Seperti roda berputar, beberapa hari ini kita kembali menyaksikan orang-orang berteriak penuh cacian dan kebencian. Di Twitter saya melihat beberapa akun dengan enteng memberi label “kiai tolol” dan “kiai goblok”. Mudah diduga ini tentu berkaitan dengan ribut-ribut tuduhan penistaaan agama yang menurut mereka dilakukan Gus Muwafiq.
Di linimasa Twitter saya juga berseliweran video sekelompok orang yang melengkingkan teriakan “munafik!” dan “anjing!” kepada saudara sesama muslim yang sedang sholawatan. Sebelumnya, berdasar berita yang saya baca, mereka juga menggeber motor keras-keras ketika melintas di depan kantor PCNU Solo. Bahkan terjadi aksi pelemparan batu (meski menurut polisi hanya adu mulut) .
Kejadian-kejadian ini mengingatkan saya pada buku Nasaruddin Umar yang bertajuk Jihad Melawan Religious Hate Speech. Apa itu religious hate speech? Nasaruddin Umar menyatakan religious hate speech adalah ungkapan kebencian berlatar belakang agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte dan atribut keagamaan lainnya. Religious hate speech dekat dengan kata hasud dan provokasi.
Bentuk-bentuk religious hate speech beragam. Mulai dari menyebar fitnah, hoaks, menghasut, menghina hingga mengeksploitasi dalil-dalil agama untuk kepentingan tertentu. Adapun cara kerjanya juga macam-macam: menyasar simbol-simbol agama, rekayasa survei, pernyataan sembrono, melecehkan mazhab orang lain, membiarkan kezaliman, ekspose kasus secara berlebihan dan mendelegitimasi peran negara.
Cara kerja religious hate speech dengan mengekspose kasus secara berlebihan mengingatkan kita pada kasus Ahok pada Pilgub DKI lalu dan Gus Muwafiq yang sedang berlangsung kini. Sesuatu yang sebetulnya sederhana dibuat berlarut-larut dan berkepanjangan. Kasus Gus Muwafiq yang dieksploitasi berlebihan berpotensi memecah masyarakat yang sebenarnya sedang dalam proses penyatuan kembali pasca pilpres.
Anehnya, tafsir lain tentang sejarah Nabi Muhammad (Nabi pernah sesat dan orang tua Nabi di neraka) tidak mendapat respons berlebihan dari mereka. Artinya, dimungkinkan religious hate speech dirancang dengan target yang tertentu dengan mengharap respons dari kelompok yang disasar (etnis Tionghoa dan kelompok NU, misalnya). Nahasnya, kedua kasus itu memiliki kesamaan yakni bermula dari potongan video yang tentu tidak utuh.
Bahaya hate speech
Mohammad Iqbal Ahnaf dan Suhadi menulis paper berjudul Isu-isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasinya terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleransi. Di sana terdapat satu sub judul yang saya kira penting: Kenapa Ujaran Kebencian Berbahaya? Menurut Ahnaf dan Suyadi, setidaknya ada empat bahaya ujaran kebencian: ujaran kebencian sejatinya adalah intimidasi dan pembatasan kebebasan berpendapat, ujaran kebencian menciptakan polarisasi, ujaran kebencian menjadi cara rekrutmen kelompok garis keras (bukan sekadar menyemai permusuhan dan intoleransi) dan ujaran kebencian berkaitan dengan kekerasan dan intimidasi.
Apa yang disampaikan Ahnaf dan Suyadi tepat adanya. Kita saksikan, setidaknya di media sosial, linimasa yang sudah relatif dingin kini kembali memanas. Membelah masyarakat menjadi dua kubu, mereka yang mencaci Gus Muwafiq dan yang membelanya. Ujaran kebencian yang berujung kekerasan dan intimidasi juga bisa kita lihat pada video di depan PCNU Solo yang tempo hari viral. Negara mestinya hadir dalam merespons kejadian-kejadian seperti ini.
Hanya saja, dalam riuh caci maki terhadap Gus Muwafiq seorang teman bertanya: pada kasus Ahok, kemarahan mereka yang meledak-ledak dimungkinkan juga berlatar politik (Pilgub DKI). Nah, ketika Prabowo sudah masuk kabinet Jokowi (bahkan Gerindra dapat dua menteri) kenapa kebencian dan kemarahan masih dibuat berlarut-larut?
Dan, mengapa selalu saja dalam ribut-ribut seperti ini mereka mengatasnamakan “umat Islam”? Padahal lebih banyak umat Islam yang santuy-santuy saja.