Ngapain sih Banser itu bakar-bakar bendera yang ada ‘kalimat Tauhid’-nya? Mending bakar ayam atau ikan. Bisa dimakan, begitu komentar seorang kawan menanggapi trending tagar #BelaKalimatTauhid di twitter. Saya penasaran. Lalu buka twitter. Belakangan saya menyesal. Karena ternyata, isinya justru jauh dari persoalan. Sama ketika ribut-ribut tentang penganiayaan Ratna Sarumpaet—yang belakangan ketahuan bohong—sebagian warganet malah meroketkan tagar #SaveRioDewanto.
Jelas, ini bukan hanya soal bela kalimat Tauhid. Tapi tentang momentum. Saat d imana barisan sakit hati melakukan counter attack. Ini menarik. Berbekal video viral dengan adegan sekelompok orang berseragam Banser membakar kain yang ada lafal laa ilaaha illallah-nya, sejumlah warganet berlomba-lomba menjadi pembela agama paling heroik.
Saya kira, adanya warganet tipe begini karena dua kemungkinan. Pertama, mereka adalah orang-orang yang memang dibayar untuk menggoreng peristiwa dengan maksud politis. Atau kedua, mereka adalah korban narasi yang dimainkan orang tipe pertama itu tadi di media sosial, dengan maksud supaya kita tidak lagi menganggap penting arti sebuah konteks.
Logikanya begini, kebenaran sebuah peristiwa tidak lagi menjadi persoalan inti. Mereka tidak akan peduli alasan kenapa Banser sampai membakar bendera itu. Pokoknya, itu adalah bendera Tauhid. Dan membakar bendera Tauhid adalah penistaan kepada Islam yang paripurna. Kalau untuk demonstrasi atau (nggak) sengaja keinjak pas lagi demo itu golongan kami soal lain. Takbirrr!!!
Namun, rasanya kurang sah jika tidak ada tipe orang ketiga yang, meskipun turut merasa sakit dan prihatin dengan peristiwa pembakaran bendera itu, tapi nalarnya masih terjaga dan berjarak dalam menilai sesuatu.
Iqbal Aji Daryono, misalnya, dalam sebuah artikel di detik.com (23/10/2018) menulis, teman-teman Hizbut Tahrir itu cerdas sekali, sekaligus licin sekali, untuk tidak mengatakan curang sekali. Mereka membangun sebuah organisasi, kemudian memilih bendera Nabi Muhammad sebagai simbol mereka. Memang, dalam logo International Hizbut Tahrir, bendera—dengan lafal laa ilaha illallah tentunya— itu tergambar utuh lengkap dengan tiangnya, ditambahi bola dunia, dan tulisan Hizb at-Tahrir.
Tapi, kita pun menyaksikan, dalam setiap aksi yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), para anggotanya membawa bendera-bendera setamsil itu. Nuansa hitam-putih selalu dominan dalam segenap aksi HTI. Semuanya memajang kalimat yang sama: laailahaillallah Muhammadrurrasulullah. Di sinilah permainan simbolisasi visual bekerja sekaligus menjadi problem. Simbol bendera hitam dan putih itulah yang kemudian paling meramaikan citra visual terkuat atas HTI di tengah-tengah publik.
Terang saja, secara riil, simbol HTI yang paling dikenal publik adalah bendera hitam dan putih bertuliskan laailahaillallah Muhammadrurrasulullah. Bukan simbol resmi Hizbut Tahrir sendiri, apalagi simbol Garuda Pancasila.
Nah, dalam situasi itulah, beberapa personil Banser Garut gusar. Apalagi yang demikian itu terjadi bukan dalam konteks personal, melainkan kumpulan individu yang mafhum disebut massa. Logika massa itu spontan. Terkadang pada titik tertentu bisa sangat brutal. Wabil khusus jika berhadapan dengan pihak yang dianggap musuh.
Maka saya kira, dalam kasus ini, salah satu logika yang bisa dipakai bukan benar-salah. Tapi, menggunakan logika alternatif: “ini” atau “itu”, keduanya sama-sama benar. Sebab, kalau tidak mengambil tidakan sama sekali, itu baru sebuah kesalahan.
Artinya, berhadapan dengan bendera musuh, pilihannya adalah membakar bendera itu atau melipatnya atau menyerahkan kepada polisi. Ternyata, Banser lebih memilih membakarnya. Jadi, pada titik ini cukup jelas, bahwa dalam imajinasi Banser, yang dibakar itu adalah bendera HTI. Sekali lagi, dalam imajinasi Banser. Bukan pikiran antum.
Lhoh, tapi kan itu bendera ada kalimat Tauhidnya? Berarti Banser anti-Islam dong.
Wee badala. Jangankan Banser, Sayyidina Ali dulu pernah disebut anti-Islam. Oleh siapa? Oleh orang-orang kayak antum yang memahami agama dengan kacamata kekuasaan bukan ketuhanan. Gara-garanya apa coba? Ya, gara-gara ada orang yang sok-sokan ingin membela hukum Tuhan tapi gak paham konteks. Emangnya kamu kira Sayyidina Ali syahid karena ditikam sama orang kafir?!
Tak kasih tau ya mas, Banser itu kalau cuma gelut sama antum gak bakal takut. Apalagi antum yang ingin mengusik NKRI. Yang dikuwatirin itu cuma satu: lapar. Mana mungkin orang yang masih ruwet sama urusan perut mau nantang Tuhan. Lagipula, Banser kan NU, ya pasti tiap kamis malam Tahlilan dan dalam tahlilan justru zikiran dan sholawatan, mengagungkan Tauhid dan cinta kepada Rasulullah, masak kayak gini dibilang anti Islam dan Tauhid? Ada-ada saja.