Mari kita lanjutkan.
Semua hadis tersebut –dengan merujuk pada otoritas Kutubus Sittah yang lazim kita rujuk—mari kita perbandingkan dengan sejumlah hadis lain yang setema, yang juga memiliki kualitas sanad dan matan yang sama kuatnya.
Saya menemukan dalam khazanah Kutubus Sittah pula bahwa ternyata Rasulullah SAW juga telah menyampaikan sejumlah hadis yang mengandung “makna sebaliknya”, yakni bolehnya para perempuan pergi ke masjid untuk bershalat jamaah.
Berikut hadis-hadisnya.
Ibnu Umar mengatakan bahwa istri Umar bin Khattab selalu ikut shalat Subuh dan Isya’ berjamaah di masjid. Ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu masih keluar rumah, padahal kamu tahu suamimu, Umar, membenci hal ini dan cemburu?”
Ia menjawab, “Mengapa ia (Umar) tak melarangku sekalian?”
“Umar tak melarangmu karena ada penyataan dari Rasulullah Saw ‘Janganlah melarang perempuan yang ingin mendatangi masjid-masjid Allah’.” (HR Bukhari 908; Muslim 1018; Imam Dawud 565; Imam Ahmad 4745).
Ibnu Umar menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila perempuan-perempuan kalian minta izin keluar rumah di malam hari untuk pergi ke masjid, maka uzinkanlah.” (HR. Bukhari 873; Muslim 1019; Imam Ahmad 289).
Dari Urwah bin Zubair, ia meriwayatkan bahwa Aisyah Ra berkata, “Kami para perempuan mukmin biasa hadir mengikuti Rasulullah Saw shalat Subuh dengan pakaian wol kami. Kami lalu bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat. Karena pagi masih buta dan gelap, seseorang masih belum bisa mengenali kami.” (HR. Bukhari 578; Muslim 1491; Imam Dawud 423; Imam Nasa’i 550; Imam Ahmad 24645).
Jika kita cermati dengan seksama menggunakan metode kajian tematik (maudhu’i) antara hadis-hadis yang melarang perempuan bershalat jamaah di masjid dengan yang membolehkan, niscaya kita memahami bahwa nampaknya poin pokok hukum tersebut (‘illatul hukmi) yang menjadi musabab bagi lahirnya hukum tersebut BUKAN terletak pada pergi/tidaknya ke masjid. Tetapi menunjuk kepada “KONDISI KHUSUS” yang secara nyata melingkari seorang perempuan dan perempuan lainnya (yang tentu tak sama).
“Kondisi khusus” inilah yang sekaligus menjadi tujuan syariatnya (maqashid al-syariah) yang ingin dicapai, diwujudkan, melampaui bunyi teks hadis-hadis yang nampak berseberangan tersebut.
Apa “kondisi khusus” tersebut?
Ikhtilat (percampuran dengan non mahram). Ya, ikhtilat yang rawan memicu masalah-masalah negatif (seperti godaan syahwat, sensualitas, dan cemarnya marwah). Saya nyatakan “yang rawan”, dikarenakan dapat kita pahami bahwa antar orang niscaya memiliki situasi yang berbeda dalam konteks ini, sehingga tak bisa digeneralisir semua perempuan rawan terhadap tantangan ikhtilat tersebut. Selain, tentunya, kita memafhumi betapa di masa awal Islam itu, keketatan ikhtilat ini menjadi salah satu ajaran yang dibangun oleh Islam.
Maka, umpama ada seorang perempuan yang meyakini dirinya aman dari kerawanan ikhtilat dan mampu memelihara marwah kemuslimahannya –dan tentulah ini pada hakikatnya turut menjadi tanggung jawab kaum lelaki pula—dapat dinyatakan bahwa shalat jamaah di masjid sah belaka baginya. Begitupun sebaliknya, bagi perempuan yang rawan terinfeksi ikhtilat yang merusak, baginya lebih utama untuk shalat di rumahnya, bukan di masjid.
Kita bisa menalar dengan logis sekali poin pokok ‘illatul hukm dan maqashid syariah ini dari ucapan Rasulullah Saw berikut:
“….shalatmu di kamar khusus untukmu lebih utama daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama daripada shalatmu di ruang luar rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama daripada shalatmu di masjid kelompokmu. Dan shalatmu di masjid kelompokmu lebih utama daripada shalatmu di masjidku ini.”
Lalu:
“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium (merasakan) aroma harum yang dipakainya, maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.”
Sampai di sini, kita bisa menakwil irisan-irisan keutamaan shalat bagi perempuan yang dibikin berjenjang demikian BUKAN memaksudkan suatu hukum larangan, tetapi anjuran kehati-hatian agar tidak tercemar ikhtilat, yang tentulah kondisinya sangat bergantung kepada kondisi-kondisi khusus personal dan sosial tadi.
Jika ia ragu pada infeksi ikhtilat, maka shalat di rumah lebih utama. Bahkan (bayangkan!) jika keraguan itu begitu besar (sebutlah karena situasi lingkungannya yang sangat rawan gangguan lawan jenis), maka shalat di rumahnya pun mesti di ruang khusus yang tersembunyi –tidak boleh di sembarang ruangan dari rumahnya.
Pertanyan riilnya untuk lingkungan kita kini adalah apakah lingkungan sosial Anda sedemikian rawannya sehingga Anda mesti bersembunyi sedemikian rapatnya demi menghindarkan gangguan lawan jenis?
Untuk lingkungan saya sendiri, saya sama sekali tak merasakan kerawanan tersebut. Saya kira lingkungan Anda pun demikian adanya secara umum, bukan?
Maka, karena situasi sosialnya aman, lalu berlaku pemahaman sebaliknya: jika ia aman, maka shalat di masjid lebih utama baginya.
Adapun maksud dari “masjid kelompokmu” dapat kita pahami sebagai “lebih kecilnya jumlah orang non mahram di sekitar lingkungan sosial keseharian kita atau musykilnya gangguan-gangguan syahwati dari para tetangga yang kita kenal baik, sehingga lebih aman risiko ikhtilat-nya ketimbang masjid Rasul Saw yang lebih majemuk populasinya dan luas skup jamaah yang tak kita kenal baik. Lagi-lagi, bila risiko negatif ikhtilat itu terminimalisir, maka shalat di masjid luar, luas, dan besar menjadi tiada masalah sama sekali.
Pertanyaan riil berikutnya adalah apakah Anda pernah melakukan shalat jamaah di masjid umum, luar kelompok, di negeri ini lalu Anda diganggu oleh orang-orang non mahram?
Saya rasa kok tidak ada, ya.
Bersambung