Andai Negarawan Sejati, Begini Seharusnya Pidato Prabowo

Andai Negarawan Sejati, Begini Seharusnya Pidato Prabowo

Seharusnya Prabowo pidato begini agar menyatukan umat

Andai Negarawan Sejati, Begini Seharusnya Pidato Prabowo

Sebagai muslim yang tinggal di negara muslim terbesar di dunia, kebebasan memberi suara pada pemilihan pemimpin adalah sebuah anugerah. Karenanya, pemilihan umum yang damai bisa memberi contoh pada dunia bahwa negara dengan mayoritas muslim tidak melulu identik dengan peperangan dan perebutan kekuasaan. Tanggal 17 April 2019 yang lalu memberi harapan bahwa pesta demokrasi benar-benar dirayakan oleh seluruh masyarakat dengan gembira. Tidak ada tuduhan-tuduhan. Tidak ada ujaran kebencian.

Pada mulanya saya membayangkan seperti ini….

Sosok gempal itu keluar dari kediamannya yang megah. Dia tampak tegap meski air mukanya menunjukkan kekecewaan luar biasa. Dia lambaikan tangan kepada para pendukung yang setia menantinya di halaman luar. Sementara puluhan awak media lokal dan asing terus mengarahkan kamera dan merekam setiap sentimeter gerakan calon presiden yang tampaknya sudah yakin akan kekalahan keduanya itu. Sial, sang jendral dikalahkan dua kali oleh seorang tukang kayu dari Solo yang dulu dibesarkan olehnya.

Pria itu memegang mikrofon di atas panggung kecil di halaman rumahnya. Tampak wajah-wajah kesedihan mengelilingi sosok menantu presiden kedua RI itu. Setelah mengetuk ujung mic beberapa kali, ia mulai buka suara.

“Terima kasih saudara-saudaraku semua. Saya terharu karena kalian masih berdiri di sini untuk mendukung perjuangan,” ucapnya dengan suara lantang, meski agak serak parau. Mungkin karena ia menahan kesedihan. “Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Usaha kita membangun kepercayaan publik selama empat setengah tahun ini ternyata belum membuahkan hasil.” Para pendukung mendengarkan pidato itu dengan seksama.

“Tapi kita punya Tuhan. Tuhan punya garis takdir bagi setiap makhluk yang diciptakan. Hari ini berdasar hitung cepat oleh berbagai lembaga survei kredibel, saya dinyatakan kalah. Ya, saya kalah untuk kedua kalinya. Hal ini saya anggap sebagai teguran dari Tuhan bahwa saya masih belum bisa memimpin saudara-saudara sebagai seorang presiden.”

Air mata mengalir dari ujung mata sang jendral. Ia tidak sampai hati melihat orang-orang di sekelilingnya mulai sesenggukan. Mereka menangis.

“Hari ini, jika saudara semua ingin menangis, menangislah! Kita diberi air mata untuk menunjukkan isyarat kesedihan. Menangislah sekencang mungkin, tanda kita kecewa karena belum bisa memberi yang terbaik bagi ibu pertiwi.” Ia menyeka air matanya. Sembari terus berusaha tegar, sang jendral meminta agar pendukungnya menatap layar kaca raksasa yang sudah terpasang di depan rumahnya sedari siang tadi.

“Selisih kita tidak sampai sepuluh persen. Lihat. Lihat saudara-saudara semua. Ini tak lain dan tak bukan berkat kerja saudara semua. Andaikan di dalam hitung real KPU kita kalah, saya tidak menganggap ini sebagai sebuah kekalahan. Tidak! Sama sekali tidak! Kita telah berhasil memberi harapan pada rakyat. Kita berhasil mengejar elektabilitas yang semula berjarak dua puluh persen menjadi hanya delapan hingga sembilan persen saja. Saya berterima kasih kepada saudara-saudara semua!” ucap jendral tegas. Seluruh hadirin merinding, sampai-sampai ada yang berteriak takbir.

“Allahu akbar!”

“Allaaaaahu Akbaaaar!!!” Takbir menjadi bersahut-sahutan. Sejenak, rumah Kertanegara menjadi ruang tumpahnya emosi orang-orang yang menginginkan perubahan. Mereka melampiaskan kekecewaan itu dengan cara paling santun. Tanpa cibiran. Tanpa makian. Kalimat menyebut keagungan Tuhan benar-benar ditempatkan secara beradab.

“Bagaimana pun,” kata sang jendral. Para pendukung kembali sunyi. Mereka selalu rindu dengan suara calon presiden yang menggetarkan. “Bagaimana pun ini adalah negara demokrasi. Sembari menunggu hasil resmi dari KPU, saya menghimbau saudara-saudara agar tetap kawal suara rakyat dengan penuh damai. Saya berjuang karena didukung oleh saudara-saudara. Saya juga harus legowo jika saya belum dipilih oleh rakyat. Ini adalah tugas perjuangan kita di masa mendatang. Untuk saat ini, mari kita dukung presiden dan wakil presiden terpilih. Kita kawal proses demokrasi ini. Jika mereka melakukan hal yang baik untuk rakyat, maka kita wajib dukung. Jika mereka sewenang-wenang terhadap rakyat, mari kita kritik. Kita pastikan bahwa koalisi ini adalah koalisi yang memperjuangkan rakyat. Hidup rakyat!!!”

“Hiduuuuuuupppp!!!!!”

“Alllaaaahu Akbaaar!!!”

“Alllaaaaahu Akbaaaar!!!”

“Setelah saya kalah, saya tetap akan mengabdi bagi negeri ini. Saya juga berharap saudara semua membuang ego pribadi. Mari tempatkan kepentingan negara berada di posisi paling atas. Ini bentuk tanggung jawab kita kepada Tuhan Yang Maha Esa demi menjaga keutuhan bangsa. Buktikan bahwa kita adalah negarawan sejati!”

 
Namun semua tinggal bayangan. Kejadian seperti pilpres 2014 terulang kembali… Akan ada hari-hari yang panjang dan melelahkan seperti lima tahun silam.