Anies, Riding the Populism Wave

Anies, Riding the Populism Wave

Anies, Riding the Populism Wave

Pilkada DKI Jakarta telah usai, pemungutan suara putaran kedua telah dilaksanakan 19 April 2017 dan berdasarkan hasil perhitungan cepat berbagai lembaga survei menunjukkan pasangan Anies – Sandi unggul signifikan, mengalahkan pasangan petahana, Basuki-Djarot.

Berdasar perhitungan cepat yang di lakukan berbagai lembaga survei menunjukkan Anies-Sandi unggul telak dengan margin suara lebih dari 15% dan menyapu suara disemua Kotamadya. Anies-Sandi unggul telak di Jakarta Selatan dan Timur, dengan margin suara lebih dari 25%. Sementara di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, yang merupakan basis pemilih Ahok-Djarot, Anies-Sandi juga unggul dengan margin 9 – 12%.

Dari real count KPU DKI Jakarta juga mengkonfirmasi hasil yang sama, setelah data 100% masuk, pasangan Anies-Sandi unggul dengan perolehan 57,95% dan Basuki-Djarot 42.05%. Anies-Sandi unggul disemua Kotamadya

Dari sudut pandang politik, pasangan Anies-Sandi berhasil melakukan strategi zona marking untuk mengamankan basis pendukungnya, yakni di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Anies-Sandi memahami betul bahwa dua daerah tersebut merupakan area pertahanan yang perlu dijaga ketat. Hasilnya, Anies-Sandi berhasil mempertahankan keunggulan suara di dua wilayah tersebut dengan cukup signifikan.

Di sisi lain, justru wilayah basis suara Ahok-Djarot berhasil ditembus oleh Anies-Sandi. Wilayah yang sebelumnya “dikuasai” oleh Ahok-Djarot pada Pilkada Putaran pertama, mampu diambil alih oleh pasangan Anies-Sandi, terutama Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Bahkan, di wilayah Jakarta Barat pun, dominasi Ahok-Djarot pun mulai dipatahkan Anies-Sandi pada putara kedua.

Keunggulan telak Anies-Sandi mengejutkan banyak pihak karena beberapa lembaga survei seperti Indikator, SMRC saat survei terakhir menujukkan Anies-Sandi unggul dengan selisih yang sangat kompetitif.

Survei yang dilakukan Alvara juga menghasikan hasil senada. Dari serangkaian survei yang dilakukan Alvara Research Center perolehan suara Anies-Sandi selalu dikisaran 49% sementara perolehan suara Ahok-Djarot menunjukkan meningkat perlahan hingga margin suara disurvei terakhir dikisaran 1%.

Lalu apa yang menyebabkan pergesaran suara yang begitu tajam di hari-hari terakhir pilkada Jakarta?.

Pertama. Pemilih AHY-Sylvi diputaran pertama solid berpindah ke Anies-Sandi, berdasar simulasi suara saat survei Alvara putaran pertama lebih dari 66% pemilih AHY-Sylvi saat putara pertama beralih ke Anies-Sandi dan hanya 9% yang beralih ke Basuki-Djarot.

Kedua, berbaliknya suara kelas menengah. Polemik pembagian sembako di hari tenang yang dilakukan oleh tim sukses Basuki-Djarot menjadi blunder yang cukup signifikan menggerus suara Basuki-Djarot terutama di pemilih dikelas menengah. Survei Alvara menunjukkan pemilih Anies-Sandi dominan di kelas menengah bawah, sementara pemilih Basuki-Djarot dominan di pemilih kelas menengah atas, sementara dipemilih kelas menengah masih terjadi pertarungan yang sangat ketat. Pemberitaan yang luas soal polemik pembagian sembako membuat pemilih kelas menengah yang sebelumnya masih bimbang menjadi beralih ke Anies-Sandi. Pembagian sembako dianggap oleh pemilih kelas menengah sebagai bentuk praktek demokrasi yang tidak etis bagi proses demokrasi di Jakarta.

Ketiga, pasangan Basuki-Djarot gagal menarik simpati pemilih muslim di Jakarta, dalam hitungan Alvara, untuk memenangkan pilkada Jakarta Basuki-Djarot minimal harus merebut suara 40% pemilih muslim, dan dari beberapa kali survei Alvara perolehan Basuki-Djarot tidak pernah menyentuh angka 40%, paling tinggi hanya dikisaran 38%. Upaya untuk merebut suara pemilih muslim melalui ormas NU juga tidak berhasil karena pemilih Nahdliyin di Jakarta secara jumlah tidak signifikan, pemilih Nahdliyin di Jakarta tidak lebih dari 20% itupun secara pandangan politik mereka tidak solid.

Selain itu secara elektoral merapatnya Perindo dan Hary Tanoesudibyo ke koalisi Anies-Sandi juga memiliki peran penting terutama dalam menaikkan suara Anies-Sandi di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Dengan tambahan dukungan media yang luas, baik TV, cetak, dan online, Tim Anies-Sandi dengan leluasa mengkomunikasikan program kampanye di hari-hari terakhir Pilkada Jakarta.

***

Judul diatas terinspirasi oleh judul yang dibuat oleh harian The Wall Street Journal tahun 2016 ketika Donal Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat yang secara tidak terduga mengalahkan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton, padahal sebagian besar lembaga survei di Amerika saaat itu memprediksikan Hillary Clinton yang akan memenangkan piplres Amerika.

Populisme menjadi perbincangan seksi didunia perpolitikan dunia akhir-akhir ini karena kandidat-kandidat yang mengusung populisme berhasil memenangkan pemilu dan referendum di dunia. Sebagai contoh Donald Trump di Amerika, Duterte di Filipina, dan Referendum Brexit di Inggris merepukan bagian dari fenomena ini.

Tidak mudah mendefinisikan terminologi populisme karena definisi yang sangat beragam. Cas Mudde, salah satu ilmuwan politik yang studinya tentang populisme cukup banyak dirujuk, mendefinisikan populisme sebagai “posisi politik yang menempatkan ‘rakyat kebanyakan’ dan ‘elit yang korup’ dalam posisi antagonistik, dan melihat politik sebagai ekspresi dari keinginan umum rakyat kebanyakan1.

Dalam banyak kajian juga disebutkan populisme adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kemapanan, perasaan senasib seperjuangan, dan juga bentuk menguatnya segrasi antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, misal penduduk asli vs penduduk pendatang, pertentangan berdasar agama dan ras, dan lain-lain

Anies-Sandi dalam berbagai narasi selalu menempatkan diri sebagai pemimpin untuk semua, masyarakat kebanyakan yang secara tidak langsung memposisikan lawannya Basuki-Djarot sebagai pilihan kaum elit. Isu dimasyarakat soal pengusaha kakap 9 naga dibelakang Basuki-Djarot memperkuat posisi itu. Demikian juga soal posisi penolakan Anies-Sandi soal reklamasi dan penggusuran di Jakarta.

Narasi populisme yang diusung Anies-Sandi semakin menemukan momentumnya ketika bertemu kepentingan dengan kelompok Islam yang menolak calon gubernur dari kalangan non-muslim, terutama sejak kasus Alma’idah 51 mencuat ke permukaan yang berujung pada sidang dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Basuki.

Sebagaimana kita tahu selama ini pandangan keagamaan Anies Baswedan lebih condong progresif dibanding konservatif, hingga banyak pernyataan yang muncul dipublik apakah Anies Baswedan berubah lebih konservatif pandangan keagamaannya karena dia disokong oleh kelompok konservatif islam? Saya kira jawabanya tidak sesederhana itu. Menurut saya Anies-Sandi dan timnya pandai memanfaatkan angin sentimen keagamaan yang sedang tinggi akibat kasus Alma’idah. Anies-Sandi berhasil “menunggangi” dan “memanfaatkan” kelompok islam konservatif dan kemudian mengkapitalisasikannya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.

Akhir kata, dengan terpilihnya Anies-Sandi sebagai gubernur Jakarta apakah Jakarta akan berubah lebih konservatif? Bila berkaca pada pidato kemenangan Anies Baswedan yang berungkali menekankan pentingnya kebhinekaan dan persatuan Jakarta maka kekawatiran tersebut menjadi lebih berkurang. Semoga. []

Hasanuddin Ali, CEOAlvara Research Center