Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi fenomena gerakan yang menuntut proses hukum terhadap Ahok (Basuki Tjahja Purnama) masih tetap membekas dalam ingatan. Seperti diketahui, September 2016 lalu, Ahok yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sedang mensosialisasikan program dan kemudian menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Akibatnya, sebagian kalangan umat Islam mengadakan gerakan dan aksi berjilid-jilid sampai melahirkan istilah “alumni” bagi siapapun yang mengikuti gerakan itu.
Juli 2018 lalu, Hanan Attaki berceramah dan di dalamnya mengatakan bahwa “Nabi Musa adalah premannya nabi”. Dalam ceramah tersebut iingin menekankan bahwa Nabi Musa AS memiliki kekuatan fisik yang besar. Ceramah tersebut menimbulkan polemik. Sadar akan polemik tersebut, Hanan Attaki segera membuat klarifikasi dan pernyataan maaf. Hal serupa juga terjadi di Ustadz Evie Effendi yang viral tentang Nabi Muhammad yang ia tafsirkan pernah menjadi sesat.
Peristiwa ini memiliki kemiripan, yaitu adanya indikasi menggunakan kata yang berpotensi ditafsirkan sebagai sikap merendahkan agama. Mereka memiliki akhir yang berbeda meskipun keduanya memilih sikap yang sama, yaitu meminta maaf. Ahok berakhir di penjara, sedangkan Hanan Attaki justru mendapatkan pujian sebagai orang yang berjiwa besar karena sudah bersedia meminta maaf, sama dengan Ustadz Evie, sejawatnya di Pemuda Hijrah.
Dari peristiwa ini, terlihat jelas bahwa tantangan umat di jaman ini adalah bersikap adil sejak dalam pikiran. Adil merupakan sikap yang sepatutnya, seimbang, dan tidak berat Tsebelah. Pertanyaannya adalah mengapa kedua tokoh tersebut bisa berakhir berbeda sedangkan sikap akhir keduanya sama, yaitu sama-sama meminta maaf? Barangkali ada yang berpendapat bahwa Ahok jelas-jelas sengaja menyinggung Al Maidah ayat 51 karena sebelum peristiwa di Kepulauan Seribu (tepatnya 2015), Ahok mengusulkan password WiFi dengan menggunakan Al Maidah 51. Sedangkan, Hanan Attaki hanya sekali mengatakan bahwa Nabi Musa adalah premannya para nabi. Dalam paradigma kognitif, setiap kata yang terucap adalah hasil pemikiran seseorang, baik pemikiran tersebut dilakukan secara cepat maupun matang. Sehingga, tidak ada istilah sengaja atau tidak senygaja dalam konteks perkataan (kecuali fenomena slip of tongue).
Fenomena aksi berjilid-jilid itu pun memunculkan sikap tidak adil yang lain, yaitu menganggap pihak yang tidak mengikuti aksi sebagai orang yang tidak tegas bahkan telah ikut kafir. Penulis sendiri berpendapat bahwa Ahok memang melakukan sikap yang tidak pada tempatnya, yaitu menyinggung sesuatu yang bukan haknya (Ahok adalah seorang Nasrani dan berbicara tentang Al Maidah ayat 51) di tempat publik, tetapi penulis tidak menganggap Ahok menista Islam. Sehingga, penulis tidak mengikuti aksi tersebut. Akibatnya, penulis dianggap tidak tegas dan kafir serta liberal karena tidak berpartisipasi dalam aksi menuntut Ahok.
Peristiwa lain yang mengindikasikan ketidakmampuan (yang lebih tepatnya adalah sikap tidak bersedia) untuk bersikap adil adalah fenomena Islam Nusantara. Ketika Muktamar Nahdlatul ‘Ulama ke-33 di Jombang tahun 2015 mengusung tema Islam Nusantara, banyak sekali pihak yang mengkritik (sampai sekarang), bahkan menganggap Nahdlatul ‘Ulama mengadakan bid’ah yang sesat sehingga membuatnya kafir. Meskipun sudah berulang kali penjelasan dan klarifikasi tentang Islam Nusantara diberikan oleh para tokoh dan ulama NU, tetap saja kalangan yang kontra bersikeras menganggap Islam Nusantara adalah sesat. Diketahui kemudian bahwa kalangan yang keras menolak Islam Nusantara ini adalah kalangan puritan-radikalis atau kalangan lain yang terpengaruh olehnya.
Belakangan beredar Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera yang juga menggunakan Islam Nusantara. Meskipun PKS tidak menganut Islam Nusantara, di dalamnya tertulis bahwa Islam Nusantara bersifat dialogis, damai, dan lebih moderen. Selain itu, di dalam falsafah dan platform tersebut dituliskan bahwa Islam Nusantara sangat efektif mendorong terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Falsafah dan platform tersebut disusun oleh Majelis Pertimbangan Pusat PKS pada tahun 2008. Akan tetapi, penggunaan dan pujian terhadap Islam Nusantara yang dilakukan oleh PKS ini tidak memunculkan kontroversi.
Berdasarkan berbagai peristiwa tersebut, sekali lagi, bahwa krisis di jaman saat ini adalah bersikap adil terhadap semua kalangan. Ketidakmampuan bersikap adil yang ditunjukkan oleh beberapa pihak tersebut, mencerminkan beberapa hal.
Pertama, ketidakadilan sikap ini mengindikasikan adanya sikap standart ganda. Lebih jauh lagi, sikap ini ditempuh untuk menyelamatkan orang yang berada di pihaknya sedangkan menjatuhkan orang yang berada di pihak lawan. Dari sini bisa dipahami, bahwa sikap tidak adil ini bermuatan politis untuk mendapatkan tujuan kelompok tersebut. Sikap menuntut Ahok dengan aksi berjilid-jilid tersebut bukan murni motif agama, tetapi motif “pemanasan” untuk merebut kekuasaan atau mengganti Presiden di periode mendatang.
Jika memang Ahok salah secara hukum dan memang harus dihukum, bukan kemudian dengan cara mengerahkan massa dan mengadakan aksi berjilid-jilid yang intimidatif sebagai tanda tidak bersedia memaafkan Ahok. Sikap menganggap konsep Islam Nusantara salah bukan didasarkan atas dalil keagamaan, melainkan agar pihak Islam puritan mengambil alih kendali kehidupan bernegara dengan terlebih dahulu mengambil simpati masyarakat dengan cara mengakui Islam Nusantara untuk kemudian mencabut bangsa Indonesia dari karakter asli dan budayanya.
Kedua, ketidakadilan yang berujung sikap standart ganda ini mengindikasikan abnormalitas pemikiran dan psikologis. Hal ini ditandai dengan adanya sikap rasionalisasi. Dalam paradigma psikodinamika, rasionalisasi termasuk dalam salah satu mekanisme pertahanan ego ketika ego sedang terancam. Lebih spesifiknya, rasionalisasi adalah sikap mencari alasan untuk membenarkan pikiran, perasaan, dan perilakunya, meskipun perilaku tersebut tidak benar. Rasionalisasi digunakan untuk membenarkan sikap orang yang termasuk dalam kelompoknya dan menyalahkan sikap orang yang berada di luar kelompoknya, meskipun keduanya telah melakukan perilaku yang sama. Ketika rasionalisasi digunakan oleh seseorang atau kelompok, maka mengindikasikan adanya abnormalitas dalam diri seseorang dan kelompok tersebut.
Maka, penting bagi masyarakat untuk mendidik generasi penerus untuk bersikap adil. Edukasi tersebut harus dimulai sejak sekarang karena jika tidak ada yang peduli dengan kondisi ini, maka kegaduhan akan terus berlangsung. Di sisi lain, penting juga untuk menanamkan sikap perlunya mencari klarifikasi dan berpikiran terbuka untuk mendengarkan berbagai pendapat, baik dari pihak insider maupun outsider sehingga mampu memunculkan sikap bijak. Terakhir, masyarakat perlu menginternalisasikan sikap untuk bersikap elegan namun memiliki dampak yang besar ketika menghadapi masalah. Sehingga, sikap-sikap radikal bisa dicegah.