Analisis Mengapa 212 Jadi Komodifikasi Simbol Agama

Analisis Mengapa 212 Jadi Komodifikasi Simbol Agama

212 di tempat saya justru biasa saja, adakah yang salah?

Analisis Mengapa 212 Jadi Komodifikasi Simbol Agama
Ilustrasi: demo PA 212

Di Solo, tempat saya tinggal, aura reuni 212 tidak terlalu terasa. Tidak seperti ketika orang-orang ingin menumbangkan Ahok.  Waktu itu, saya kira, Solo mengirim massa yang tidak sedikit. Tapi kali ini, dalam rangka reuni, mereka tak seantusias dulu lagi. Saya pergi ke Car Free Day dan melihat orang-orang berkegiatan sebagaimana biasa. Aroma reuni 212 tampaknya tidak sampai Solo.

Reuni 212 boleh jadi sudah kehilangan momentum. Ahok sudah tumbang, sudah dipenjara. Mau apa lagi? Lalu, apa makna kumpul-kumpul Minggu pagi di Monas itu? Mengapa Prabowo datang dan mengenakan topi tauhid? Adakah reuni 212 sama belaka dengan kampanye Prabowo-Sandi?

Sejatinya, apabila kita cermati, reuni 212 adalah parade komodifikasi simbol agama. Mari kita mulai dengan mlihat banyaknya “bendera tauhid” di acara itu. Sejumlah orang dengan begitu semangat mengibarkan bendera itu, baik yang berwarna putih maupun hitam. “Bendera tauhid” berbaur dengan bendera Indonesia dan Palestina. Saya kira mustahil melepaskan banyaknya “bendera tauhid” di reuni 212 dengan peristiwa “pembakaran bendera” di Hari Santri yang cukup menyita perhatian itu.

Mengibarkan bendera tauhid di reuni 212 menghadirkan ilusi sedang membela tauhid, dan melawan orang-orang yang dianggap “menistakan tauhid” (para pembakar bendera). Bagi mereka yang awam, “membela tauhid” dianggap keren dan Islami. Tanpa pengetahuan yang memadai dan kritisisme, mereka hanya akan terpukau. Sama terpukauanya dengan orang-orang yang membagikan foto Monas dipenuhi lautan manusia pada reuni 212. Gumun melihat orang sebanyak itu bisa berkumpul (padahal bukankah itu ciri sikap inferior?).

Pada perkembangan selanjutnya, atribut berbau tauhid ini tidak hanya berhenti di bendera, tapi juga merambah kaos, topi, gantungan kunci dll. Diproduksi secara massal dan dijajakan dengan bebas. Perihal bagaimana hukum dan adab menggunakannya dianggap hal nomor dua. Yang penting merasa keren dan Islami. Merasa jadi pembela Islam. Fesyen bertema tauhid adalah the new cool!

Bicara atribut tauhid, selanjutnya, mari kita lihat topi tauhid yang dikenakan Prabowo. Menurut sejumlah pemberitaan, topi itu adalah hadiah dari Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi). Mudah saja menerka makna dari pemberian topi tauhid itu. Dari sana kita seolah melihat: dengan mengenakan topi ini kamu diterima sebagai bagian dari kami. Ya, ini adalah tentang simbol-simbol. Dan simbol selalu memiliki makna.

Bukankah kita sering melihat polisi atau capres datang ke suatu masyarakat adat dan diberi kain khas daerah tersebut atau sejenis penutup kepala yang identik dengan suku itu? Atau politisi dan capres yang mendadak diberi gelar adat. Semua itu adalah perlambang dengan makna yang sama. Bahwa seseorang tersebut sudah dianggap sebagai bagian dari kelompok X atau Y atau Z. Masalah adakah keterkaitan historis atau kontribusi dengan kelompok tersebut itu hal lain.

Sama belaka sebetulnya dengan Prabowo. Bagaimana bisa ia ada di reuni 212? Adakah pertautan historis Prabowo dengan Islam? Orang awam mudah melihat, Prabowo bukan “santri”, bukan pula berasal dari partai Islam. Jika mau jujur, sebetulnya “janggal” melihat fenomenan ini. Tapi lagi-lagi, tak ada yang tak mungkin dalam politik.

Maka, kenapa tidak sejak awal disampaikan dengan gamblang bahwa reuni 212 adalah kampanya untuk Prabowo? Toh memang nyatanya Prabowo hadir dan naik panggung dan memberi sambutan. Toh Rizieq Shihab menyerukan 2019 ganti presiden. Tidak perlu Koordinator Reuni 212 Yusuf Muhammad Martak berkilah: Demi Allah, wallahi saya bersedia, tidak punya agenda politik sama sekali di dalam pengadaan acara ini. Agenda utamanya adalah maulid akbar. Kenapa malu-malu menjadikan Islam sebagai kendaraan politik? Kenapa sungkan mengaku telah melakukan komodifikasi simbol agama?

Terakhir, saya ingin mengutip esai Risiko Politik Agama milik Jean Couteau di Kompas (18/11): …kenyataan bahwa seseorang tengah menunggangi agama anutan sebagai kendaraan politik sudah cukup untuk menimbulkan kristalisasi politik dari pengikut agama itu pada tingkat akar rumput. Maka, insaflah kalian, bapak-bapak dan ibu-ibu calon wakil rakyat!