Anies Menjadi Titik Kumpul

Anies Menjadi Titik Kumpul

Anies Menjadi Titik Kumpul

Sejumlah lembaga survei menginformasikan bahwa Anies-Sandi akan memenangkan pertarungan politik dalam pilkada DKI Jakarta putaran kedua nanti. Selisih suara Ahok dan Anies terpaut cukup signifikan, yaitu 5-9 persen.

Ada yang bertanya, bagaimana Anies-Sandi bisa memenangkan pertandingan ini? Menurut saya, jawabannya sederhana; karena Anies berhasil menjadikan dirinya sebagai titik kumpul banyak elemen dan kalangan.

Sejauh yang bisa dipantau, mereka yang anti pemimpin non-muslim, ngumpul di Anies. Mereka yang anti China (non-pribumi), ngumpul di Anies. Mereka yang anti-reklamasi, ngumpul di Anies. Mereka yang anti “penggusuran”, ngumpul di Anies.

Begitu juga, sejauh yang bisa dilihat, mereka yang mendukung ISIS, ngumpul di Anies. Mereka yang mendukung khilafah islamiyah, ngumpul di Anies. Mereka yang setuju negara Islam-Piagam Jakarta, berdiri menopang Anies.

Tak mau ketinggalan, mereka yang setuju penegakan hukum potong tangan dan rajam, berduyun-duyun ngumpul di Anies. Mereka yang mengharamkan acara maulid Nabi, isra’ mi’raj dan haul, juga duduk melingkari Anies.

Saya tak tahu persis, mengapa mereka bisa kompak berdiri di belakang Anies. Namun, kemungkinan yang bisa di duga, dua.

Pertama, keberhasilan Anies menjadi titik kumpul banyak kalangan itu adalah bagian dari kepiawaian Anies dalam berpolitik. Ia memang punya bakat alam dalam berpolitik, sehingga mampu bergerak ke sana-kemari melakukan konsolidasi politik. Dan terbukti Anies berhasil merangkul beberapa kekuatan politik.

Kedua, Anies hanya menjadi pelarian politik belaka. Mereka mungkin tahu bahwa Anies bukan orang yang cakap bekerja. Anies hanya cakap berbicara. Mereka tahu, Anies hanya terampil memberi motivasi, tapi sering gagal dalam mengeksekusi.

Tapi, mungkin menurut mereka, daripada dipegang pemimpin non muslim, pemimpin non-pribumi, …. maka apa boleh buat; tak ada rotan, akar pun jadi, kita akhirnya harus memilih Anies bukan Ahok.

Kepastian siapa yang akan menang, wallahu a’lam.

Kamis, 6 April 2017
Salam,

Abdul Moqsith Ghazali