Amien Rais tetaplah Amien Rais. Beberapa waktu lalu seorang kawan berkirim pesan singkat beberapa saat setelah seorang calon presiden menggebrak podium di sebuah even kampanye. Ia juga mengirimkan video potongan pidato yang memuat adegan gebrak podium itu.
“Bagaimana menurutmu?” demikian ia bertanya singkat.
Saya membuka potongan video dan menontonnya berulang ulang. Saya putar kembali. Saya ulangi lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Saya harus katakan dengan jujur bahwa yang menarik bagi saya bukan adegan gebrak podiumnya, namun reaksi seorang tokoh sepuh yang beranjak dari kursi tempatnya duduk tepat setelah calon presiden menggebrak podium lunas menyita perhatian saya.
Lelaki sepuh itu sudah lama saya dengar namanya, bahkan ketika saya belum lulus bangku sekolah Madrasah. Bagi sebagian generasi kami, ia sempat dianggap sebagai legenda. Dari satu bibir ke bibir lain, masyhur lelaki ini berjuluk bapak reformasi.
“Kalian harus tahu. Reformasi dimotori oleh segelintir orang yang cerdik cendikia dan bijak bestari sehingga mampu menggulingkan kekuasaan yang kokoh berdiri selama 32 tahun,” demikian Pak Rusanto, guru IPS kami yang juga guru IPS orang tua kami menjelaskan.
Harap dipahami bahwa regenerasi guru di kampung kami memang sangat lambat, kalau tidak mau dikatakan mandek. Banyak guru-guru yang seharusnya tenang memasuki usia ‘pensiun’ namun tetap mengajar. Akibatnya, kami harus diajar oleh guru-guru yang mengajar orang tua kami. Yang diajarkan tentu saja sama persis dengan yang diberikan kepada orang tua kami. Olehnya kami diwajibkan membeli buku legendaris RPUL. Belakangan saya baru tahu bahwa Ibu saya juga disuruh membeli buku serupa.
Jika mendapat PR IPS, saya sering kali, bahkan selalu, meminta Ibu saya untuk mengerjakannya. Mengapa? Ya karena yang diajarkan kepada saya sama belaka dengan yang diajarkan kepada ibu saya. Anak yang saleh adalah yang mampu membantu orang tua untuk merefresh ingatannya. Inilah cara membantu agar orang tua lepas dari salah satu gejala penuaan dini.
“Motor penggerak reformasi itu diberi gelar Bapak Reformasi. Dan ingat, hanya ada beberapa manusia saja yang diberi gelar Bapak di negeri ini. Siapa saja? Pak Soewardi bapak Pendidikan, Pak Harto bapak Pembangunan, dan Amien Rois (saya menulis sesuai guru IPS mengeja nama itu) bapak Reformasi,” demikian Pak Rusanto memberi keterangan tambahan.
Maka, mendapati potongan video gebrakan podium itu, saya langsung teringat Pak Rusanto. Lelaki yang berdiri dan mencoba menenangkan calon presiden yang nampak emosional itu dua puluh tahun yang lalu sempat dianggap pahlawan, setidaknya oleh guru IPS kami.
Zaman kiwari, keadaan telah berubah. Lelaki sepuh itu nampak sempoyongan kehilangan kompas politiknya. Ia terombang-ambing oleh badai yang ia sendiri nampaknya tidak begitu cakap membaca dari mana arahnya. Keputusan politiknya sepasca menjadi calon yang gagal pada Pilpres 2004, semakin hari semakin tidak karuan.
Lama saya bernostalgia dengan pikiran dan kenangan saya sendiri tentang sosok lelaki sepuh ini. Saya juga teringat seloroh seorang kawan yang dengan sangat getol meyakini bahwa lelaki sepuh ini kualat kepada Gus Dur. “Ialah orang yang paling bertanggungjawab atas pemakzulan yang menimpa Gus Dur. Lihat saja, kelak ia akan jadi gelandangan politik,” demikian seloroh kawan itu.
Mayat-mayat kenangan tentang lelaki sepuh itu satu persatu muncul di benak. Sampai akhirnya sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya kembali. Rupanya dari kawan yang sama: si pengirim video. “Bagaimana?” Ia nampaknya menunggu jawaban saya.
Saya ucapkan bismillah dan saya jawab: “Amien Rais itu seperti Mario Balotelli. Bakatnya bagus, tapi sering salah milih klub. Makanya kalau ingin jadi juara, dukung klub yang tidak ada Balotelli-nya,” begitu saya menjawabnya.
Beberapa detik kemudian kawan itu membalasnya. Jawaban singkat “Asu”