Anak Kami Tiba-tiba Enggak Mau Sekolah dan Cara Kami Bersiasat Mengatasinya

Anak Kami Tiba-tiba Enggak Mau Sekolah dan Cara Kami Bersiasat Mengatasinya

Anak Kami Tiba-tiba Enggak Mau Sekolah dan Cara Kami Bersiasat Mengatasinya

Sudah seminggu ini anak kami, Skala, tidak mau sekolah. Alasannya? Karena takut.

Ha?

Saya kejar jawaban itu.

Kata Skala, “Ayah pernah telat jemput, terus aku kesepian di sekolah. Habis itu aku jadi takut sama sekolah.”

Ketakutan itu tidak main-main. Sudah 10 hari ini, setiap Skala selesai mandi pagi, dia akan menangis kejer. Nggak mau berangkat.

Pada mulanya, satu hari, dua hari, oke tidak berangkat dulu. Tapi kok tahu-tahu sudah satu pekan, tiba-tiba masuk ke pekan selanjutnya. Wah, bahaya.

Saya dan ibunya Skala akhirnya bikin beberapa siasat. Tidak mempan satu, lanjut ke siasat selanjutnya. Bahkan kami sempat survei ke sekolah-sekolah lain, siapa tahu anak jadi mau sekolah.

Sayangnya, meski sudah ke sekolah lain, pada praktiknya Skala tetap tidak semangat sekolah. Akhirnya balik lagi ke sekolah awal.

Saya tahu, beberapa orang yang bakalan baca tulisan ini mungkin akan punya beberapa saran fantastis, solusi dari buku-buku parenting, atau quote ajaib dari orang-orang terkenal soal pendidikan anak.

Tapi saya dan ibunya Skala tahu. Semua anak itu istimewa. Masing-masing adalah individu yang berbeda. Bukan mikro-organisme membelah diri yang identik seragam antara induk dan anaknya. Anak adalah organisme yang berbeda. Penanganannya beda-beda.

Beberapa saran dari orang sudah kami lakukan. Sebagian kami ikuti apa adanya, sebagian lagi kami modifikasi caranya. Masih belum mempan. Kadang mempan, tapi hanya 50 persen berhasilnya. Tidak apa. Semua dicoba, semua dipraktikan.

Hari ini, usaha itu masih dicoba. Kami bergantian membersamai Skala di Sekolah. Dari pagi sampai sore. Kadang lelah. Capek. Seperti tidak melakukan apa-apa. Tapi ya tidak apa-apa. Namanya ikhtiar. Namanya usaha.

Meski hasilnya belum ketahuan nantinya bagaimana, tidak apa. Hawong kewajiban kami sebagai orang tua adalah ikhtiar untuk anak, bukan harus berhasil untuk anak. Toh, hasil itu juga bukan urusan manusia.

Wajib belajar, bukan wajib pintar. Wajib mencari nafkah, bukan wajib kaya. Wajib ngajarin, bukan wajib menjadikan yang diajarin jadi jenius. Wajib usaha, bukan wajib berhasil.

Oh, oke. Sebentar, memang yang begitu-begitu biar apa?

Biar kalau berhasil tidak sombong, kalau gagal tidak putus asa.

Ya, Skala ya?

Jawaban Skala: weeek.