Dua baris kalimat; Mohon Maaf Lahir Batin, Minal Aidin wal Faizin merupakan sebuah idiom yang biasa kita ucapkan saat menjelang atau lebaran/hari raya Idul Fitri tiba. Bahkan kata ini tidak saja diucapkan banyak jutaan muslim di Indonesia, tapi juga mungkin jutaan kali ditulis dan begitu cepat menyebar ke perangkat eloktronik seperti HP dan Android.
Hanya saja seringkali kita mengucapkan rangkaian idiom “Minal Aidin wal Faizin” yang seakan-akan itu terjemahannya adalah “Mohon Maaf Lahir dan Batin.” Padahal kedua idiom ini tidaklah demikian arti atau maknanya dan boleh dikatakan memiliki pesan yang berbeda, meskipun bila ditelusur dan coba dihubungkan masih saling terkait.
Tetapi, jika itu terpaksa dibedakan, maka “Minal Aidin wal Faizin” lebih menyimpan arti pencapaian seorang mukmin setelah berpuasa penuh dan melawan hawa nafsunya dengan beribadah kepada Tuhannya di bulan Ramadhan (vertikal), sedangkan “Mohon Maaf Lahir Batin” lebih mengisyaratkan apa yang sedang dilakukan mukmin pasca bulan Ramadhan yaitu pada hari raya Idhul Fitri memperetat kembali hubungan sosial dengan sesama (horisontal). Maka “Minal Aidin wal Faizin” “Minal Aidin” (Semoga termasuk orang yang kembali pada kesucian) dan “wal Faizin” (semoga beroleh kemenangan setelah berdamai dan saling memaafkan).
Lebih dari itu, menurut pakar bahasa, terutama dari Ibnu Mandzur, kata fithri (fa-tha-ra) setidaknnya mencakup enam hal penting, yaitu kesucian, kekuatan, jati diri, asal usul kejadian, memakai pakaian taqwa dan dinnul Islam. Maka bila digabung kata itu menjadi Idhul Fitri, artinya kita berharap akan kembali ke sucian diri kita, kembali ke asal usul kita, kembali ke jati diri kita, kembali memakai pakaian taqwa, kembali ke kekuatan kita dan kembali ke dinnul Islam. Untuk keenam arti ini mari kita bahas satu persatu dan kita renungkan maknanya:
Pertama, kata fithri atau fitrah jika jika diartikan suci atau kesucian, maka ia harus memenuhi tiga unsur inti, yaitu keindahan yang menggetarkan, kebenaran yang bisa diterima dan kebaikan yang bisa dibuktikan. Dari konsekwensi ini, maka kembali ke fithri artinya kita harus menciptakan keindahan (seni), menerima kebenaran dengan menambah ilmu (sains) dan berbuat baik atau amal sholeh yang melahirkan akhlaqul karimah. Itulah makna idhul fithri buah dari pendidikan Ramadhan untuk mengantarkan kita menjadi seniman, ilmuwan sekaligus budiman.
Kedua, kata fithri disebut sebagai kekuatan, karena sebulan penuh shoimin dan shoimat mempunyai kekuatan untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan kekuatan itulah kaum Muslimin melakukan jihad akbar mengendalikan hawa nafsunya dan ia akan menjadi kuat, makanya begitu tiba Idhul Fithri, diharapkan seorang mukmin dapat kekuatan baru.
Ketiga, pengertian fithri (fitrah) jika bermakna asal kejadian ini dikaitkan dengan manusia bisa diberikan beberapa contoh, antara lain manusia berjalan dengan kakinya, melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, merasa dengan hatinya dan berpikir dengan akalnya. Konsekwensi dari pengertian ini, maka kita menjadi salah jika ingin berjalan dengan tangan, melihat dengan telinga dan berpikir dengan mulut, atau salah jika kita mengukur kesalahan dan kebenaran atau kesedihan dan kebahagiaan dengan alat timbangan atau alat ukur meteran dan seterusnya, itulah fitrah.
Masih dalam pengertian fitrah sebagai asal kejadian, maka kitapun harus menempatkan hati sebagai tempatnya iman, dan bukan di akal, karena akal selalu menolak hal-hal yang tak bisa dicerna oleh indrawi, dan tugas akal hanya untuk mengukuhkan iman.
Keempat, kata fithri secara maknawi ada juga yang mentakwil dengan arti memakai pakain. Tentu yang dimaksud memakai pakaian disini adalah pakaian taqwa, sebagaimana yang disyaratkan dalam surat al-Baqarah, ayat 183, bahwa tujuan berpuasa adalah supaya kita bertaqwa. Selama Ramahdhan kita sudah menenun sepanjang hari, dan saat idhul fitri itulah kita memakai pakaian taqwa agar meningkat (Syawal) jati diri kita. Dalam konteks ini kita mengingat pesan Ilahi: Janganlah kita menjadi seperti seorang perempuan dalam cerita lama, ia mengurai kembali hasil tenunanya yang rapi sehelai benang demi sehelai sehingga tercerai berai (an-Nahl, 92). Artinya madrasah puasa selama sebulan itu harus terus kita pakai (fithri) sampai setahun mendatang, bahkan lebih.
Puasa diibaratkan seperti menenun atau menjahit pakaian ini juga seperti yang sudah dicontohkan ulat yang bertapa dalam tenunannya (kepompong), setelah selesai menenun, ia memakai sayapnya yang indah untuk terbang (kupu-kupu), atau bisa juga diibaratkan sang laba-laba yang menenun rumahnya sehelai demi helai, kemudian ia memakai (fithri) agar ia menjadi tenang hidupnya.
Kelima, kata fithri berarti jati diri. Jati diri manusia adalah sebagai khalifah, yaitu makhluk termulia, penghuni surga, tetapi dalam waktu bersamaan juga makhluk yang berlumur dosa. Kenapa? Karena ia dibekali hawa nafsu, juga dibekali hati nurani, yaitu gabungan antara hati yang tajam dan pikiran yang jernih untuk menahan diri dari dorongan nafsu hewani. Sehingga seorang mukmin dikatakan “kembali ke fitrah” itu artinya ia kembali ke jati diri, karena ia sanggup menahan hawa nafsu dengan hati-nuraninya atau sebaliknya, seorang mukmin belumlah dikatakan kembali ke fitrah bila hawa nafsunya mendorongnya untuk bersikap liar dan tak terkendali.
Keenam, jika fithri diartikan dinnul al-islam, islam secara bahasa bentuk masdar dari sa-la-ma yaitu perdamaian atau ketertundukkan. Konsekwensi dari kata ‘damai’ atau ‘tunduk’ ini mengandung tiga unsur inti, yaitu kita sebagai hamba harus merasa damai dengan Tuhan, yaitu harus tunduk dengan cara meninggalkan semua larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya dengan (dan) tanpa paksaan apapun. Selanjutnya, kata damai berarti kita harus bisa merangkul kembali yang bercerai berai dari sesama, menghilangkan sekat-sekat dan api permusuhan, serta menepis perbedaan-perbedaan yang mengakibatkan percikan kebencian. Ketiga berdamai dengan alam, dengan tidak terlalu mengekploitasinya, sehingga mengakibatkan kehancuran atau bencana, itulah buah dari Ramadhahan sebulan penuh.
Selain keenam makna di atas ada yang berpendapat fithri berarti futhur artinya berbuka. Artinya saat nafsu perut terbuka dan kembali merajalela, hati-hatilah dengan jati diri anda. Hati-hatilah dengan rezeki yang tidak halal, hat-hatilah dengan sikap benci yang berlebihan dan permusuhan, yang semua itu mengarah pada kehilangan jati diri kita yang sesungguhnya. Itu berarti Idhul Fitri berarti momentum yang baik buat berdamai dan saling memaafkan.
Lantas ada apa maksud dari kata Faizin? Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arabi, juga kamus Munawwir dan Mauwrid, kata faizin tercerabut dari kata faza-fauzan-faizin, yang artinya adalah na-lahu bihi fauzan, yaitu memperoleh kesuksesan atau kemenangan, bisa juga halaka wa mata, seperti kalimat wafauza arrajulu, artinya adalah seseorang telah mengalahkan atau membinaskan, bisa juga berarti an-naja atau minal makruhi; selamat dan terhindar dari sesuatu yang bahaya, dan terakhir, bisa bermakna fauza at-thariq atau bada wa dhahara (sesuatu yang nampak terang atau berkilau). Mari kita bahas satu persatu.
Pertama, adalah bermakna kesuksesan atau kemenangan. Idul Fitri dapat disebut hari raya kemenangan. Pada hari itu, karena kaum beriman yang telah menunaikan ibadah Ramadhan meraih kemenangan dan seperti dengan terlahir kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan kuat hati. Mengapa harus ada yang menang dan ada yang kalah? Karena faktanya, kita diberi nafsu, dan ini punya pesan simbolik untuk dikalahkan dan hati nurani (hati-akal) itulah alat untuk mengalahkan atau sebagai senjata perjuangan, sebagaimana yang diajarkan selama Ramadhan.
Kedua, adalah bermakna mengalahkan atau membinasakan, ini semacam sinonim dari sebuah kemenangan, sebab tidak ada kemenangan tanpa mengalahkan. Kalah dan menang adalah lawan kata. Dua sisi yang bertentangan ini adalah sifat keunggulan manusia dari makhluk yang lain (akhsanu takwin) dan kedua ini diciptakan agar manusia menjadi lebih sempurna (insan al-kamil) sebagaimana terkandung dalam Q.S. Asy-Syams ayat 8 yang menjelaskan pentingnya tazkiyatu nafs (penyempurnaan jiwa) agar kita menjadi hamba yang bertakwa (berhati-nurani) dan jauh dari “kefasikan” (hawa nafsu kebinatangan)” dan, memang selama Ramadhan kita diajarkan bagaimana terus membunuh nafsu dan menghancurkannya, termasuk menghancurkan lemak-lemak atau virus yang bisa menimbulkan penyakit dalam tubuh kita.
Ketiga, adalah bermakna selamat dan terhindar dari sesuatu yang bahaya, sehingga nampaklah atau berkilauanlah kebaikan, kebenaran dan keindahan itu. Untuk terhidar dari bahaya dan nampaklah cahaya Islam yaitu kebaikan, kebenaran dan keindahan dibutuhkan jihad atau usaha keras, hal ini terbukti pada catatan sejarah islam yang gembilang, di bulan inilah musuh-musuh islam bisa terkalahkan. Jika merujuk pada fakta sejarah Islam, banyak kita jumpai peristiwa kemenangan besar terjadi mendekati idhul fitri atau sepanjang bulan Ramadhan, Misalnya runtuhnya Masjid Adh-Dhirar milik orang-orang munafik. Datangnya rombongan delegasi kaum Tsaqif yang ingin masuk Islam.
Pada Ramadhan tahun Ke-2 Hijriyah, terjadi peperangan besar yaitu perang Badar Al-Kubra. Peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin, inilah kemenangan agung pertama pejuang-pejuang Islam dalam menentang kemusyrikan dan kebatilan.Pada Ramadhan Tahun Ke-1393 Hijriyah atau 1973 M, kemenangan muslim atas pasukan Salib dengan merebut kembali tanah Palestina yang sebelumnya direbut oleh Zionis Yahudi. Masih banyak peristiwa besar lain lebih dari seratus, termasuk salah satunya adalah kemerdekan Bangsa Indonesia ini yang diraih pada bulan suci Ramadhan. Selamat hari Raya Idhul Fitri 1437 H. Minal Aidzin Wal Faizin. Amin. []
Aguk Irawan MN adalah Sastrawan dan Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Yogyakarta.