Di beberapa tulisannya, terutama tentang gagasan keislaman, Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sering menyertakan kaidah fikih.
Di lingkungan pesantren, materi kaidah fikih menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Bagi awam, lebih mudahnya memahami kaidah fikih adalah semacam “shortcut”—kalau dalam istilah komputer. Tujuannya untuk mempermudah mengakses sesuatu; tinggal klik, lalu mengarah kepada aplikasi atau software yang dituju.
Gus Dur sering mengutip kaidah-kaidah fikih untuk menjawab problematika umat. Seperti al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Al-muhafazatu ala qadimis ash-shalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), dan al-tsabit bi dalalah al-‘urf ka al-tsabit bi dalalah al-nash (Apa yang ditetapkan dengan dalil berdasar adat sama absahnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash).
Berawal dari kaidah fikih, gagasan pribumisasi Islam itu muncul. Mengingat banyaknya pertanyaan-pertanyaan bagaimana ketika Islam dipahami dalam konteks lokal masyarakat setempat? Bagaimana agar kita masih membawa identitas keislaman yang menghargai tradisi dan lokalitas masyarakat yang sudah mengakar ratusan tahun tanpa bertentangan dengan norma agama? Apakah Islam yang berkembang di Indonesia harus meniru budaya Islam di Arab? Dsbg.
Gus Dur menyatakan, dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya. Bagi Gus Dur, arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.
Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti “Pribumisasi Islam” adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab hal tersebut memang tidak dapat dihindari. (Abdurrahman Wahid: 2001).
Kutipan Gus Dur dalam buku The Wisdom of Gus Dur (2014), Gus Dur bertanya: mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup ‘langgar’ atau ‘surau’? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa “sreg” kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa.
Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?”demikian tanya Gus Dur.
Gagasan Gus Dur terhadap Pribumisasi Islam ingin mengatakan bahwa Islam begitu mengakomodir budaya masyarakat setempat yang berkembang. Dengan kata lain, bahwa Islam memberikan peluang untuk menerima kekayaan tafsir terhadap apa yang diyakini oleh masyarakat terhadap agama Islam. Sehingga suatu masyarakat tidak perlu ‘harus menerima’ budaya yang berkembang di Arab. Karena setiap wilayah mempunyai interpretasi dan pola keagamaanya masing-masing.
Tidak salah, apabila masyarakat menyebut shalat dengan sembahyang, menyebut langgar atau surau sebagai tempat sujud. Tidak harus menggunakan jubah, berjenggot, dan bercadar, bila ingin disebut sebagai orang Islam.
Ide besar pribumisasi Islam ini yang dalam hematnya bisa disebut sebagai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ‘cara’ keberislaman yang menghargai keanekaragaman penafsiran dan budaya yang berkembang di masyarakat.
Tidak perlu memberangus budaya lokal dengan teriakan bid’ah, musyrik, dan kafir kepada liyan yang dianggap mencampuradukkan antara agama dan budaya. Justru pribumisasi Islam mampu bekerjasama dengan konteks lokal, adat istiadat, dan budaya orang Indonesia yang santun, toleran, moderat, dan menghargai berbedaan.
Lebih jauh lagi, Pribumisasi Islam ala Gus Dur ini mampu menyinergikan pandangan Islam yang berwawasan kebangsaan, menerapkan falsafah Pancasila dan UUD negara, yang menghargai asas kemanusiaan dan persamaan hak di muka hukum, menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan, yang semuanya itu tanpa harus mengubah kulitnya menjadi negara Islam atau negara khilafah.
Sebuah PR besar bagi umat Islam tentunya, yang tidak hanya sekadar memuja masa lalu, tetapi juga menatap masa depan. Yang tidak hanya sekadar berhenti pada teks, namun juga mampu mendialogkan konteks dan realitas jaman now.
Ihwal ini hanya sekadar pandangan anak millenial terhadap gagasan besar Gus Dur: Pribumisasi Islam. Wallahhu a’lam.
M. Autad Annasher, penulis terlahir sebagai generasi millenial. Bisa disapa lewat akun twitter @autad.