Ada sejumlah hadis yang amat sering dikutip oleh para ustadz dan penceramah untuk meneguhkan pandangannya perihal tidak utamanya (bahkan tidak bolehnya) shalat berjamaah di masjid bagi para perempuan. Lalu, berdasar pemahaman mereka terhadap hadis-hadis tersebut, dihukumilah bahwa kaum perempuan lebih baik shalat di rumahnya, bukan di masjid. Shalat jamaah di masjid hanya berlaku bagi para lelaki. Tentu, berikutnya, pemahaman ini dinarasikan dengan meyakinkan sebagai sunnah Rasul SAW.
Narasi tersebut terasa betul nuansa hegemoniknya terhadap kaum perempuan. Ini bukan melulu tentang ketidakadilan gendernya, tetapi yang jauh lebih mendasar ialah meletupnya kesan bahwa Islam adalah agama yang merampas potensi kaum perempuan untuk mendulang fadhilah dan pahala shalat jamaah yang berbalas 27 kali lipat itu.
Apa benar Rasulullah SAW melalui hadis-hadis yang kerap dinukil itu melarang para perempuan bershalat jamaah di masjid?
Mari kita uji secara kritis dengan menggunakan metode maudhu’i (tematik), yakni mengumpulkan sejumlah hadis yang bertema sejenis lalu menarik kesimpulan maknanya dengan komprehensif.
Berikut hadis-hadis yang dijadikan landasan naqli pelarangan tersebut.
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad 6:297).
Bahkan ada lagi hadis yang terlihat lebih ketat (untuk tidak dinyatakan posesif) walaupun shalat tersebut dijalankan di rumahnya sendiri.
“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya.” (HR Abu Dawud 570).
Ada riwayat lain lagi.
Suatu hari Ummu Humaid, istri Abu Humaid as-Sa’idi, mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin shalat berjamaah denganmu.” Rasulullah Saw lalu menjawab: “Aku telah mendengar hal itu bahwa kalian sangat ingin shalat berjamaah denganku. Namun shalatmu di kamar khusus untukmu lebih utama daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama daripada shalatmu di ruang luar rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama daripada shalatmu di masjid kelompokmu. Dan shalatmu di masjid kelompokmu lebih utama daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR Ahmad 6:371).
Hadis-hadis tersebut secara lahiriah-tekstual menunjukkan dengan impresif kebenaran pandangan para ustadz dan penceramah yang “melarang” para perempuan bershalat di masjid –atau lebih utama shalat di rumahnya masing-masing.
Dalam banyak ceramah, saya pernah mendengarnya langsung berkali-kali, penyimpulan hukum ini dikukuhkan lagi dengan sebuah hadis “warning” yang bernada “sangat mencela” perempuan yang keluar rumah, melintasi ruang publik yang di dalamnya ada lelaki non mahram, tentunya termasuk pergi ke masjid, yakni:
“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium (merasakan) aroma harum yang dipakainya, maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. Imam Nasa’i 5126; Tirmidzi 2786; Ahmad 4:413).
Dalam redaksi matan lainnya, ada yang bebunyi begini: “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium (merasakan) aroma harum yang dipakainya, dan pergi ke masjid, maka malaikat akan mengutuknya hingga ia mandi dan bertaubat.”
Luar biasa sekali, bukan, nada larangan itu terdengar sangat meyakinkan? Tapi, pertanyaannya, lagi-lagi, apa benar Rasulullah SAW memaksudkan perlakuan yang tak adil begitu?
Bersambung