Rabu (24/5/17) malam bom meledak di Kampung Melayu Jakarta Timur. Kejadian bom bunuh diri ini bukan kali pertama di Indonesia. Sebelumnya sejak bom bunuh diri meledak di Bali, aksi serupa terus terjadi. Masyarakat memang harus waspada, tapi tidak perlu takut, karena maksud dari pengeboman atau bentuk-bentuk lain dari aksi teroris lainnya adalah membuat takut masyarakat.
Kalau dengan kejadian itu masyarakat takut, maka teroris akan merasa berhasil. Sebaliknya, jika masyarakat tampil bersama-sama mengadakan perlawanan dan mengutuk aksi bom bunuh diri dan aksi teror lainnya maka hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak akan pernah takut dan kalah dengan teroris.
Dalam al-Quran dan hadis Nabi Muhammad, melakukan bunuh diri meski dalam keyakinannya “demi membela agama” atau “mengalahkan musuh-musuhnya” hukumnya haram dan diancam akan dimasukkan ke dalam neraka. QS. Al-Baqarah 195 secara tegas melarang manusia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan (wa lâ tulqû bi aidîkum ila at-tahlukah).
Berdasarkan ayat tersebut, Abû Bakr Syaththâ, penulis kitab I’ânah ath-Thâlibîn mengatakan bahwa bunuh diri dalam berperang hukumnya haram. Bunuh diri pada masa lalu adalah menyerang musuh yang berjumlah banyak, sedangkan ia hanya sendirian. Karena dengan melakukan penyerangan maka ia sama dengan bunuh diri. (2003: IV, 324).
Bom bunuh diri di Kampung Melayu Jakarta tentu tidak sama dengan keterangan perang di dalam literatur fikih Islam, tapi dari sisi sama-sama melakukan “bunuh diri” memiliki titik kesamaan. Menghubungkan aksi bom bunuh diri dengan fikih perang bukan tanpa alasan, pelaku bom bunuh diri atau yang setuju dengan aksi ini kerap menganggap Indonesia bagian dari “medan perang”. Dalam keyakinannya, Indonesia adalah “sumber kekufuran”. Informasi ini saya dapatkan dari Ken Setiawan, mantan gubernur Negara Islam Indonesia (NII) yang kini sudah bertaubat.
Dalam hadis ada banyak riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad mengecam dan mengancam neraka bagi orang-orang yang bunuh diri. Dalam ensiklopedi hadis nomor 6606, Al-Bukhârî meriwayatkan, suatu ketika Nabi Muhammad mengatakan “sebagai penghuni neraka (min ahli an-nâr)” kepada salah seorang yang hadir dalam perang di Khaibar bersama Nabi. Orang itu mengaku beragama Islam. Para sahabat kebingungan. Pasalnya, orang yang diancam Nabi masuk neraka itu paling militan dalam berperang, ia terus melakukan penyerangan meski sudah bersimbah darah. Namun pada akhirnya kebingungan para sahabat terjawab sendiri dengan menyaksikan matinya orang yang mengaku beragama Islam dan paling militan itu. Dalam keadaan luka parah dan berlumuran darah akibat serangan lawan, ia mengambil anak panah dari punggungnya dan menusukkan ke tubuhnya sendiri hingga mati.
Apa yang disabdakan Nabi Muhammad di atas dapat menjadi dasar atau referensi dalam beragama bahwa dalam kondisi perang dan sedang berada di medan peperangan sekalipun, seseorang tidak boleh melakukan penyerangan dengan cara-cara konyol seperti meledakkan bom yang dapat menghilangkan nyawa sendiri dan orang lain. Terlebih dalam kondisi aman, bukan perang, membunuh diri sendiri dan orang lain jelas bagian dari kejahatan yang berlipat ganda.
*) Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang