Dalam video ceramahnya, Ustadz Abdus Somad mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan permainan catur. Memang jika kita menelusuri hukum permainan catur dalam teks-teks fikih, hukum yang kita dapati umumnya menyamakan hukum catur dengan hukum bermain dadu. Namun, dalam kitab Syafi’iyyah seperti al-Majmu’ karya Imam al-Nawawi, kita tidak mendapati bahasan khusus mengenai catur.
Pembahasan mengenai catur dihubungkan dengan bagaimana hukum jual beli catur, serta apakah seorang pemain catur dapat diterima persaksiannya (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: 20/228-230). Pembahasan ini menunjukkan fakta penting, bahwa para ulama fikih tidak menghukumi sebuah jenis barang tertentu jika tidak ada nash yang jelas, tapi yang ditinjau adalah apa manfaat dan kegunaannya bagi umat muslim
Namun, jika dilihat dari sudut pandang dalil yang digunakan, banyak dari para ulama yang menyatakan kalau tidak ada dalil yang tegas mengharamkannya. Al-Munziri, seperti yang dikutip al-Bushiri dalam Ithaf al-Khirah al-Mahirrah menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan keharaman catur tidak ada yang sahih.
Bahkan, lanjutnya bahwa hukum bermain catur bisa haram ketika dalam pelaksanaannya dicampuradukkan dengan kata-kata kotor, atau ada usur perjudian, atau melupakan waktu shalat, dan hal-hal munkar lainnya. Pendapat yang sama juga digunakan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’.
Sa’id bin Jubair, seorang Tabi’in adalah diantara tabi’in yang membolehkan permainan catur. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan kalau cara ia bermain catur adalah dengan membalikkan tubuhnya (Kana Sa’id ibn Jubair yal’abu al-syathranj istidbaaran). Dari sini, al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra memasukkannya riwayat ini kedalam “bab perbedaan pendapat tentang permainan catur” (Bab al-Ikhtilaaf fi al-Shatranj).
Di awal bab misalnya, al-Baihaqi – yang bermazhab Syafi’i dan tidak mengharamkan catur, hanya makruh saja – mengutip sebuah hadis dari al-Ma’qil al-Baahili tentang seseorang yang bertanya apa pendapat al-Hasan bin ‘Ali (cucu Rasulullah SAW) tentang catur. Imam al-Hasan RA, Menyatakan kalau catur tidak dilarang (laa yaraa bihaa ba’san), berbeda dengan dadu (nardashir) yang dihukum haram. (al-Baihaqi: 10/357).
Sementara yang mengharamkan, ada yang menyatakan bahwa catur adalah permainan orang-orang asing (lu’batu al-a’aajim). Riwayat lain menyebutkan bahwa permainan catur sama dengan permain-permainan setan. Tapi yang jelas, para ulama tidak bersepakat tentang status keharaman catur
Dalam diskusi tentang haram tidaknya permainan catur, al-Subki dalam fatwanya mendapatnya pertanyaan soal bagaimana hukumnya ketika seorang bermazhab Syafi’i bermain catur dengan orang yang bermazhab Hanafi (mazhabnya mengharamkan permainan catur), apakah ini sama saja dengan menolong orang lain dalam kemaksiatan ketika membuka perdagangan di saat umat Islam sudah bersiap berangkat ke masjid?
Jawaban Al-Subki, tentu tidak sama. Karena Dalam jual beli disaat shalat Jum’at, perkara ini diharapkan oleh kesemu mazhab. Sementara permainan catur antara orang bermazhab Hanafi dan Syafi’I, hanya satu pihak yang mengharamkan, yaitu Hanafi. Itu pun bagian dari ijtihadnya, sehingga boleh jadi keliru. (Taqiyyu al-Din al-Subki: 5/133)
Masih menurut Hamza Yusuf, seperti yang diucapkan oleh ulama pakar ushul fikih bahwa pengharaman permainan catur yang dilakukan oleh para ulama terdahulu banyak menggunakan dalil Qiyas (Analogi). Masalahnya, catur (arab: al-shatranj) tidak pernah disebutkan secara spesifik dalam hadis, apalagi al-Qur’an. Bahkan, riwayat-riwayat yang ada cenderung lemah bahkan palsu.
Sementara, penggunaan qiyas catur dengan beberapa permainan lain seperti dadu ala Persia (nardashir) masih diperdebatkan sehingga ada yang berpendapat kalau penggunaan analogi ini tidak sah terhadap catur. Catur, bagi yang membolehkan dianggap sebagai sarana berlatih meningkatkan kecerdasan, mengatur strategi, dan bisa jadi malah bisa dianalogikan kedalam aktivitas yang disukai Nabi SAW, seperti memanah, berenang, dan berkuda.
Sementara, penggunaan qiyas catur dengan beberapa permainan lain seperti dadu ala Persia (nardashir) masih diperdebatkan sehingga ada yang berpendapat kalau penggunaan analogi ini tidak sah terhadap catur. Catur, bagi yang membolehkan dianggap sebagai sarana berlatih meningkatkan kecerdasan, mengatur strategi, dan bisa jadi malah bisa dianalogikan kedalam aktivitas yang disukai Nabi SAW, seperti memanah, berenang, dan berkuda.
Akhiran, menarik untuk mengangkat riwayat al-Baihaqi bahwa untuk menilai apakah catur itu termasuk perjudian (arab: maysir) atau tidak, dengan riwayat yang dimasukkan kedalam bab Man kariha kulla maa la’iba al-naasu min al-hazzah (Mereka yang memakruhkan Permainan di waktu senggang).
Banyak riwayat yang dikutip bahwa maysir – pada esensinya – adalah apapun yang melalainkan dari mengingat Allah SWT dan beribadah (kullu maa alhaa al-naas ‘ani al-shalaati wa ‘an dzikrillaahi fahuwa maysir).
Artinya, hadis ini bisa dijadikan kaidah untuk mencela apapun yang membuat waktu kita terbuang sia-sia. Di akhir kesimpulan paper-nya, Hamza Yusuf menyatakan bahwa kita yang sibuk dengan internet dan media sosial, berkemungkinan masuk kedalam bab ini.
Selengkapnya, klik di sini