Dakwah dan Ujaran Kebencian dalam Kasus Ustad Somad, Bedanya Apa?

Dakwah dan Ujaran Kebencian dalam Kasus Ustad Somad, Bedanya Apa?

Dakwah dan Ujaran Kebencian dalam Kasus Ustad Somad, Bedanya Apa?
Upaya untuk meng-Ahokkan-Ustadz Somad ini layak untuk tolak

Kasus video ceramah Ustad Abdul Shomad tentang salib beberapa bulan lalu menyulut perdebatan. Dari yang datar, sedang, hingga tinggi. Dari halus, setengah kasar, hingga amat kasar. Sebagian dari mereka bahkan meminta alumnus Al-Azhar Mesir ini di-Ahok-an.

Pada akhirnya, seperti kita tahu, UAS tak bernasib seperti Ahok. Datang ke kantor MUI, ia mengaku tak melakukan penghinaan, melainkan menyampaikan ajaran Islam, lalu kasus itu mereda. MUI mendukung.

Kita belajar dari “insiden” ini, setidak-tidaknya kita tahu jika ceramah semacam itu memantik kontroversi. Apakah etis, menghina, atau bermuatan ujaran kebencian, itu perkara berikutnya lagi.

Apa yang diungkap UAS ia sedang menyampaikan ajaran Islam tentang ayat yang bicara kaum kafir benar belaka. Memang begitulah teks al-Quran termaktub. Boleh juga disebut itu kewajiban dakwah yang seharusnya dilindungi konstitusi.

Dalam Islam, berdakwah bisa menjadi perkara penting. Bahkan sebagian ulama “memvonis” sebagai “fardhu ain”. Setiap orang mukallaf alias yang terbebani hukum, memanggul tanggung jawab ini. Tak bisa diwakilkan seperti absen di kantor. Alasannya, redaksi Quran Surat Al-Maidah ayat 104 memilih frase “minkum”, dari kalian semua. Intinya penting.

Tapi, benar belaka jika peragaan palang salib dengan leher yang dimiring-miringkan dapat menyakiti umat Kristen. Bukan hanya umat Kristen, tapi juga tokoh-tokoh Islam yang tengah berusaha untuk “mendamaikan” ketegangan laten ini.

Dari insiden ini pula muncul pertanyaan-pertanyaan penting. Apakah isi ceramah seperti yang ada dalam video UAS dapat disebut ujaran kebencian kepada umat Kristen? Jika tidak, apakah peragaan UAS dalam konteks dakwah tindakan etis? Jika memang tak etis apakah selalu bisa dianggap sebagai penodaan agama dan dapat dipidana?

Ini pertanyaan lanjutan. Apakah menyampaikan arti dalam kitab suci sebagaimana adanya, bahkan yang dapat menyinggung umat lain, bagian yang harus dijamin undang-undang? Apakah menyampaikan kritik, bahkan sangat tajam, terhadap agama atau keyakinan lain seharusnya dibolehkan?

Jawabannya, akan saya tulis dalam artikel selanjutnya.