Media online merupakan salah satu perangkat ampuh untuk merekonstruksi paham masyarakat dengan jumlah yang besar. Hilangnya batas-batas geografis membuat media online menjadi sarana penyampai pesan yang sangat tepat. Namun, hal ini juga memiliki dampak negatif terhadap masyarakat, dimana terjadinya simpang siurnya informasi yang beredar.
Diakui atau tidak, isu agama selalu menjadi trending topik pada masa-masa pemilu kemarin. Tak terkecuali, muncul berbagai pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan untuk melegitimasi satu politik tertentu.
Simpang siurnya penafsiran Al-Qur’an tersebut merupakan salah satu dampak dari kemajuan media online. Di media online siapapun berhak untuk berpendapat. Pertanyannya, manakah pemaknaan Al-Qur’an yang bisa dipertanggungjawabkan? siapakan sebenarnya orang yang paling berhak untuk memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an?
Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir menjelaskan mengenai syarat-syarat seorang mufasir yang dikajinya dari syarat-syarat mufasir Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Syarat-syarat tersebut, pertama mufasir harus dapat bersikap objektif. Kedua, mufasir harus memahami konteks dari ayat yang ditafsiri, baik dari sisi munāsabatu al-āyat, asbāb an-nuzūl, dan lain sebagainya.
Ketiga, mengetahui konteks pembaca tafsir dan materi apa yang sedang dibahas. Keempat, mengerti tentang ilmu-ilmu alat, seperti kaidah bahasa dan lainnya. Kelima, mufasir harus menggunakan kaidah atau metode dalam menafsirkan ayat. Keenam, mengetahui keilmuan yang bersangkutan dengan materi ayat yang sedang ditafsiri.
Pendapat ini menuai penolakan dari para pemikir tafsir modern, karena berimbas bahwa masyarakat umum tidak berhak untuk memaknai Al-Qur’an. Salah satunya adalah bapak pemikiran tafsir modern, Muhammad Abduh. Abduh menolak pendapat ini dengan alasan, pertama, tafsir merupakan hasil pemaknaan yang lahir dari berbagai macam konteks yang berbeda. Kedua, kesesuaian penurunan ayat dengan konteks bangsa arab dulu. Keduanya menunjukkan bahwa Al-Qur’an begitu kuat interaksinya dengan kondisi masyarakat.
Dari sinilah Muhammad Abduh mengambil kesimpulan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Jadi siapapun masyarakatnya, baik dari kalangan kiai, ustadz, masyarakat biasa, dapat memaknai Al-Qur’an. Dari sini akhirnya dapat dipahami bahwa makna Al-Qur’an sendiri menjadi sangat variatif, hingga menimbulkan keambiguan terhadap makna Al-Qur’an. Lalu bagaimana baiknya?
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia layaknya obat bagi tubuh manusia. Pada saat seseorang sakit, semisal pusing atau masuk angin maka cukuplah ke warung ataupun indomaret, untuk membeli obat oskadon atau tolak angin. Siapapun orangnya, dari lapisan masyarakat manapun paham akan obatnya, dan dapat memberikan resepnya.
Mungkin itu pengibaratan yang sesuai bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia. Bahwa setiap lapisan masyarakat bisa paham dan mengerti ayat-ayat tertentu yang sesuai dengan kondisinya. Sehingga menjadikan ayat tersebut sebagai petunjuk dan dipegang sebagai pedoman hidup.
Namun bagaimana jika mengenai ayat-ayat dengan tema tertentu? Semisal tentang politik, kesehatan, atau bahkan sains? Maka di sini dibutuhkan mufasir dengan kriteria-kriteria tertentu. Karena jika sampai keliru dalam menafsirkan, dalam artian asal menafsirkan tanpa metodologi tertentu maka hasil penafsirannya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan dan asal-asalan. Yang jadi korbannya siapa? Tentu masyarakat umum yang menjadi pembacanya.
Hal ini bisa dibayangkan dengan seorang pasien yang menderita sakit parah, semisal kanker. Pada kasus ini, tidak bisa masyarakat awam atau orang yang tidak mengerti tentang ilmu medis memberikan saran obat ataupun cara penyembuhannya. Haruslah seorang dokter spesialis yang menanganinya, tentunya dengan metode-metode ilmu kedokteran. Jika si pasien asal mengikuti saran dari orang, maka resikonya bisa fatal bagi diri si pasien.
Miftahuddin, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Sunan Pandanaran.