Sewaktu kecil, saya tidak pernah mendengar orang tua dan guru ngaji di kampung halaman berbicara tentang negara Islam. Saya hanya diajarkan sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah, jumlah nabi dan rasul yang harus diketahui, bagaimana shalat dan puasa yang benar, dan sejenisnya. Dalam rumusan rukun iman dan rukun Islam, saya tidak menjumpai pembahasan tentang negara Islam.
Bahkan ketika masuk madrasah tsanawiyyah (setingkat SMP), saya membaca sejarah keruntuhan Turki Usmani dengan perasaan biasa saja. Keruntuhan seperti itu dialami juga oleh daulah-daulah sebelumnya, seperti Ummayah dan Abbasyiyah. Tidak ada pikiran seolah-olah Islam kalah atau dikalahkan.
Pikiran mengenai Islam yang kalah atau dikalahkan baru muncul ketika saya sekolah SMA (bukan sekolah agama). Di sana saya bertemu aktivis muda yang bersemangat, yang mengajak saya aktif dalam organisasi kepelajaran Islam. Di sana pula saya berjumpa dengan kegairahan yang luar biasa mengenai kondisi Islam masa kini yang dianggap terbelakang. Dalam sesi-sesi diskusi, saya diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang sudah kenal tetapi sebelumnya tidak saya perhatikan, seperti Al-Maududi dan Hasan Al-Bana. Darah muda saya sempat mendidih, lalu merasa Islam dipinggirkan secara tidak adil oleh kaum kafir, yaitu orang Barat dan para sekutunya, termasuk di kalangan Muslim sendiri. Saat itu pikiran untuk mewujudkan negara Islam sebagai solusi sudah mulai mengental.
Apa yang saya alami mungkin dialami pula oleh banyak remaja Muslim lainnya. Persis ketika menginjak bangku sekolah menengah mereka mulai memikirkan “Islam politik”, bahkan Islam bukan sekadar beribadah kepada Allah seperti dilakukan sejak kecil, tetapi juga berarti berusaha semaksimal mungkin mewujudkan terbentuknya negara, atau minimal masyarakat, Islam. Berislam tidak akan sempurna, tidak kaffah, kalau tidak melakukan itu.
Islam politik berkembang di kalangan modernis, di sekolah-sekolah dan kampus-kampus umum. Semakin bersentuhan dengan dunia modern, mereka justru semakin merasa berjarak, bahkan bermusuhan, dengan itu. Sebaliknya, Islam politik kurang atau bahkan tidak berkembang di kalangan tradisional, di pesantren-pesantren NU atau sekolah-sekolah agama seperti MTs, MA, dan IAIN. Sejak awal mereka memang berjarak dengan dunia modern, tetapi oleh karena itu pula mereka tidak merasa harus bersaing dengan itu.
Masalah terbesar dari Islam politik adalah karena sebagian pendukungnya menghalalkan kekerasan terhadap pihak-pihak yang berbeda dengan mereka. Dunia selalu dibelah menjadi dua: Islam dan kafir, darul Islam (negara Islam) dan darul harbi (negara musuh). Pembelahan seperti ini jelas tidak cocok, bahkan berbahaya jika direalisaikan, dengan realitas masyarakat yang majemuk. Inilah alasan mengapa Islam politik harus ditolak.
Jakarta, 15 September 2017.
*) Amin Mudzakkir; peneliti LIPI