Antara Nafsu Beragama dan Imaji Ketuhanan. Di Mana Posisi Kita?

Antara Nafsu Beragama dan Imaji Ketuhanan. Di Mana Posisi Kita?

Antara Nafsu Beragama dan Imaji Ketuhanan. Di Mana Posisi Kita?

Awan berarak meninggi. Matahari yang lari-lari ke sisi barat semakin tenggelam dan memudar. Hari makin gelap. 31 Desember, malam tahun baru. Kota sudah ramai sedari pagi, begitu halnya di kampung. Anak-anak kecil juga orang-orang tua membicarakan rencana pergi ke gelanggang kota menyaksikan konser raya menyambut tahun baru pada malam yang akan segera tiba. Tak terkecuali Pak Wanto.

Senja itu ia mendorong kursi roda anaknya keluar rumah. Sampai di muka becak yang telah terparkir di jalan desa, ia angkat anaknya untuk duduk di atas becak, dan meletakkan kursi roda yang telah dilipat di samping bocah gadis usia remaja itu. Gadis itu bernama Nurul  dan menyandang sakit lumpuh layu sejak lahir. Dua tangannya berbentuk seperti kaki jangkrik yang kaku dan kaki yang justru lemas seperti tentakel cumi-cumi. Kedua organ itu tak berfungsi sebagaimana mestinya. Sekolah luar biasa berhasil mendidik Nurul untuk bisa bersusah payah memakai pakaiannya sendiri. Namun hingga hari ini ia hanya berhasil mengesot, tentunya dengan tenaga berkali lipat orang normal guna memindahkan tubuh ringkihnya dari satu tempat ke tempat yang lain. Bicaranya juga tak jelas, hanya ah uh ah uh saja.

Pak Wanto tidak memiliki pekerjaan tetap. Kadang narik becak, memijit orang, jadi penjaga gudang panggilan. Pernah ia berhasil menabung untuk membeli kompresor dan membuka tambal ban dan cuci motor dengan perlengkapan seadanya, eh, kompresornya dicuri maling. Naas betul nasib bertandang!

Malam tahun baru, dan ia dengan penuh harap akan menjajakan terompet dan pelbagai macam mainan anak-anak di alun-alun. Itulah mengapa ia sempatkan mengajak Nurul jalan-jalan beberapa saat dengan becaknya. Ia berharap malam nanti ia akan sibuk dan dagangannya habis sebelum tengah malam, ketika kembang api raksasa bersahutan memecah langit gelap. Ia berjanji pada Nurul akan pulang sebelum pukul 00.00, agar bisa menggendongnya ke depan rumah melihat percikan api pecah yang membentuk kembang-kembang mekar dalam semesta gelap.

Dari tempat saya melambaikan tangan dan melempar senyum kepada mereka, saya teringat, Nurul sesungguhnya bukan anak Pak Wanto. Pak Wanto mengambilnya dari seorang ibu baik hati sejak bayi, tanpa berencana bahwa anak itu ternyata memiliki kebutuhan khusus hingga kini.

Pak Wanto tidak pernah sholat dan puasa. Tapi ia merawat Nurul sepanjang hari, belasan tahun.

Linimasa pun tak kalah gegap gempita. Beberapa di antara yang sesak gembira itu, tak ketinggalan dalil agama yang disebar oleh beberapa kawan. Sebuah hadist dari Ibnu Katsir,“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.”

Dan tentu, ayat tentang larangan untuk mengikuti suatu kaum, dan mengatakan bahwa tradisi Islam tidak memiliki adat merayakan tahun baru. Satu dua dari pengkhotbah ayat itu juga berdoa supaya hari hujan dan acara konser musik yang mereka sebut sebagai pemborosan itu urung terlaksana.

Sementara, becak Pak Wanto telah hilang dari selayang pandang. Gelap makin menelan hari. Saya merasakan hawa tiba-tiba berubah dingin. Satu dua gemuruh pekak di langit. Mendung.

Apakah hari hujan? Adakah Allah mengabulkan para salih yang berdoa minta hujan agar miliaran bahkan triliunan manusia di muka bumi ini batal menjadi kawan setan? Tetapi, Pak Wanto juga bagian dari mereka yang berharap napasnya akan panjang.

Batin pun saya pun berperang, mana yang akan lebih kuat? Antara doa-doa orang salih, ataukah seorang miskin papa yang tidak beribadah.

Malam itu, hujan lebat sempat turun meskipun tidak lama. Pak Wanto bisa berjualan dan menepati janjinya untuk memanggul Nurul di depan gang.  Saya berdiri tepat di samping mereka sambil membatin,“Allah Al Muqsith. Engkaulah yang memenangkan yang teraniaya dari yang menganiaya dan kau jadikan mereka sama-sama rela.”

Sisa malam itu membuat saya membuat keputusan memasang barikade untuk prasangka, dan memutuskan melempar tanya pada Allah. Dia memberi tugas seorang miskin papa untuk menghidupi yatim piatu cacat. Dia juga menitip pesan kalamNya pada orang-orang yang merasa alim lagi salih. Hamparan bumi demikian luasnya dan  Dia membiarkan mandat-mandat itu saling bergesek dan silang sengkarut laiknya gantungan ribuan lonceng bersahutan dan terus merangsang lempeng-lempeng bola logam lainnya mendentingkan bunyi. Berisik. Saling sikut. Lalu tak jarang saling pukul. Semakin keras dua bola bertumbuk, semakin jauh jarak pantul saling menjauh.

Dan manusia tetaplah lonceng—lonceng yang tak mampu mengendalikan dirinya sendiri, kecuali memasrahkan jiwanya pada tali gantung yang Maha Satu.

Beruntung para salih tadi hanya memanjatkan doa dan mengutuki teman-teman Iblis di linimasa. Dalam kenyataan sehari-hari, beberapa komunitas preman berjubah sering hadir secara wujud dengan pentungan dan teriakan takbir untuk menghancurkan apa saja yang tidak sepaham dengan pembacaan tafsir-tafsir literal mereka. Warung-warung kecil yang berjualan saat Ramadan mereka satroni dengan dalih penertiban, tapi mengapa mereka tak berani merangsek food court-foodcourt Mall- Mall megah?

Di lain cerita, ada salih berkaos simbol R4BIA. Ia adalah simbol empat jari yang menyebar secara cepat sebagai perlawanan terhadap kudeta Militer yang terjadi nun jauh di Mesir sana akibat penggulingan Presiden Mursi. R4BIA berasal dari nama sebuah lokasi di Rabia Al-Adawiya Square yang menjadi basis pertahanan mereka.

Salih berkaos R4BIA adalah Muslim yang vokal menyatakan kutukannya terhadap Israel, Negara yang hari ini tak juga mengijinkan kedaulatan Palestina. Muslim militan ini aktif menyuarakan seruan boikot untuk produk-produk yang berasal dari perusahaan-perusahaan Multinasional dengan identitas Yahudi dan Amerika.

Suatu ketika, saya terlibat bersama mereka dalam program keagamaan sebuah Masjid Agung Kabupaten. Program-program yang memiliki visi untuk memakmurkan rumah ibadah kami. Sebuah program yang pasti sangat mulia di hadapan Allah SWT. Proposal diedarkan. Semua pegiat masjid optimis. Terbayang selasar surga kian menghampar, telah siap ditapaki kaki-kaki pejuang syiar.

Beberapa pekan berlalu hingga tibalah bantuan-bantuan berupa paket barang dari salah satu sponsor. Perusahaan ini pendukung Israel. Perusahaan yang harusnya masuk daftar boikot para salihin. Tak ada satu suarapun yang menghalau datangnya bantuan yang mungkin tidak memiliki nilai apapun bagi perusahaan raksasa yang mengangkangi hajat hidup serta kesejahteraan alam dan sumber daya itu. Satu dua truk produk, bisa jadi pun adalah barang yang tidak lolos verifikasi quality control atau memiliki tanggal jelang tenggat kadaluarsa. Apa artinya bagi mereka?

Sedang bagi para salih itu, bersepakat atas sponsor adalah pengorbanan politik identitas. Atau sebenarnya mereka memang tidak memiliki identitas?

Apa pun yang memudahkan visi-visi agama adalah baik, meskipun dengan itu mereka melupakan simbol R4BIA dan menjalankan pola hidup paradoks dengan gembar-gembor anti ini-itu, tanpa menyadari bahwa mereka, atau ya, kita semua sesungguhnya adalah ummat yang kalah.

Kali ini saya mundur beberapa langkah. Tidak memanjatkan doa apapun kepada Tuhan. Kepala makin berat sebab sadar tak memiliki kuasa apapun di hadapan sektor-sektor modal gigantik itu.  Saya memilih mundur dari barisan pegiat itu. Memutuskan menarik napas lebih panjang, sambil berpikir: apa yang sebenarnya kita inginkan? Siapa sebenarnya yang kita perjuangkan?