Aneka Ragam Sesuatu yang Bisa Dicari Berkahnya

Aneka Ragam Sesuatu yang Bisa Dicari Berkahnya

Aneka Ragam Sesuatu yang Bisa Dicari Berkahnya

Sesuatu yang bisa dicari berkahnya (al-mutabarrak bih) atau sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan dari Allah lantaran melakukan “suatu perbuatan” terhadapnya macamnya sangat banyak sekali, bahkan tidak terhitung. Untuk mempermudah memahaminya, macam-macam ini dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu 1) tubuh seseorang (al-asykhâsh),  2) benda (al-a’yân), 3) tempat (al-amkinah), dan 4) waktu (al-azminah).

Keempat kategori tersebut ditinjau dari keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan (makhlûq) sama sebagaimana umumnya tubuh, benda, tempat, dan waktu lainnya. Yang membedakannya yaitu sisi “kualiatas”, yakni karena keempatnya telah digunakan atau ditempati untuk melakukan kebaikan (ibadah) oleh orang-orang yang saleh atau bertakwa (nabi, sahabat, tabi’în, ulama atau kiai) maka keempatnya menjadi pelantara yang bisa mendatangkan kebaikan (berkah).

Pertama; Al-Mutabarrak bih berupa tubuh. Tubuh manusia hukum asalnya memiliki derajat yang sama, tapi ketika tubuh itu oleh pemiliknya digunakan untuk melakukan kebaikan, beribadah kepada Allah hingga mencapai puncak spiritualitas tertinggi yang terejawantah dalam penghormatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan (al-insâniyyah), maka tubuh akan menjadi istimewa, yakni dapat dicari berkahnya atau dapat dijadikan pelantara memohon kebaikan kepada Allah.

Dalam QS. Al-Hujurât 13 dijelaskan, manusia dengan beragam suku bangsa dan jenis kelaminnya memiliki derajat yang sama, yang membedakannya yaitu ketakwaan. Dengan takwa, seseorang akan menjadi berbeda derajatnya di hadapan Allah, yakni menjadi orang yang lebih mulia (inna akramakum ‘indallahi atqâkum).

Tubuh Nabi Muhammad hukum asalnya sama sebagaimana tubuh umumnya manusia, namun dengan puncak ketakwaannya yang luar biasa kepada Allah, maka tubuh Nabi menjadi “mberkahi”, yakni dapat dijadikan wasîlah memohon kebaikan kepada Allah. Faktor inilah yang menjadikan Nabi Muhammad diam atau menyetujui ketika para sahabat berebut berkah atau “tabarrukan” pada tubuhnya.

Diceritakan dalam hadis atau “sunnah”, suatu ketika sahabat Usaid bin Hudlair bercengkerama dengan para sahabat hingga membuat orang-orang yang sedang berkumpul tertawa. Lalu Nabi menonjok pinggang Usaid. Usaid berkata: “Engkau telah membuatku sakit, wahai Rasul.” Nabi mempersilakan Usaid untuk membalas tonjokkannya. Usaid meminta Nabi mengangkat bajunya yang menutupi pinggang. Setelah baju diangkat, Usaid bukan membalas tonjokan, tapi merangkul dan menciuminya sembari berkata: “Wahai Rasul, aku menghendaki ini.” (HR. Al-Baihaqî, 16021).

Hadis di atas menjadi dasar bahwa “tabarrukan” atau “ngalap berkah” melalui tubuh orang yang bertakwa (al-muttaqî), yakni sahabat, tâbi’în dan para kiai hukumnya sunnah.

Mencium tangan kiai bukan berarti “menuhankan” kiai, melainkan menjadikan tubuh kiai sebagai pelantara memohon kebaikan kepada Allah. Usaid mencium pinggang Nabi bukan berarti menyekutukan Tuhan, tapi menjadikan tubuh Nabi sebagai “sesuatu yang diambil atau dicari berkahnya” (al-mutabarrak bih). Hadis serupa dengan ini banyak, seperti para sahabat berebut air bekas wudlu Nabi, potongan rambutnya, keringatnya, dan yang lainnya yang ada di dalam hadis-hadis shahîh.

Kedua; Al-mutabarrak bih atau sesuatu yang dicari berkahnya berupa benda (al-a’yân). Benda apapun tidak ada yang bisa merubah nasib seseorang, karena yang bisa merubah kehidupan hakikatnya adalah Allah. Orang yang beriman diperintahkan untuk selalu memohon kebaikan kepada Allah supaya kehidupannya menjadi baik. Salah satu cara memohonnya yaitu melalui “tabarrukan” dengan benda yang pernah digunakan oleh Nabi atau orang-orang saleh.

Benda bekas atau peninggalan Nabi dan orang-orang saleh memiliki keistimewaan tersendiri dibanding benda-benda lainnya, karena apapun yang pernah digunakan atau dipegang Nabi dan orang saleh maka akan menjadi utama di sisi Allah, atau bisa dikatakan “dekat” dengan Allah. Sehingga dengan menggunakan, membawa, memegang atau mencium benda itu seseorang secara tidak langsung sedang memohon kepada Allah supaya mendapatkan berkah atau kebaikan. Contoh atas benda ini banyak sekali, seperti pakaian yang pernah dipakai Nabi Muhammad, sarung atau peci bekas kiai, rokok dan air minum bekas kiai, dan yang lainnya.

Dasar hukum sunnah “ngalap berkah” melalui benda-benda “istimewa” salah satunya terdapat dalam QS. Yûsuf 93 yang berisi tentang kisah ayah Nabi Yusuf yang tunanetra menjadi bisa melihat lantaran diusap menggunakan baju Nabi Yusuf. Dalam Shahîh al-Bukhârî diceritakan, Abdullah bin Salâm mengajak Abî Burdah untuk berkunjung ke rumahnya dengan iming-iming akan diberi minum menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi Muhammad. Lalu Abî Burdah segera bergegas menuju ke rumahnya. (HR. Al-Bukhârî, 7341), dan sejumlah ayat dan hadis lainnya. Terlalu panjang kalau ditulis secara lengkap.

Ketiga; Al-mutabarrak bih berupa tempat. Tempat hukum asalnya sama sebagaimana tempat-tempat yang lain, tapi apabila tempat tertentu digunakan untuk melakukan kebaikan maka kualitasnya akan berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Misalnya, tempat yang biasa digunakan shalat Nabi Muhammad, sahabat, tâbi’în atau kiai, maka tempat ini memiliki kualitas yang berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Tempat yang berkualitas ini memiliki keistimewaan tersendiri yang dapat dicari berkahnya, yakni seseorang dianjurkan atau sunnah “tabarrukan” atau “ngalap berkah” dari tempat tersebut.

Dalil “ngalap berkah” dari tempat salah satunya terdapat dalam QS. Al-Baqarah 125 yang berisi perintah menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah (maqâm ibrâhîm) sebagai tempat shalat (mushallâ).

Dalam riwayat An-Nasâ`î diceritakan, sahabat Nabi Muhammad yang bernama Abû Mûsâ “ngalap berkah” pada tempat yang pernah digunakan Nabi Muhammad untuk shalat dan membaca al-Quran. Abû Mûsâ mengatakan:

مَا أَلَوْتُ أَنْ أَضَعَ قَدَمَيَّ حَيْثُ وَضَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَمَهُ، وَأَنْ أَصْنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak akan mengabaikan meletakkan kedua kakiku di tempat Rasul meletakkan kedua kakinya. Dan aku mengerjakan ibadah sebagaimana yang dikerjakan Rasul.” (HR. Ahmad bin Hanbal, 19760).

Keempat; Al-mutabarrak bih berupa waktu (al-azminah). Dalam al-Quran maupun hadis banyak sekali penjelasan mengenai “waktu istimewa”, salah satunya dalam QS. Ad-Dukhân 3 yang menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan pada malam yang “diberkahi” atau menurut sebagian mufassir “malam kemuliaan” (lailah al-qadr). Malam diturunkannya al-Quran disebut dengan malam yang “berkah” karena dalam waktu tersebut ada kebaikan berupa diturunkannya al-Quran.

Dalam hadis juga banyak penjelasan tentang waktu-waktu istimewa, seperti sunnah berpuasa pada hari ‘Asyûrâ` karena pada hari ini Allah telah menyelamatkan Banî Isrâ`îl dari musuh-musuhnya. Dikisahkan, pada hari ‘Asyûrâ` Nabi Musa berpuasa, lalu Nabi Muhammad memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada hari ini. (HR. Al-Bukhârî, 2004).

Semua waktu hukum asalnya sama, yakni seseorang bisa mengerjakan apapun dalam waktu apa saja. Namun waktu tertentu menjadi istimewa, yakni bisa dijadikan wasîlah atau pelantara memohon kebaikan kepada Allah (tabarruk) karena dalam waktu tersebut orang yang saleh pernah melakukan amaliyah ibadah tertentu.

Kata ibadah dalam tulisan ini digunakan untuk menunjukkan makna yang sangat luas, tidak terbatas pada shalat, baca al-Quran dan dzikir, tapi mencakup aktivitas sosial seperti mengajar, memulai pengajian, membantu orang-orang tertindas, membela tanah air, dan yang lainnya. Intinya semua perbuatan yang dilakukan untuk mencari rida Allah dengan terciptanya individu dan masyarakat yang baik serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa salah satu jalan memohon kebaikan kepada Allah yaitu melalui “ngalap berkah” atau “tabarrukan” dengan aneka ragamnya. Semakin banyak mencari berkah, maka akan semakin terbuka harapan mendapatkan kebaikan dan pahala. Sebaliknya, semakin meninggalkan tradisi “tabarrukan”, apalagi menyesatkan dan mensyirikkannya maka akan semakin sempit jalan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang