Angin Sejuk Tokoh Muhammadiyah

Angin Sejuk Tokoh Muhammadiyah

Angin Sejuk Tokoh Muhammadiyah

Dalam dua hari kemarin (29 Nov dan 1 Des), saya merasa diterpa kesejukan saat membaca tulisan dua tokoh Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif dan Prof Munir Mulkhan. Keduanya memang tak lagi berada di struktur Muhammadiyah, namun pernah menjadi petingginya.

Dalam situasi di mana media sosial bertebaran dengan pandangan-pandangan provokatif, orang-orang susah membedakan mana informasi hoax mana berita faktual, mana kebenaran mutlak mana kebenaran relatif, mana dalil yang qath’iy mana dalil yang dhanni, mana air mana buih, suasana keindonesiaan seolah hanya terbelah jadi dua; “Bersama kami (ma’ana) dan bersama yang lain (ma’al akhor)”. Lebih sempit lagi “Bersama kami atau Bersama Ahok”. SANGAT MEMUAKKAN!!!

Buya Syafii dan Prof. Munir menghadirkan pandangan yang terasa lebih luwes, meluaskan akal dan hati, tak hitam putih. Sebagai tokoh senior, perspektifnya sangat “dewasa”. Karena seperti tagline salah satu iklan,”Tua Itu Pasti, Dewasa Itu Pilihan,” banyak tokoh senior yang masih saja belum dewasa.

Saya kutipkan sebagian pandangan mereka untuk pembelajaran, wa bilkhusus menjelang aksi 212:

Buya Syafi’i (Rubrik Resonansi, Harian Republika Selasa 29 Nov 2016)

Baik yang mengatakan bahwa seseorang telah menghina Alquran atau pun pihak yang mengatakan bahwa penghinaan tidak terbukti.
Pihak pertama telah menggelar dua gelombang demo yang kabarnya akan diikuti oleh gelombang ketiga.
Pihak kedua lebih banyak berkomunikasi secara intensif melalui berbagai media untuk saling menguatkan pendirian yang telah dipilih.

Untuk memberikan landasan teologis terhadap masalah krusial ini, saya mencoba berkonsultasi dengan Alquran ayat 17 surat al- Ra’d/guruh/petir (13) yang maknanya: “Dia telah menurunkan air dari langit, maka lembah-lembah menjadi banjir menurut ukurannya. Lalu air banjir itu mengandung buih yang mengapung. Dan dari apa [logam] yang mereka bakar dalam api untuk membuat perhiasan atau perkakas, ada pula buih semisal itu.

Buih itu terlihat di saat banjir atau ketika pandai besi sedang membuat perhiasan atau perkakas yang dibakar di atas api.
Air sebagai lambang kebenaran untuk sementara bisa saja tertutup oleh buih, tetapi hanya sementara untuk kemudian buih menghilang tanpa bekas. Begitu halnya logam murni ketika dipanaskan bisa saja ditutupi oleh buih, tetapi juga hanya buat sementara, dan buih pasti menghilang karena tidak ada manfaatnya.

Sekali lagi, saya tidak bisa mengatakan mana pendapat yang mewakili buih dan mana pula pendapat yang mewakili air. Kebenaran mutlak hanyak milik Allah, milik manusia siapa pun mereka adalah kebenaran relatif. Di ranah yang serba relatif inilah kita beradu argumen sejujur mungkin, setulus mungkin, dengan menggunakan otak yang sehat dan hati yang bening.
Kita harus bersama-sama berusaha sebagai pencari kebenaran dengan membuang jauh-jauh rasa benci, rasa sayang, dan rasa marah terhadap seseorang yang dapat mendorong kita kepada sikap yang tidak adil.

Lalu ujungnya di mana? Berdasarkan pemahaman saya terhadap ayat di atas, kita harus sabar menunggu sampai banjir itu usai, sehingga air terlihat jelas karena buih yang menutupi telah sirna.
Dalam suasana banjir perdebatan dan silang pendapat yang saling mengklaim kebenaran dengan tensi yang tinggi, akan sulit kita berfikir tenang, jernih, dengan dada yang lapang. Selama musim banjir ini, teriakan bernada hujatan, cacian, tudukan, dan hinaan kita hentikan sekali dan untuk selama-lamanya, karena cara-cara semacam itu tidak patut dan tidak layak dilakukan oleh makhluk beradab. Siapa tahu, di ujung lorong sana akan terlihat titik cahaya kebenaran, entah milik siapa, kita belum bisa memastikan. Biarlah waktu yang akan memberi tahu.

Prof. Munir (Rubrik Opini, Kompas, Kamis 1 Des 2016)

Dalam surat As-Syuura Ayat 11, Allah berfirman, artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (laisa kamitslihi syai’un), dan Dia-lah yang Mahamendengar dan Melihat.”

Potongan ayat dalam surat As-Syuura tersebut yang berbunyi “laisa kamitslihi syai’un” sering dirujuk guna menjelaskan sifat gaib Tuhan. Kegaiban Tuhan itulah yang antara lain diberi makna tan keno kinoyo ngopo dalam tradisi Jawa. Masalahnya, menjadi lain ketika Yang Mutlak Sempurna yang Mahagaib itu diterjemahkan dalam susunan kalimat atau rangkaian kata yang dimaknai secara materiil dan positivis.

Pemaknaan secara demikian bisa berarti bahwa setiap rumusan yang berbeda sangat boleh jadi ditempatkan sesuatu yang bertentangan karena hanya ada satu rumusan yang tepat. Akibatnya, rumusan lain bukan hanya ditempatkan sebagai batal, bahkan bisa dipandang sebagai ancaman atas kemutlakan dan kesempurnaan yang diyakini sebagai Tuhan dengan firman-Nya tersebut. Rasa direndahkan, dilecehkan, tidak dihormati bisa memicu emosi ketuhanan yang sulit dipahami orang yang berbeda keyakinan keagamaannya. Kecenderungan demikian bisa dibaca dari sensitifnya persoalan yang berkaitan dengan demonstrasi besar 4 November lalu.
miki
Dalam tingkat sensitivitas emosi ketuhanan yang tinggi demikian, sebuah kisah kemanusiaan yang berlangsung di Madinah pasca hijrah Nabi Muhammad Saw berikut ini mungkin patut disimak. Seorang kepala kabilah terbesar di sekitar kawasan Mekkah-Madinah yang selama ini secara sengit dan keji terus memusuhi dan memerangi Islam, Ibn Ustal, tertangkap. Rasul pun memperlakukan tahanan kakap itu secara istimewa. Setiap pagi Rasul mengantarkan sarapan pagi berupa susu unta milik Nabi sendiri. Setiap pagi itu pula, Ibn Ustal terus menghina Nabi. Namun, setiap kali pula Nabi menyambut hinaan demikian dengan sikap santun.

Tindakan Ibn Ustal yang menjengkelkan itu adalah tuduhan bahwa dakwah Rasul tidak lebih daripada hasrat Nabi Muhammad terhadap kekuasaan dan kekayaan. Bagi Ibnu Ustal, jika Nabi memang ingin memperoleh kekayaan dan kekuasaan, tidak perlu bersusah payah berdakwah, tinggal terus terang meminta kepada Ibn Ustal, pasti akan dikabulkan. Di tengah cemooh dan hinaan yang dilakukan Ibnu Ustal demikian itu, Nabi tiba-tiba membebaskannya tanpa syarat.

Terkejut melihat perlakuan Rasul yang aneh, di luar nalar manusia biasa umumnya, tanpa kata-kata Ibnu Ustal lalu meninggalkan kawasan Masjid Nabawi dengan seribu pertanyaan tanpa jawab. Tiba di suatu oase, tidak jauh dari kawasan Masjid Nabawi, Ibnu Ustal bersuci, kemudian berbalik menuju Masjid Nabawi. Ia menghadap Rasul lalu bersumpah: “Hai Muhammad! Tidak ada orang di dunia ini yang paling aku benci sebelum ini kecuali engkau. Kini aku bersumpah; wallahi, tidak ada di dunia ini orang yang paling kucintai kecuali dirimu!” sembari mengucap syahadat. Wallahu a’lam.

Demikian