Antara Ada dan Tiada: Tafsir Bintu Syathi

Antara Ada dan Tiada: Tafsir Bintu Syathi

Antara Ada dan Tiada: Tafsir Bintu Syathi

Dalam kitabnya Maqaal fiyl Insaan; Diraasah Qur’aniyyah, Bintusy Syathi’ membuka pembahasan tentang keberadaan dan ketiadaan manusia dengan ayat ke-24 surah Al-Jatsiah (QS. 45). “Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja; kita mati dan kita hidup, dan tiada yang membinasakan kita selain waktu. Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu; mereka hanya menduga-duga belaka.”

Pembahasan tentang ada, wujud atau being, memang persoalan yang sangat pelik. Namun Islam memiliki filsuf yang sangat tekun merangkaikan pembahasan tentang itu dari mulai fakultasnya Ibn Shina, isyraqiyyah Suhrawardi, hingga Al-Ilaah Al-Muthlaq-nya Ibn ‘Arabi, lalu “memodifikasinya” sedemikian rupa dan bermuara pada Ashalatul Wujuwd. Ya, dia adalah Mulla Shadra. Dan Indonesia juga memiliki filsuf yang sangat bersahaja, bahkan terkesan “mbodho” yang telah menyederhanakan kompleksitas filsafat wujud ke dalam Barang Asal. Benar, dia adalah putra salah seorang putra Sultan Yogyakarta Ketujuh, Ki Ageng Suryomentaram.

Maka Syathi’ pun melakukan refleksi. Jika hidup manusia bukan merupakan rangkaian perjalanan yang membentang dari mulai buaian dan terus berlanjut setelah berada di liang lahat, betapa menyedihkannya tragedi manusia yang terpasung kehendak hidupnya. Sejak dulu, sebelum muncul pelbagai agama manusia telah berusaha mengatasi pemikiran tentang ketiadaan. Secara naluriah manusia tahu bahwa hukum alam tidak akan bisa menghindarkannya dari akhir hidup yang berupa kematian. Lalu manusia sejak generasi awal berusaha melawan atau paling tidak berusaha bertahan hidup selama mungkin dengan mengerahkan segenap potensi dan kemampuannya.

Menurut Syathi’, keyakinan terhadap adanya kebangkitan setelah kematian dalam agama-agama Mesir Kuno merupakan upaya futuristik untuk menolak pemikiran ketiadaan setelah kematian. Keyakinan itulah yang kemudian membangkitkan kreativitas bangsa Mesir yang mendiami lembah Nil, hingga mereka menjadi generasi awal yang mampu membangun peradaban umat manusia.

Padahal bangsa Rafidin Kuno yang belakangan mengungguli peradaban Mesir, baru bercita-cita untuk bisa memperbaharui kehidupan yang bertumpu pada pemikiran akan adanya perputaran empat musim. Yaitu kehidupan yang dianggap baru di musim semi, matang pada musim panas, rontok saat musim gugur, dan mati setelah musim dingin.

Bangsa Summariyah percaya pada adanya menara keabadian yang dihuni oleh dewa-dewa dan manusia pilihan. Mungkin Nabi Nuh penyebabnya, karena berhasil menyelamatkan manusia dari amukan hujan badai. Sementara Bangsa Babilonia sebagai orang-orang biasa tidak mau mengakui keabadian para raja, pahlawan-pahlawan maupun orang suci…

Begitu juga keyakinan terhadap reinkarnasi Bangsa India, adalah bentuk upaya berbeda untuk menghindari pemikiran tentang kebinasaan abadi setelah kematian. Para filsuf kuno juga telah memikirkan tentang ada dan kebinasaan, yang kemudian melahirkan keyakinan keabadian jiwa sebagai hiburan bagi manusia yang akan hancur jasadnya. Begitu pula para penyair dan seniman yang kemudian berusaha mengukir keabadian melalui pelbagai karya yang bisa mereka tinggalkan setelah kematian.

Agama-agama samawi datang dengan latar belakang sebagaimana yang diuraikan Syathi’ di atas. Yaitu pada saat manusia tengah berjuang untuk menyelamatkan kehendak hidupnya dari kebinasaan setelah kematian.  Agama samawi memberikan kabar gembira berupa adanya kehidupan lain setelah kematian. Tempat di mana manusia akan menuai hasil dari segala sesuatu yang telah ditanamnya di dunia.

Kabar gembira yang dibarengi dengan peringatan keras yang ditujukan buat para pemuja dunia, namun tak sedikit yang menertawakannya sebagamana terlukis pada ayat 33-37 surah Al-Mu’minuwn (QS. 23).

Dan berkatalah para pemuka mereka yang ingkar dari kaumnya, dan yang mendustakan pertemuan hari akhirat serta mereka yang telah Kami beri kemewahan dan kesenangan dalam kehidupan di dunia: Orang ini tak lain adalah manusia sebagaimana kalian, dia memakan apa yang kalian makan dan meminum apa yang kalian minum.

Dan sungguh, jika kalian menaati manusia yang sebagaimana kalian, niscaya kalian pasti rugi. Adakah ia menjanjikan pada kalian bahwa ketika kalian telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kalian akan dikeluarkan dari kubur? Jauh, jauh sekali dari kebenaran, apa-apa yang diancamkan atas kalian. Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, di dunialah kita mati dan hidup, dan tidak akan pernah dibangkitkan lagi.

Syathi’ memaklumi, “Menerima dengan kelegaan akan kehidupan baru setelah kematian memang tidak mudah. Sulit bagi manusia membayangkan bagaimana jasad yang sudah hancur dapat kembali hidup. Orang-orang yang lebih dulu mati belum pernah ada yang menceritakan pengalamannya. Sains tercanggih abad ini pun tak kuasa mengungkap wilayah gaib tersebut. Namun anggapan terhadap kenihilan mutlak setelah mati itu pun tidak lain hanyalah sebatas duga-duga belaka.

Selaras dengan ayat Alquran yang dikutip oleh Syathi’ dalam pembuka pembahasan tentang hal ini di atas. Wallaahu a’lamu bishshawwab.