, semisal kuda terbang, apel emas, jereta kencana, dan lain-lain.
Tetapi menurutku, ia akan menjadi masalah besar, ketika kata fiksi ini dikaitkan dengan kitab suci—yang dipercaya sebagai perkataan verbatim Tuhan yang tidak mungkin salah. Ketika kitab suci dikatakan fiksi, maka kita telah menurunkan kitab suci ke derajat manusiawi sebagai ciptaan atau rekayasa manusia, yang bisa salah, bisa ilusori, bisa nonsense dan berupa berita palsu atau kebohongan.
Menurutku hanya orang yang tak beriman yang berani mengatakan bahwa kitab suci itu fiksi—dalam arti yang sudah dijelaskan di atas. Orang yang beriman tak mungkin berani mengatakan bahwa kitab suci (yang diturunkan Allah) adalah fiksi—karena ia hanya bisa diterapkan kepada karya manusia.
Bagi orang beriman, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kitab suci itu berasal dari Allah yang tak mungkin keliru (dzalikal-kitabu la raiba fiihi) dan karena itu tak mungkin ia merupakan fiksi atau bersifat fiktif.
Tapi nampaknya sebagian orang memiliki pengertian lain tentang kitab suci, ketika sebagian mereka mengatakan bahwa Das Kapital adalah kitab suci bagi orang tertentu. Di sini tentunya kita faham bahwa kitab suci bagi mereka adalah kitab apa saja yang dipuja oleh para pengikutnya, tak peduli itu dari Allah atau ciptaan manusia, sementara dalam pandangan Islam, kitab suci hanya disematkan pada kitab-kitab yang diturunkan keoada nabi dan rasul, dan tidak pada sembarang orang atau pengarang.
Dari sini aku dapat menduga bahwa orang-orang yang mengatakannya adalah penganut paham Humanisme (serba manusia), yang mengukur kebenaran dan realitas hanya dari sudut pandangan kemanusiaan, yang bukan “hanya beralfiliasi (aligned) pada sekularisme tapi juga sebuah gerakan non-religius yang lebih mengandalkan sains daripada wahyu.”
Kaum Humanis tak akan perrcaya bahwa seseorang bisa menerima sesuatu (baca wahyu) dari sebuah agen supranatural, seperti makaikat atau Tuhan. Bagi mereka kitab suci, seperti Al-Qur’an, Zabur, injil, dan lain-lain adalah ciptaan, rekaan atau cerita yang dikarang sendiri oleh orang-orang, dalam hal ini para nabi. Karena itu bagi mereka Al-Qur’an akan sama nilainya dengan Das Kapital karangan Karl Mark, dan, kalau Al-Qur’an bisa dipandang sebagai kitab suci, kenapa Das Kapital tidak??
Pandangan orang yang mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, sebanding dengan orang-orang kafir Qurasy yang “ketika dibacakan ayat-ayat Kami, berkata bahwa itu hanyalah ceritera fiktif atau mitos-mitos orang-orang terdahulu (qaaluu asathirul awwallin).”
Mereka tidak pernah percaya bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Tuhan, karena bagi mereka pewahyuan adalah sesuatu yang mustahil. Al-Qur’an hanyalah karangan Muhammad yang bisa jadi merupakan sebuah fiksi dan sekaligus bersifat fiktif. Pandangan seperti itu tentunya jauh dari pandangan seorang yang beriman.
Wallahu A’lam.