Tak dinyana, kemarin, dalam perjalanan menuju kantor Fahmina institute, seorang mahasiswa yang mengantarkan aku bertanya tentang arti “Jahiliyah”. Dia mendengar kata itu sesudah menonton via YouTube, diucapkan seorang penceramah di depan publik dengan suaranya yang menggelegar, berapi-api dan sangat emosional. “Kita wajib meninggalkan sistem kehidupan zaman Jahiliyah sekarang ini, yang menyengsarakan kita semua. Kita harus menegakkan hukum Allah”.
Aku mencoba menyampaikan pendapat mengenai kata ini.
Zaman Jahiliyah bukan hanya bermakna zaman menyebarnya kebodohan dalam arti tidak bisa membaca, menulis atau berpikir atau berkebudayaan. Sejarah peradaban pra Islam kaya akan karya-karya kebudayaan yang luar biasa. Ada banyak artefak kebudayaan manusia sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Seperti yang ada di Mesir, Siria, Mesopotamia (Irak), Turki Bizantium, Yaman dan sebagainya. Meskipun benar juga bahwa pada zaman itu banyak orang yang tidak bisa membaca dan menulis.
Banyak penafsir yang memaknai kata ini sebagai zaman dimana mayoritas masyarakat menganut keyakinan yang salah. Menuhankan batu, berhala dan lain-lain.
Tetapi terma Jahiliyah bisa dan ini mungkin lebih relevan, dipahami sebagai hilangnya kesadaran diri terhadap hak-hak kemanusiaan orang yang lain. Banyak manusia saat itu yang melakukan penindasan terhadap orang-orang yang lemah. Mereka tidak sadar bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk dihargai, hak untuk mengekspresikan pikirannya, hak untuk memeroleh rasa aman, damai, dan diperlakukan secara adil dan hak-hak kemanusiaan yang lain.
Karen Armstrong mengurai kata itu dengan tafsirnya yang menarik. Katanya : “Jahiliyah” sering dipahami sebagai periode pra Islam di Arabia. Ia dipersepsi sebagai zaman kebodohan, sebagaimana asal makna kata itu. Tetapi meskipun akar JHL memiliki konotasi kebodohan, arti utamanya adalah “sifat lekas marah”, mengagumi diri sendiri dan fanatisme yang tinggi (terhadap kelompoknya), keangkuhan, ekstrim, dan di atas semua itu, kecenderungan kronis kepada kekerasan dan pembalasan dendam”.
Muhammad Abduh, reformis abad 20 menyampaikan pandangan yang serupa. “Aku katakan bahwa “Al-Jahalah”, atau “Al-Juhhal”, adalah
اهل الخشونة والغطرسة
“mereka yang berhati kasar dan sangat arogan”.
Menurut Abduh : “Inilah penyakit paling berbahaya yang merasuk ke dalam jiwa dan pikiran sebagian kaum muslimin dewasa ini”. (Ibn Rusyd wa Filsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, cet. I, 1988, h. 217-218).
“Lalu siapakah orang-orang Jahiliyah pada zaman ini?. Siapakah mereka itu?”, kata mahasiswa tadi. Aku hanya menjawab singkat : “semua orang juga tahu”. Dan dia tertawa : ha ha ha.