Analisis Terbentuknya Harga pada Mata Uang Crypto

Analisis Terbentuknya Harga pada Mata Uang Crypto

Analisis Terbentuknya Harga pada Mata Uang Crypto

Yang dimaksud sebagai harga dalam hal ini adalah padanan nilai dari suatu barang. Uang 10 ribu bisa digunakan untuk membeli roti 5 bungkus. Itu artinya uang 10 ribu adalah harga bentukan (tsaman) akibat adanya pertukaran / jual beli itu.

Nah, saat ini kita mencoba berfikir untuk menemukan bagaimana harga ini terbentuk dalam mata uang crypto (crypthocurrency). Anda jangan bingung dengan istilah currency. Currency itu adalah istilah lain dari satuan mata uang. Untuk Indonesia, maka currency itu adalah rupiah yang disingkat Rp. Untuk liga Eropa, ada istilah EURO. Euro itu adalah currency. Amerika memiliki USD (US Dollar). USD itu adalah currency.

Cryptocurrency, berarti bermakna satuan mata uang yang dibentuk dengan sandi cryptography. Karena ciri khas masing-masing mata uang crypto berbeda antara satu sama lainnya dan masing-masing memiliki ciri khas model sandi crypto yang identik dengan produsennya, maka hak produksi mata uang crypto ini wujudnya juga bermacam-macam. Ada bitcoin, Altcoin, Ethereum, dan lain-lain. Jadi, mata uang crypto dilihat dari unsur penyusun wujudnya, dapat dibedakan berdasar produsen/penerbitnya dan model sandi cryptographynya. Perumpamaannya, produsen itu ibarat negara, sementara bitcoin, altcoin, ethereum itu sama dengan rupiah, US dollar dan SGD (Singapura dollar). Masing-masing mata uang berbeda, karena negara yang menerbitkan juga berbeda. Sampai di sini, jangan bingung lagi ya?

Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi unsur utama pembentuk harga bagi mata uang crypto, yaitu:

  1. Tiap-tiap mata uang crypto, diproduksi dalam jumlah terbatas. Bitcoin (BTC) diproduksi sejumlah 21 juta keping, dalam bentuk sandi crypto.
  2. Mata uang crypto bisa ditukar dengan mata uang fiat, yaitu mata uang tradisional.
  3. Mata uang crypto diperoleh dengan mengoperasikan alat penambangnya (minner).
  4. Minner merupakan alat yang keberadaannya harus dibeli. Untuk saat ini, kisaran harganya mencapai 700 ribu rupih per unit, bahkan ada yang lebih mahal. Sebaliknya ada yang lebih murah. Contoh dari alat tambang cryptocurrency adalah Whatsminner M20S produksi Bitewei-MicroBT. Ada Antminners S9 produk dari Bitmain.
  5. Karena mahalnya alat penambang ini, maka upaya mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk membeli alat tersebut bisa dicapai dalam kurun waktu 350 hari. Waktu ini bersifat relatif karena ada kaitannya dengan jenis dan sifat processor komputer yang dimiliki oleh penambang. Semakin tinggi tingkat processornya, maka semakin cepat pula upaya penambangan itu dilakukan. Selain itu juga tergantung pada daya akses internet. Semakin cepat daya aksesnya, semakin cepat pula dipecahkannya sandi crypto oleh mesin minner, sehingga cryptocurrency yang terkumpul juga semakin banyak.
  6. Untuk bisa menjadi penambang bitcoin atau mata uang crypto lainnya, dibutuhkan membeli mata uang crypto yang hendak ditambang terlebih dulu. Perumpamaan bahwa uang crypto yang dibeli ini adalah ibarat bibit tanaman. Ia bisa diakses dan dipupuk dengan jalan mining (penambangan). Namun, dalam istilah fikih, nampaknya pembelian ini ibarat menanam saham. Sarana menanam ini dilakukan lewat Spectrocoin atau Coinbase. Keduanya adalah perusahaan cryptocurrency, yang menyediakan bibit itu.
  7. Saldo deposit crypto selanjutnya disimpan oleh penambang di dalam e-wallet (dompet electronic) yang memiliki kode unik dan hanya penambang sendiri yang bisa mengaksesnya.
  8. Sifat dari cryptocurrency ini bersifat terlokalisir dalam perangkat. Jika perangkat tersebut rusak, maka deposit yang tersimpan di dalamnya juga ikut rusak dan hilang.
  9. Transfer antar jaringan (peer to peer) bisa dilakukan via online dan bersifat irreversible (tak dapat balik/dibatalkan). Jadi, sekali transaksi, langsung bisa mengurangi saldo deposit dan tidak bisa balik ke jaringan asal. Dan untuk bisa memiliki mata uang crypto kembali, pemilik harus menambang ulang. Ini yang sebenarnya mengundang bahaya bila cryptocurency dipergunakan sebagai instrumen transaksi. Sebabnya adalah rawan penipuan. Misalnya, seseorang menjual mobil dengan harga 1 BTC. Umumnya penjualan mobil ada unsur khiyarnya. Jika barang cocok, dan pembeli ridla dengan kondisi barang, maka terjadilah transaksi. Dan umumnya, pihak pemesan senantiasa mengirimkan BTC yang dimilikinya terlebih dulu, sebelum barang datang. Dengan BTC, khiyar yang dilakukan tidak bisa berjalan sebagaimana normalnya. Bila penjual, ternyata mengirimkan barang yang jelek, maka barang tersebut harus diterima apa adanya oleh pembeli. Inilah sisi lemahnya BTC itu dijadikan sarana transaksi.

Tinjauan dari Aspek Muamalah

Jika menilik dari model transaksi awal cryptocurrency di atas, maka penulis berasumsi bahwa keterbatasan jumlah mata uang crypto menandakan kedudukan dari sandi cryptografi pada mata uang crypto adalah menyerupai surat berharga yang menyatakan kepemilikan atas suatu aset. Hal ini ditandai oleh sifat mata uang crypto yang bisa ditukar dengan mata uang fiat. Jadi, aset sebenarnya dari mata uang crypto ada pada entitas aset yang diwakilinya dan dinilai dengan mata uang fiat itu.

Suatu misal, perusahaan memiliki aset sebesar 210 Milyar rupiah. Dari 210 Milyar itu kemudian dipecah menjadi kepingan surat berharga sebanyak 21 juta lembar saham. Maka harga masing-masing saham itu dalam pasaran adalah senilai 210 Milyar dibagi 21 Juta, sama dengan 10 ribu rupiah per lembar. Jika harga per lembar saham dijual senilai 35 ribu rupiah, itu artinya dalam 21 juta lembar saham yang diedarkan, ada aset yang dijadikan jaminan senilai 735 Milyar rupiah. Akad seperti ini disebut dengan akad syirkah musahamah (akad berbagi saham).

Bagaimana dengan mata uang crypto yang didapatkan tidak melalui aktifitas menambang? Seperti misalnya, ada sebuah situs yang memberikan janji berbayar bitcoin kepada pembacanya, asalkan ia mau membaca-baca buku yang dimuat di dalam situs itu. Dengan akses pembaca ke situs tersebut, admin mendapatkan penghasilan referral melalui situs google adsense. Jika taraf baca pembaca mampu beberapa kali akses ke situs tersebut, menjadikan admin situs mendapatkan penghasilan dari pay per view atau pay per click dengan besaran tertentu. Kemudian hasil dari pay per click dibagikan kepada pembaca, maka dalam hal ini, akad yang berlaku dalam muamalah adalah akad ijarah, atau bisa juga akad ju’alah.

Disebut akad ijarah, karena admin membutuhkan akses pembaca ke situsnya. Disebut akad jualah (sayembara) karena semakin banyak pembaca mengakses, semakin besar pendapatan yang diperolehnya dalam bentuk uang crypto. Karena pendapatan itu berbanding lurus dengan akad daya akses (kerja / kulfah), maka pendapatan itu seolah diperoleh dengan akad jualah. Namun, jika daya akses itu berbanding lurus dengan waktu (tempo / durasi akad), maka pendapatan itu diperoleh dari hasil akad ijarah.

Mengkonversi pendapatan dari uang fiat virtual menjadi cryptocurrency sebagai imbalan, adalah masuk kategori akad hiwalah dalam hal ini. Hakikatnya pendapatan itu diberikan dalam bentuk mata uang fiat. Namun, seiring adanya perjanjian antara admin situs dengan pembacanya, bahwa ia akan diberikan imbal berupa mata uang crypto, maka sifat dari ijarah itu adalah masuk kategori ijarah bi syarthin (akad jasa dengan syarat).

Boleh juga dimaknai sebagai akad jual beli manfaat dengan syarat (bai bi syarthin). Mengapa? Karena setiap barang yang bisa diakadi dengan akad jual beli, bisa pula diakadi dengan akad ijarah. Setiap barang yang bisa disewa, bisa juga dibeli. Setiap barang yang bisa dibeli secara pesan, maka bisa pula disewa secara pesan. Ijarah itu hakikatnya adalah membeli barang manfaat. Dan harta manfaat dalam kesempatan terakhir ini adalah akumulasi dari pay per view yang bisa disifati jumlahnya.

Lantas, bagaimana mungkin surat berharga (cryptocurrency) itu kemudian bisa melonjak harganya menjadi ratusan juta rupiah? Tunggu pembahasannya pada tulisan berikutnya.