Apa Benar Kita Lebih Radikal?

Apa Benar Kita Lebih Radikal?

Apa Benar Kita Lebih Radikal?

Pada usia 10 tahun, saya melabrak seorang teman karena melewati kiblat shalat saya. Ia protes dan merasa tak bersalah. Saya bilang, untung saja saya hanya melabraknya, sementara ada hadis yang menyatakan siapa yang menerabas kiblat orang shalat boleh dibunuh.

Ketika usia SMP, saya membaca secara rakus bacaan-bacaan yang mungkin sekarang ini bisa dijadikan bukti oleh Densus 88 untuk meneroriskan orang. Setelah majalah Sabili dibredel di awal 90-an, saya membaca majalah penggantinya, Intilaq, yang lebih keras dan lebih internasional. Saya masih mengingat tangisan saya ketika membaca kisah bocah Somalia yang mati kelaparan dengan memeluk al-Quran setelah ia tak memperoleh jatah roti ransum dari Pasukan Keamanan PBB karena tak menuruti tuntutan untuk melepas al-Quran yang dipegangnya.

Pada saat bersamaan, kisah-kisah tentang Syeh Yasin dari Hamas menjadi pembangkit amarah sekaligus semangat. Foto-foto Syeh Massoud dari Mujahiddin saya gunting dan tempel, dan terus saya kagumi. Nama Gulbuddin Hekmatyar, Perdana Menteri Afganistan, terdengar begitu merdu di telinga, hingga saya mengangankan, kelak kalau punya anak saya akan kasih nama macam itu. Dan, tak ketinggalan, pusing di kepala: bagaimana bisa orang bernama Najibullah menjadi “boneka Komunis Soviet”?

***

Di SMA, masuk di sebuah pesantren yang mengajarkan semua jenis doa iftitah itu boleh, juga menganjurkan untuk menghafal dan mengamalkan qunut sebagai kebajikan yang tak perlu diragukan, saya malah keranjingan nasyid-nasyid beraroma Intifada. Saya masih hafal pembuka lagu itu: “Ketika laras senapan meretakkan tulang-tulang// Ketika anjing-anjing Samir merobek kehormatan// Ketika dengan batu dan iman kami bertahan// Sedang apakah kalian, sedang apa?// Sedang apakah kalian, sedang apa?…

Pada periode yang sama, saya terobsesi menulis ulang sebuah artikel yang saya temukan dalam majalah Al-Muslimun edisi lama dan tak lagi bersampul, yang membahas tentang tokoh bernama Annie Bessant, keterkaitannya dengan gerakan Mason, Zionis, dan Theosofi, dan agenda tersembunyinya menghancurkan Islam. Meski menolak bergabung mendirikan sebuah organisasi intra sekolah yang berbeda untuk melawan OSIS, akhirnya saya terlibat agak dalam dengan berdirinya–untuk pertama kali–rohis di sekolah kami. Dan, ya, saya berangkat ke Jogja sebagai orang yang punya cukup bahan untuk menjadikan Pancasila sebagai bahan tertawaan.

Ketika masa-masa itu relatif telah lewat, dalam obrolan-obrolan yang diiringi denting cangkir-cangkir kopi dan kepulan asap rokok (mereka), saya tahu saya tidak sendiri melewati fase-fase macam itu. Beberapa kawan di generasi saya juga mengalami hal serupa.

***

 

Jadi apakah masyarakat kita belakangan ini menjadi lebih radikal?

Melihat gejalanya, saya tergoda untuk menjawab “ya”—sebagaimana dilakukan oleh sangat banyak orang. Tapi saya memilih menahan diri, dan lebih senang untuk mengangsurkan kalimat “tunggu dulu”. Dan kalimat itulah yang membuat saya beretropeksi ke masa lalu. Masa lalu saya, dan lebih umum masa lalu sebagian dari generasi kami.

Mungkin perlu mengabaikan beberapa persoalan, termasuk soal membingkai masa lalu dengan cara pandang (bahkan kata) yang terlalu kekinian, menurut saya, radikalisme ada dalam DNA kita. Orang boleh berbeda pendapat soal itu, tak apa. Memandang sangat jauh ke belakang, atau agak-agak dekat saja, kita dengan mudah menemukan itu. Memiliki sejarah macam Puputan Margarana, Revolusi Surabaya, atau Pembantaian ‘65, juga menjadi penyumbang kata “amok” untuk bahasa Inggris, saya merasa yakin kita memang radikal dari sononya.

Meski ada sementara pihak yang menyebut ramah atau bahkan ‘inklusif’ (jika memakai bahasa yang lebih belakangan), khusus untuk umat Islam (Indonesia), menurut hemat saya terus menjadi radikal dari waktu ke waktu. Tiap masa memiliki karakter dan ekspresinya sendiri-sendiri, tergantung konteksnya, tergantung apa yang diresponnya. Dan itu membentang memanjang jauh ke belakang.

Perang Diponegoro biasa disebut sebagai perangnya orang Jawa, tapi itu jelas sekali juga perangnya umat Islam. Dan mana bisa sehebat itu, dengan efek kekalahan yang sesakit itu, jika tak ada radikalisme di dalamnya. Dalam konteks yang sedikit lebih beda, radikalime (Islam) juga yang melahirkan Perang Padri. Lalu Perang Aceh yang panjang dan mengerikan—yang bikin Pemerintah Kolonial dedel-duel kewer-kewer anggarannya itu. Dan ketika itu belum benar-benar reda, gerakan mesianistik (Islam) di Banten meletup. Lalu komunisme dan nasionalisme masuk di awal abad, dan itu menjadi garam untuk luka yang masih segar. Dan lagi-lagi umat Islam menjadi bagian integral, jika bukan yang paling penting, dari radikalisme-radikalisme yang merebak sepanjang nyaris setengah abad dari menjelang sampai benar-benar runtuhnya kolonialisme di Indonesia.

Kita bisa berdebat apa sebab-musababnya, faktor apa yang paling determinan, atau apapun, berkait dengan itu. Tapi, mari akui saja, “favoring extreme changes in existing views, habits, conditions, or institutions,” salah satu arti kata “radical” menurut kamus online Mirriam-Webster (yang menurut saya sangat mewakili keradikalan dalam konteks Indonesia), adalah bagian dari diri kita. Maka, boleh jadi, tak harus menjadi ke-Arab-araban untuk membuat kita gampang mengkafir-kafirkan orang lain, sebagaimana tak perlu menjadi ke-Amerika-amerikanan manakala kita begitu mudah mengunta-untakan orang lain.

***

Ketika seorang teman bertanya kepada saya, apakah anak-anak sekarang memang lebih radikal dibanding generasi sebelum-sebelumnya, saya lebih senang mengatakan, “Mereka mungkin lebih ekspresif saja.” Mungkin.

Ketika sangat terobsesi dengan Annie Bessant, misalnya, satu-satu cara yang bisa saya lakukan untuk memberitahu dunia bahwa ada sosok berbahaya yang tak kita sadari saat itu adalah dengan menulis ulang artikel tua di Al-Muslimun tersebut agar lebih cocok dengan cara menulis seorang bocah SMA, sehingga tak seorang pun curiga bahwa materi itu dicontek dari artikel majalah. Karena di pondok tak ada mading, sementara buletin sekolah hanya terbuka untuk artikel soal Pramuka dan cerpen ala majalah Aneka, satu-satunya saluran adalah tulisan itu dibacakan di sebuah acara muhadharah yang dilangsungkan di pondok setiap minggu sekali—meskipun pada saat yang sama saya yakin tak ada seorang pun di forum tersebut yang akan menanggapi terlalu serius materi pidato tersebut, apalagi itu hasil membaca teks, dan itu pun dibaca dengan suara gemetaran.

Tidak bisa tidak, kegelisahan-kegelisahan macam itu pada akhirnya biasanya hanya akan ditelan sendiri. Ia bisa saja menguat manakala mendapat konfirmasi dari bacaan atau informasi lain. Tapi, ia juga bisa menguap bila ketemu bacaan berbeda yang menyangkalnya. Dan itu tentu saja sangat alami untuk seorang remaja 15 tahun. Yang perlu dicatat, bersekolah di sebuah SMA di kota kecil di Jawa Timur, yang bacaan paling mudah didapat adalah koran Jawa Pos dan Tabloid Bola, dan TTS bergambar perempuan seksi tentunya, menemukan bacaan pembanding adalah hal yang tak gampang.

Itu contoh saja. Yang saya mau bilang, perjalanan berliku untuk menjadi “radikal” itulah tampaknya yang tak dialami anak-anak sekarang. Dengan tombol hp dan pulsa di ujung jempol, mereka dengan mudah mendapatkan “bacaan” yang ingin mereka baca, mendengar “ceramah” yang ingin mereka dengar, atau menemukan “fakta” yang mereka kehendaki. Lebih mudah lagi adalah mengekspresikan pendapat atau pandangannya. Cukup tekan knop “bagikan”, dan memencet beberapa huruf di hp untuk menunjukkan kebesaran Tuhan atau kutukan pada setan, seluruh dunia telah tahu apa yang kita pikirkan. Dan sahlah sudah, seorang bocah berumur 15-an baru saja menyelamatkan umat Islam dari ancaman kaum kafir! Subhanallah…

“Mereka boleh jadi juga sedikit terlambat,” kata seorang teman, melengkapi. Dan saya—meskipun agak berspekulasi dan sedikit berisiko stigmatis—sepakat dengan itu.

Saat masih usia SD, saya dan teman-teman sebaya bertekad, tentu dibarengi dengan rencana yang rinci dan serius, bahwa kami akan melakukan perang gerilya—seperti yang dilakukan Komarudin di film Janur Kuning—jika ada gereja yang dibangun di dekat desa kami. Pada saat yang sama, rencana yang tak kalah rinci dan seriusnya juga kami siapkan jika dalam waktu dekat itu Dajjal muncul dengan mata satu dan cap kafir di keningnya. Maklum, di umur segitu, kami sudah hafal di luar kepala 10 tanda-tanda kecil dan 10 tanda-tanda besar Kiamat.

Tapi sampai hari ini, tak ada gereja di desa kami. Ketika bertemu dengan teman-teman yang berbeda agama di SMA, mereka ternyata baik-baik, dan salah seorang di antaranya bahkan sering mengunjungi saya di pondok. Jadi, lupakan saja rencana gerilya itu. Namun, jika saja gereja itu memang benar ada dan dibangun, dan kami benar-benar bergerilya seperti yang kami rencanakan, saya kok yakin para orangtua kami akan dengan mudah menghalaunya. Cukup dengan acungan cambuk sapi atau bujukan bahwa di rumah emak sedang memasak semur telur untuk kami, kami pasti akan kendor dan terbirit-birit pulang.

Acungan cambuk dan semangkuk semur telur jelas tak akan mempan jika ditujukan untuk para mahasiswa semester dua yang baru saja memperoleh hidayah. Apalagi jika dalam kepala mereka muncul pikiran bahwa orangtua mereka bukan orangtua muslim yang baik, karena bukan saja tak pernah mengajari mereka tentang tanda-tanda Kiamat atau gejala-gejala Kristenisasi, tapi bahkan tak pernah mengajari mereka mengaji. Menjadi lebih keras lagi jika “hidayah” itu membuat mereka membenci masalalu mereka yang “kelam”, yang kering dari air wudhu dan cahaya iman. Runyam, bukan?

Maka, sangat mudah dipahami kalau mereka tidak sekadar melabrak teman yang menerabas kiblat shalat sebagaimana yang saya lakukan dulu, tapi juga melabrak semua yang berbeda dengan mereka. Dan, patut diingat, itu tidak dilakukan oleh bocah 10 tahun.

Harus diakui, di usia mereka, mereka yang disebut radikal itu memang jauh lebih terorganisir. Sebagaimana juga harus diakui, mereka kini menghadapi seperangkat stigma yang dulu tak ada, karena memang baru diproduksi belakangan ini. Itulah yang membuat mereka tampak jauh lebih berbahaya dari sebelum-sebelumnya.

***

Jadi, sekali lagi, apakah kita sekarang memang lebih radikal? Entahlah. Mungkin saja.

Sama mungkinnya bahwa pada saat yang sama kita juga menjadi lebih liberal, lebih konservatif, lebih kiri, lebih kanan, lebih PKI, lebih Masyumi, lebih bodoh, lebih (sok) pintar, lebih demokratis, lebih fasis, lebih toleran, lebih puritan, lebih kalem, lebih reaksioner, lebih berbudaya, lebih biadab, lebih teratur, lebih ngawur, lebih ini, lebih itu….

Ya, bagaimana lagi, semua yang ada di sosial media memang tampak lebih. Itu mungkin tebusan yang sepadan untuk banyak sekali hal kurang yang kita derita di kehidupan nyata. []

Mahfud Ikhwan adalah novelis.  Kambing dan Hujan (2015) adalah novelnya yang mendapatkan penghargaan karya fiksi terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 lalu.

Sumber gambar di sini