Apakah Kita Dijamin Masuk Surga?

Apakah Kita Dijamin Masuk Surga?

Surga seakan menjadi hak milik kita umat islam, tapi apakah ini merupakan kesombongan?

Apakah Kita Dijamin Masuk Surga?
Credit photo by @romzi

Ketika kita berani menjustifikasi orang lain masuk neraka. Apakah diri kita sendiri ada jaminan masuk surga? Sejauh yang saya ketahui, cuma ada sepuluh orang jika merujuk pada riwayat shahih yang punya jaminan masuk surga. Kita mengenal istilah sepuluh orang tersebut dengan “al-‘Asyarah al-Mubassyiruun BI al-Jannah”. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam sebuah hadits:

فعَن عبْدِ الرّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ قالَ: قالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: “أَبُو بَكْرٍ في الْجَنّةِ، وَعُمَرُ في الْجَنّةِ، وعُثْمَانَ في الْجَنّةِ، وَعَلِيّ في الْجَنّةِ، وطَلْحَةُ في الْجَنّةِ، وَالزّبَيْرُ في الجّنةِ، وعبْدُ الرّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ في الْجَنّةِ، وسَعْدُ بنُ أَبي وقّاصٍ في الْجَنّةِ، وَسَعِيدُ بنُ زَيْدٍ في الْجَنّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بنُ الْجَرّاحِ في الْجَنّةِ”

Hadis di atas shahih, bisa dilihat validitasnya di dalam kitab Sunan Abu Daud, Sunan Nasai, Shahih Ibnu Hibban, dan Mustadrak Imam al-Hakim.

Nah, kalau kita tidak punya jaminan, alangkah baiknya kita tidak sibuk menerakakan orang lain. Lebih baik kita menyibukkan diri sendiri dengan introspeksi, karena kelak setiap manusia menanggung hisab perbuatan amalnya sendiri-sendiri, bukan amal perbuatan orang lain.

Masih ingatkah dengan hadis berikut ini?

طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس
“Beruntunglah bagi orang yang menyibukkan diri dengan aibnya sendiri, daripada (menyibukkan diri dengan) aib orang lain”.

Hadits tersebut Hasan menurut al-Bazzar, diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, Imam Hakim di dalam Sya’b al-Iman, Imam al-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir.

Menyikapi hadits di atas Imam Ibnu Hibban menegaskan:

الواجب على العاقل لزوم السلامة بترك التجسس عن عيوب الناس مع الاشتغال بإصلاح عيوب نفسه،
“Adapun yang menjadi kewajiban atas orang yang berakal adalah menegakkan keselamatan dengan cara meninggalkan aktifitas mencari aib dan kesalahan orang lain. Yaitu dengan cara memperbaiki kesalahan-kesalahan dirinya sendiri”. Lihat Kitab Raudhah al-Uqala WA Nuzhah al-Fudhala, h. 125.

Kalaupun harus menasehati orang lain, tak perlu juga menasehatinya di depan umum (apalagi sampai diumbar di FB). Karena hal itu sama saja membuka aibnya.

Dalam hal ini Syeikh Abu Nuaim al-Isfihani yang juga mengutip pernyataan Imam Syafi’i mengatakan:

من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه،ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه
“Barang siapa yang menasehati saudaranya secara sembunyi-sembunyi (maksudnya adalah menasehatinya di kala sendiri, hanya empat mata misalnya), maka ia telah memberikan nasehat serta menghiasinya. Dan barang siapa yang memberi nasehat secara terang-terangan (maksudnya di hadapan orang banyak), maka pada hakikatnya ia telah melecehkan saudaranya itu serta mengkhianatinya”. Lihat Kitab “Hilyah al-Auliya’ h. 140.

Dengan demikian, mari perbanyak introspeksi diri, terlebih saya sendiri!