Antropologi Qurban

Antropologi Qurban

Bagaimana melihat tradisi dan ibadah Qurban dalam lanskap antropologis?

Antropologi Qurban

Udhiyah atau penyembelihan qurban yang selalu diadakan pada tiga hari Tasyri’ setelah shalat Idul Adha, sering dimaknai hanya pada batasnya sebagai perintah Allah dan Rasulnya. Hukum sunnah mu’akkadah atau sunnah yang sangat dianjurkan bagi orang-orang mampu untuk mengurbankan seekor kambing atau berkongsi tujuh orang untuk sapi atau unta, gugur seketika.

Sunnah mu’akkadah atau wajib sebagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama, qurban dibebankan pada Muslim yang mampu. Namun mengapa kambing dan sapi atau unta? Mengapa mengalirkan darah? Sejauh mana makna qurban yang sesungguhnya bagi umat manusia sebagai umat yang berkeyakinan? Tulisan ringan ini ingin mencoba bereaksi atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Dalam masyarakat agraris yang menjadi perkembangan awal kehidupan umat manusia, bahimat al-an‘am atau hewan ternak selalu menjadi simbol kesejahteraan, dari dulu hingga sekarang. Dalam kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer, pemaparan seputar hewan-hewan ini selalu menyisakan makna kemampuan finansial di atas rata-rata.
Qurban dan aqiqah merupakan dua ibadah yang selalu melibatkan jenis hewan qurban di atas. Ayam atau jenis unggas lainnya, secara antropologis, tidak dkategorikan sebagai kepemilikan yang membuat orang sejahtera. Bahkan dalam masyarakat urban seperti saat ini pun, binatang seperti kambing, sapi, kerbau atau unta yang lazim menjadi hewan qurban, selalu mewakili makna kesejahteraan, di samping mobil dan rumah mewah.

Al-Qur’an dan Hadis juga selalu menunjukkan makna “kesejahteraan” dan “kecintaan” luar biasa pada kepemilikan domba dan ternak lainnya yang lebih mahal. Ketika Allah memerintahkan Qabil dan Habil, dua putera Nabi Adam as untuk ber-qurban, Qabil menyerahkan tanaman-tanamannya sementara Habil melepaskan domba terbaiknya dengan ikhlas. Alhasil, Allah hanya menerima qurban Habil (Q.S. al-Ma’idah [5]: 27). Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as (Q.S. al-Syura [42]: 51; al-Shaffat [37]: 12) untuk mengurbankan putra kesayangannya Nabi Ismail as, seketika langsung diganti dengan domba, bukan ayam.

Makna kesejahteraan dan kecintaan dalam qurban ini sangat jelas tersirat dan kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer. Imam-imam Fikih menjelaskan beberapa tuntunan khusus dalam ber-qurban. Peng-qurban semaksimal mungkin meng-qurban-kan ternak terbaik dan tersehat. Ulama-ulama Fikih melarang hewan qurban yang cacat; yang buta atau keluar biji matanya, yang luka, yang terpotong telinganya, yang terpotong ekornya, kulit berkurap, yang terlalu tua, yang patah tanduknya, yang pincang, dan berbagai bentuk kecacatan ternak lainnya.

Setelah dibeli, hewan-hewan qurban ini mesti dipelihara, tiga hari misalnya, dengan dimanjakan, diberi makanan terbaik agar menghasilkan daging terbaik pada saatnya.

Penjelasan tentang qurban ini juga mencakup aktivitas “mengalirkan darah”. Seperti yang lazim dipahami, “mengalirkan darah” merupakan salah satu bentuk ibadah paling tua dalam tradisi masyarakat ber-”kepercayaan”, termasuk masyarakat beragama. Aktivitas ini juga memiliki makna antropologis yang sangat kuat bagi para pelakunya. Dalam masyarakat primitif, atau masyarakat yang mempercayai kekuatan magis di luar dirinya, “mengalirkan darah” bermakna menyerahkan tumbal kepada kekuatan yang menguasai hidup mereka untuk mendapatkan kehidupan yang harmoni dan lebih damai di hari-hari berikutnya, serta mempererat kohesivitas di kalangan mereka sendiri.

Dalam tradisi antropologi, ritual mengalirkan darah biasa dihubungkan dengan violence (kekerasan). Dalam salah satu karyanya, Violence and the Sacred (1992) Girard misalnya menegaskan bahwa violence selalu menjadi bagian penting ritual dalam berbagai tradisi beragama. Tradisi kekerasan ini selalu memiliki asumsi ganda: sebagai kewajiban suci dan sebagai bentuk pelanggaran.

Sementara itu, dalam banyak tradisi kuno, mengurbankan hewan tertentu juga bermakna menyerap kekuatan transenden yang tersimpan dalam hewan qurban itu. Bentuk-bentuk kekerasan ritual lainnya seperti yang melukai diri (seperti khitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kekuatan hitam yang bersembunyi dalam tubuh manusia. Singkatnya, bentuk-bentuk violence dalam ritual keagamaan dimaksudkan untuk mentransformasikan kekuatan transenden ke dalam diri manusia. Ini yang disebut Bloch (1992) dengan istilah rebounding violence dalam ritual keagamaan.

Islam juga mengadopsi, misalnya puasa dan haji yang juga merupakan bentuk ibadah klasik umat manusia. Hampir semua tradisi beragama memiliki dan mengajurkan umatnya menjalankan puasa, sebagaimana yang juga ditegaskan dalam al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah [2]: 183). Terlepas dari bentuk puasa yang diamalkan, puasa bahkan menjadi tradisi para kelompok elit dan orang suci dari kalangan agamawan. Beberapa bentuk kesaktian dan kanuragan di Indonesia misalnya, menjadikan puasa dalam hitungan hari tertentu, sebagai salah satu syarat penting untuk mendapatkan dan menguasainya.

Dari fakta seperti ini, tidak sepenuhnya keliru jika dikatakan bahwa Islam turut mengadopsi beberapa bentuk ritual penghambaan masyarakat kuno. Dalam konteks ini, penulis ingin menegaskan bahwa Islam sangat memperhatikan fakta sejarah dan perkembangan antropologis umat ber-kepercayaan dan umat beragama, dalam menetapkan bentuk-bentuk ritual.

Hal ini lebih membuktikan bahwa Islam memang diturunkan sebagai agama manusia, sebagai agama yang memanusiakan manusia, bukan agama yang mengawang-awang dan tidak membumi atau tidak realistis.

Tentu saja benar, dalam berqurban, umat Islam meyakini bahwa yang sampai kepada Allah, bukan darah atau dagingnya, tetapi ketakwaan dan keikhlasan pelakunya (Q.S. al-Hajj [22]: 37). Ketaqwaan dan keikhlasan bukan ritual atau sikap hati tingkat rendahan. Keduanya hanya dapat dimiliki dan dilakukan oleh orang-orang elit atau agamawan yang sudah terbiasa dan terlatih melakukannya. Ini mungkin salah satu hikmah mengapa qurban tidak disemati dengan hukum wajib, tetapi “sunnah” yang sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu.

Qurban merupakan manifestasi kehambaan tingkat tinggi yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki ketakwaan dan keikhlasan. Ini berbeda dengan zakat fitrah atau zakat harta yang diwajibkan secara paksa bagi para muzakki.[]