Kegalauan yang hampir rata dirasakan lembaga pendidikan berbasis asrama atau pesantren adalah sikap terhadap produk-produk dari modernitas. apakah mengizinkan penggunaan gadget, apakah mengizinkan akses internet, apakah mengizinkan perangkat pemutar musik, apakah mengizinkan bacaan populer?
Kegamangan sikap ini adalah manifestasi dari sikap kehati-hatian, untuk tidak mengatakannya sebagai ketakutan akan dampak-dampak yang bisa terjadi karenanya. Bagaimana kalau gadget dan internet digunakan untuk menonton film porno, pacaran? Bagaimana jika musik dan novel membuat anak menjadi tidak fokus belajar? dan seterusnya. Lumrahnya, hal ini disikapi dengan melakukan pelarangan terhadap perangkat-perangkat itu.
Upaya pelarangan ini ternyata tak juga manjur, sering kita lihat di sosial media tayangan sebuah pesantren melakukan operasi dan penghancuran gadget, baik dilakukan oleh guru maupun siswanya sendiri. Tak main-main, jumlahnya bisa belasan, puluhan atau jangan-jangan sampai ratusan. Dari situ kita bisa melihat, bahwa pelarangan itu ternyata tak juga menjadi media yang efektif untuk membendung globalisasi. Ada semacam ketidaksambungan antara cita-cita yang diimpikan oleh lembaga dengan realitas kondisi yang terjadi dalam diri anak.
The Learning Zone Model, menggambarkan pola peristiswa ini dalam kerangka pertumbuhan manusia. Fear Zone, sebagai satu tahap awal dalam zona pertumbuhan, pandangan bahwa gadget itu mengganggu karena resiko-resikonya. untuk terus tumbuh, kita tidak bisa berhenti disana, kita perlu beranjak pada zona selanjutnya, Learning Zone, pandangan yang menempatkan anak untuk belajar beradaptasi hidup berdampingan dengan gadget. Sebelum akhirnya mereka menuju Growth Zone, mereka bisa bertumbuh menggunakan gadget tersebut.
Menempatkan gadget dalam zona learning zone berarti memberi kepercayaan pada anak untuk hidup berdampingan dengan perangkat-perangkat modern, termasuk dengan resiko-resikonya. Sehingga, bukan barang yang asing jika beberapa anak mungkin belum bisa menyesuaikan diri dengan gadget dengan adil: mereka masih kecanduan, mereka masih menggunakan gadget untuk kesenangan, dan mungkin juga melakukan apa yang menjadi ketakutan orang dewasa tadi: pacaran, porno, dll.
Ketika itu terjadi, mungkin orang-orang akan menyumpahi, “benar kan, anak-anak ini memang belum bisa dipegangi gadget, larang saja sudah”. Namun, kita perlu melihat, bahwa kesalahan-kesalahan ini adalah juga proses belajar. kita perlu memberikan kepercayaan pada anak untuk menggunakan otoritasnya mengakases gadget dan internet. termasuk menanggung kesalahan-kesalahannya.
Dalam kurun tahun 2019, saya sempat berkatifitas di sekolah alternatif yang punya ideliasme menyatukan anak dengan ekosistem sekitar. Sebelum masuk, saya bayangkan semua anak disana tidak ada yang bermain gadget, semuanya belajar. Saya membayangkan bahwa disana anak-anak yang hanya besar dan tumbuh bersama sawah dan segenap kehidupan sederhananya. Sama sekali tidak tumbuh bersama makanan instan, make up atau perangkat pintar smartphone. Nyatanya, apa yang saya bayangkan tidak sepenuhnya terjadi. Anak-anak itu bukanlah anak-anak super, mereka juga masih seperti anak-anak Zaman Now kebanyakan; pacaran, bermain Game Mobile Legend, bermain Game kekerasan seperti GTA dan segenap ‘kesenangan’ yang hanya bisa dilakukan anak zaman now dengan gadgetnya.
Untuk urusan pangan-pun begitu, dulu saya berpikir bahwa semua makanan yang dikonsumsi oleh mereka adalah makanan sehat yang setiap bahannya dapat dipertanggung jawabkan asal dan muasalnya. Tidak akan memakan makanan yang berbahaya bagi tubuh atau kelangsungan hidup orang banyak, dan hal tersebut menjadi kesadaran anak, bukan semata dilakukan karena aturan yang ditegakkan oleh sekolah. Nyatanya tidak semua yang saya bayangkan terlaksana; masih ada anak yang makan mie instan, snack ber-MSG dan segenap makanan dan minuman dengan pemanis buatan.
Saya tidaklah kecewa, hanya saja kaget, bahwa apa yang saya bayangkan ternyata tidak sepenuhnya terjadi. Sebab membendung arus sebesar ini pasti sulit sekali. Seperti halnya membendung ombak di pantai; kita tidak bisa menghilangkannya, hanya bisa memperkecil dampak dengan memecahnya.
‘Surga’ saya terwujud barangakali ketika seluruh warga belajarnya berada di tengah hutan dan mengisolasi diri dari dunia luar, seperti film Captain Funtastic. Barangkali gagasan seperti itu bisa direalisasikan. Tidak ada cara instan untuk mengajari anak, setiap nilai yang ingin kita tanamkan pada anak, harus dilakukan dengan dialogis dan berulang.
Sehingga nilai yang ia terima, bukan hanya menjadi norma yang ia sendiri tidak tahu kenapa harus dilakukan, tapi ia mampu hayati sebagai pegangan kehidupan. Sama seperti orang yang menyerobot antrian, ia tahu kalo menyerobot antrian adalah tindakan yang tidak diperbolehkan, namun ia tetap melakukannya karena ia tidak tahu atau tidak menyadari konsekuensi sistemiknya. Bahwa orang yang terbiasa menyerobot antrian itu bisa saja menjadi embrio sikap untuk mengambil hak orang lain. Bahkan punya kedekatan dengan sikap nepotisme, suka menyerobot antrian sebab merasa punya ‘kuasa’ sehingga merugikan mereka yang sudah mengantri dan menjalankan kewajibannya untuk menunggu.
Yang bisa kita lakukan hanyalah memecah ombak globalisasi, bukan menghilangkan ombak globalisasi. Meminimalkan pengaruh negatif dari luar dengan mengajari anak untuk melakukan pengendalian diri. Karena semua ‘kekacauan’ itu berasal dari tidak mampunya anak untuk mengendalikan dirinya. Pengendalian diri bukanlah hal yang mudah, ia adalah proses sepanjang masa, namun bibitnya haruslah ditanamkan sejak belia.
Saya selalu ingat dengan kalimat pertama yang saya lihat di beranda masjid kampus UIN Sunan Kalijaga yang diambil dari serat lokajaya: “Anglaras ilining Banyu, Keli nanging ora keli” (seperti halnya mengalirnya air, ikut arus namun tidak hany