Barangkali tidak ada bulan ketika masjid begitu lama didatangi selain Ramadhan. Siang dan malam hampir tidak ada waktu yang sepi. Menjelang buka, masjid-masjid yang membuat program takjil sudah dipenuhi oleh jamaah. Mereka mendengar kultum lalu buka bersama.
Isya’ masjid kembali ramai. Jika pada hari-hari biasa, Isya mungkin hanya berlangsung satu jam, maka pada bulan Ramadhan jamaah akan bertahan lebih lama. Ada kultum selepas shalat Isya, lalu Tarawih. Setelah itu, biasanya ada acara tadarus oleh beberapa jamaah.
Paling cepat pukul 21.00, masjid baru sepi. Tengah malam masjid kembali diramaikan oleh orang-orang yang hendak i’tikaf. Kegiatan bersambung hingga subuh dan ditutup dengan kultum.
Selain sebagai tempat ibadah, di bulan Ramadhan banyak masjid yang bertransformasi ke banyak fungsi, sebagai majelis ilmu dan pusat kegiatan sosial. Termasuk pengelolaan dan distribusi zakat dan infak di akhir Ramadhan.
Kondisi ini menjadi momen penting untuk mempromosikan atau mendekatkan masjid kepada umat yang lebih luas. Sebab selama ini tak jarang kita dengar keluhan bahwa masjid-mamsjid yang umumnya dibangun dengan dana besar itu hanya menjadi bangunan yang sering kosong dan tidak produktif.
Kuntowijoyo (2001) pernah menulis fenomena menarik tentang muslim tanpa masjid. Ia menyoroti tumbuhnya generasi muslim yang tidak memiliki hubungan emosional dengan masjid dan karenanya tidak merasa terhubung dengan komunitas. Mereka tidak menjadi bagian dari umat.
Menurut Pak Kunto, umumnya mereka berasal dari kalangan menengah. Kegiatan keagamaan mereka terpusat di masjid sekolah atau kampus. Mereka tidak pernah berinteraksi dengan jamaah masjid di tempat tinggalnya atau belajar ilmu-ilmu keagamaan dari masjid tersebut.
Mereka merasa lebih nyaman bergaul dengan rekan-rekan sebayanya di masjid sekolah atau kampus. Mereka tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan di masjid kampung yang dipandang pasif dan tidak penting bagi pengembangan diri mereka.
Meski bertolak dari konteks yang berbeda, namun faktor-faktor yang disebut Pak Kunto sebagai penyebab renggangnya hubungan antara umat dengan masjid agaknya bisa diterima secara umum, baik dari kalangan menengah atau bawah. Faktor tersebut adalah tidak adanya kontak emosional antara jamaah dengan masjidnya. Masjid dianggap tidak memiliki nilai plus bagi kehidupan.
Untuk menemukan sumber keagamaan, mereka telah mendapatkan materi-materi dari lembaga pendidikan atau gadjet. Informasi-informasi keagamaan dengan mudah diperoleh dari internet dalam jumlah yang melimpah dan dengan format yang jauh lebih menarik dari forum-forum yang ada di masjid. Sedangkan sebagai tempat untuk mengakktualisasikan diri, masjid tidak memiliki sarana dan program-program kerja yang relevan.
Karena itu, upaya untuk mengintegrasikan generasi ini ke dalam umat sangat penting dan memang perlu ditempuh cara-cara yang kreatif. Bulan Ramadhan ini menjadi kesempatan yang baik untuk membuktikan bahwa masjid bisa diandalkan untuk melakukan program-program kerja yang menarik dan penting bagi jamaah.
Takmir dapat memanfaatkan kehadiran jamaah selama Ramadhan untuk “mendata” latar belakang mereka; tingkat pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Dengan itu, takmir dapat membaca potensi dan kebutuhan yang dimiliki oleh jamaah masjidnya.
Dengan mengenali potensi dan kebutuhan yang ada, takmir masjid dapat mengoptimalkan kerjanya. Ia bisa menggerakkan potensi-potensi yang dimiliki untuk menutupi kebutuhan yang dirasakan oleh jamaah lainnya. Dengan demikian, masjid tidak semata menjadi tempat salat yang waktunya terbatas. Lebih dari itu, ia benar-benar menjadi Baitullah, rumah Allah di bumi.
Sebagai rumah Allah ia tidak semata sebagai tempat suci untuk bezikir dan mengagungkan Asma Allah dalam bentuk ritual. Baitullah juga dapat menjadi bukti bahwa Allah memang benar-benar dekat dengan kita. Ia bisa dikunjungi setiap saat dan terlibat dalam kehidupan nyata kita.
Kita sudah memiliki banyak contoh masjid yang melakukan kerja-kerja inovatif. Ada Masjid al-Falah di Sragen, Masjid Kapal Munzalan di Kalimantan Barat, atau masjid Jogokarian Di Yogyakarta. Mereka mengelola masjid secara profesional. Ada manajemen dan strategi yang dirancang dengan matang.
Di Yogyakarta juga ada masjid yang lebih kecil yang berdiri di lingkungan masyarakat yang hidup dalam jeratan bank plecit. Takmir bahkan bercerita, para agen bank, sebelum berkeliling ke warga terlebih dahulu transit di masjid untuk berkoordinasi.
Terdorong oleh rasa malu karena masjidnya tidak bisa berkontribusi atas masalah di kampungnya, serta kesadaran akan tanggung jawab moral dan sosial atas kondisi masyarakatnya, para pengurus takmir masjid kemudian menyusun strategi untuk membebaskan jamaah dari bank plecit.
Masjid turun tangan membantu mereka yang terjerat utang. Mengalihkan utang ke masjid dan jamaah membayar utang pokonya saja. Bahkan, untuk orang yang benar-benar tidak mampu membayar utangnya, masjid menanggung semua utangnya. Masjid kemudian mengembangkan program ekonomi bagi jamaah.
Masjid yang bernama Baiturahman dan beralamat di Gedong Kuning itu hadir sebagai solusi praktis atas masalah bagi lingkungannya. Dalam perkembangannya, masjid ini juga membuka panti asuhan untuk memfasilitasi anak-anak yang kurang beruntung secara ekonomi.
Mengingat jumlah masjid yang ribuan, kita bisa berharap, andai masjid-masjid kita bisa menjadi Baitullah tidak hanya di bulan Ramadhan, tentu ia bisa menjadi energi untuk memberdayakan umat yang jauh lebih besar.