Sebuah mobil berhenti di depan halaman rumah bergaya retro. Penumpangnya―yang terdiri dari keluarga inti―berduyun masuk ke rumah. Kedatangan mereka disambut dua orang dengan usia mendekati sepuh,dan beberapa orang usia dewasa. Nastar, sirup, ayam, daging, sambel goreng dan aneka pastry telah tersaji di meja.
Sebagian anak-anak ada yang menonton TV, main gawai, dan menangis. Cucu-cucu remaja saling ngobrol sambil memegang segelas sirup atau sepiring opor. Orang-orang tua sibuk membahas aneka tema dari cerita perjalanan di jalan Tol, kelakuan pengendara di jalanan bypass, sampai soal pembagian harta warisan.
Gambaran tersebut biasanya tampil di layar kaca dengan penekanan sudut estetik dan puitik tertentu―tergantung pada jenis produk yang dijual: bisa asuransi, gawai, furniture, kendaraan, ataupun layanan internet.
Bila iklan salep, koyo, atau obat penangkal ‘angin’, maka lain gambarannya. Jalanan menjadi latar utama, sambil disertai dengan penanda ikonik seperti ikatan kardus di belakang jok motor, jaket kulit buatan Garut, asap kendaraan, dan suka-duka perjalanan roda dua lainnya.
Iklan-iklan di atas menampilkan kenormalan umumnya lebaran, meskipun jika disingkap sedikit permukaannya maka akan muncul anomali berupa, dominannya generalisasi bahwa lebaran sebagai momen membahagiakan dan nyaman secara jasmani, rohani dan sosial, pasti terjadi pada semua orang.
Kenyataannya, iklan salep, koyo atau obat penangkal angin menggambarkan bahwa sebagian orang perlu berkorban ketidaknyamanan jasmani untuk memenuhi kenikmatan rohani dan sosial. Artinya, kebahagiaan dan kenyamanan itu tidak tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi membutuhkan upaya atau bahkan pengorbanan―dengan derajat yang bervariasi―bagi sebagian kalangan.
Hadist dan Al-Qur’an menyatakan, lebaran adalah momen pengampunan, penebusan, kesucian, kebersamaan, dan kebahagiaan. Tapi, dibanding dimanfaatkan untuk mengevaluasi ulang tentang apakah semua orang telah benar-benar menikmatinya, inspirasi keagamaan tersebut lebih dimanfaatkan untuk keperluan iklan.
Iklan ditayangkan terus-menerus dalam jangka waktu lama, sampai mitos dan narasi distortifnya menjadi ‘natural’. Implikasinya adalah, kenyataan berlebaran lain yang berbeda dengan dua representasi iklan di awal tadi tidak diakui dan tidak terepresentasikan eksistensinya.
***
Iklan pertama di awal tadi menggambarkan kelas menengah mapan dan kelas atas. Mudik adalah konsekuensi lanjutan dari pengalaman urbanisasi masa lampau setelah perantau desa berhasil menggapai mobilitas kelas sosial dan hadiah ekonomi di kota.
Sejak zaman kolonial, pulau Jawa memang telah mengalami masalah populasi dan lapangan kerja. Melalui keluhan bapak-bapak “dari Cipali sampai Jatingaleh macet”, dan gambar reportase pantauan udara di TV, berapa jumlah penduduk yang selama ini telah mengalami perpindahan ke kota dapat terbayang.
Dulu, sebagai anak SD tahun 2004, masih teringat bapak-bapak pernah beranekdot, “Tol macet, Jabodetabek sepi, jalanan lancar.” Tahun 2019, untuk kali pertama tema utama pembicaraan bapak-bapak komplek di hari lebaran adalah “Bekasi-Jakarta macet…”. Bapak-bapak yang mudik kemudian menimpali “wah saya Jakarta-Kediri 36 jam, biasanya 15 jam nyampe. Ternyata banyak ya yang tidak mudik.” Tema ini ternyata terus belangsung sampai lebaran tahun 2022.
Perubahan kependudukan tengah terjadi. Pertama, Orang tua (kakek-nenek) mungkin banyak yang telah wafat―jadi tak ada alasan untuk mudik. Kedua, si Anak SD tahun 2004 itu kini telah dewasa di tahun 2022, banyak yang nikah, dan berhasil meniti tangga meritokrasi. Bila orang tua mereka adalah milik desa, maka generasi ini adalah milik kota.
Walaupun, misalnya, mereka menempuh pendidikan tinggi di kota non-metropolis yang kental dengan nuansa desa seperti Jogja, Solo, Malang, atau Salatiga, tapi mereka akan kembali ke Jabodetabek karena pekerjaan yang cocok dengan kualifikasi mereka ada di wilayah urban. Sementara itu, kawan-kawan sepantaran mereka yang berasal dari desa, juga akan pindah ke kota karena alasan kualifikasi kerja―sebagai dampak dari ‘sekolah untuk pergi’, baik melalui dukungan donor ataupun beasiswa.
Orang tua mereka di kota telah mapan, dan generasi seusia mereka juga telah berpenghasilan. Lebaran kemudian menjadi momen gabungan kemakmuran antar generasi dalam satu keluarga. Tersajinya pastry, ayam dan daging di meja makan untuk porsi sepuluh orang jelas bukan kemampuan kalangan di luar mereka.
Capital in the Twenty-First Century (2014) milik Thomas Piketty meramalkan, ketimpangan abad 21 semakin mirip dengan ketimpangan abad 19. Iklan kedua di awal tadi identik dengan kondisi kelas menengah-rintisan dan prekariat. Tetapi, seberapapun prihatin daya beli mereka, mereka masih masih mendapat representasi karena termasuk pangsa pasar terbanyak di Indonesia.
Para lajang dari kelas menengah-rintisan dan prekariat bergulat dengan keprihatinan masalah jodoh, tempat tinggal dan makan sehari-hari. Jika sudah berkeluarga, keprihatinan kalangan ini muncul dari kebutuhan sekolah anak (biasanya usia TK-SMP) dan biaya hidup sehari-hari yang tidak sebanding dengan jenis pekerjaan yang diketuni, dan keterbatasan jejaring sosial di luar lingkaran rumah tangga.
Ketika lebaran, mereka tidak menjadi host kumpul keluarga besar karena usia yang belum cukup dituakan oleh anggota keluarga besar lain, dan karena keterbatasan sumber daya jamuan. Oleh karena itu, mudik berbekal roda dua, salep otot dan koyo adalah pilihan terdekat untuk menggapai kebahagiaan sosial dan rohani.
Sementara itu, kalangan kelas menengah-rintisan dan prekariat yang tidak mudik―sejak lapangan kerja kasual menjadi sedemikian ekspansif―tidak bisa menghabiskan cukup waktu untuk keluarga ketika berlebaran. Ada kebutuhan untuk beredar menjemput penumpang dan mengantar barang.
Kelas menengah atas dan kelas menengah-rintisan masih memiliki ‘saudara’ lain yang nasibnya tidak memiliki representasi lebaran, yakni kelompok miskin. Sejak kelompok miskin tak memiliki daya beli, mereka tak pernah jadi bintang utama iklan kecuali menjadi pemain penunjang untuk mendefinisikan kebaikan kelas atas dan kelas menengah. Nasib mereka adalah konsekuensi logis dari dunia media yang mengusung konsumerisme dan kapitalisme.
Bagi kelompok miskin, hak-hak dasar seperti sandang, pangan, papan masih menjadi barang mewah. Konon, orang berpuasa agar merasakan perihnya kemiskinan, tapi orang miskin mustahil puasa sejak pekerjaan sehari-hari mereka sulit dilakukan tanpa makan. No eat, no work. No work, no life.
Di hari lebaran, kondisinya tidak berbeda. Mereka masih berdiaspora di jalanan dan di pusat-pusat keramaian, menadah apa yang bisa dikerjakan seadanya, sambil membuka harapan kebaikan dari orang lain, atau keajaiban spontan dari langit.
***
Akan tetapi, perjalanan silaturahmi dalam kabin mobil atau motor adalah sebuah lorong psikologis, di mana yang terlihat sepenuhnya adalah titik keberangkatan dan destinasi kekerabatan. Eksistensi kelompok miskin dalam lintasan lorong perjalanan dari dalam kabin mobil, mirip hantu: ada, tapi tak selalu terlihat. Kendaraan melaju, sementara kelompok miskin berkelebat.
Jika ratusan atau ribuan orang mengalami lorong perjalanannya masing-masing, maka muncul sebuah rajutan sosial yang membentuk kekedapan kelas, di mana kelas atas dan kelas menengah konsentrasi dengan lebarannya, sementara kelas miskin bergulat dengan lebaran versinya.
Sedekah sebagai tetesan ekonomi mungkin meningkat di masa lebaran. Tapi tetesannya tetap tidak memenunjang untuk menggapai kenyamanan jasmani, sosial, dan rohani yang sebagaimana diidealkan oleh imajinasi lebaran mainstream.
Lebaran bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan memiliki versi. Problemnnya adalah, ada dominasi dari salah satu versi gambaran tentang lebaran, yang mengukuhkan bahwa kenyamanan jasmani, sosial, dan rohani adalah jatuh dari langit. Lebaran mungkin jatuh dari langit, tapi praktinya diatur oleh dunia dan pasar.
Dominasi imajinasi lebaran tersebut perlu dikurangi bila orientasi kekerabatan darah ingin diperluas menjadi kekerabatan kemanusiaan, dan bila lebaran versi kelompok miskin ingin diberikan eksistensi―tidak sebatas difungsikan sebagai objek pengukuh kelas di atasnya.