Amien Rais yang Berubah, Layakkah Disebut Guru Bangsa?

Amien Rais yang Berubah, Layakkah Disebut Guru Bangsa?

Amien Rais justru tidak mendinginkan suasana dan justru gemar provokasi, masihkah guru bangsa?

Amien Rais yang Berubah, Layakkah Disebut Guru Bangsa?

Amien Rais membuat geram teman saya. Efeknya, ia tidak bisa menahan emosi. Padahal, dulunya, ia menganggap sosok tersebut adalah tokoh bangsa. Apalagi ia memiliki kedekatan dalam organisasi masyarakat Islam yang besar dan menjaga negeri ini. Tapi, Amien Rais, belakangan justru membuat gaduh dan tidak menenteramkan umat.

Apa yang telah terjadi kepada teman saya tersebut mungkin dialami juga oleh banyak orang, apalagi yang masih menghormati Amien Rais sebagai tokoh reformasi. Bagi generasi 80-an, Amien Rais adalah penulis unggul dengan karyanya yang memadati rak buku politik hingga keislaman di perpustakaan dan toko buku.

Saya tidak bersentuhan langsung dengan pidato-pidatonya di tengah mahasiswa yang sedang berdemo di Jakarta dan beberapa kota di Jawa, sehingga saat melihat pernyataan Amien di tengah aksi 22 Mei kemarin, yang berurusan dengan aksi polisi yang dianggap menembaki warga yang sedang melakukan aksi, saya langsung menyatakan ketidaksetujuan saya pada sesama teman atas pernyataan tersebut, tanpa rasa sungkan. Sebab, secara organisasi masyarakat dan garis keilmuan saya tidak memiliki beban langsung kepada AR, yang bisa menghambat respon saya atas pernyataan yang menyesatkan tersebut.

“Polisi seperti PKI tembaki Umat Islam Ugal-Ugalan,” tegas Amien Rais disambut dengan sahut takbir dari beberapa orang di sekitarnya kala berbicara di salah satu masjid di wilayah Jakarta menanggapi aksi 22 Mei kemarin.

Pernyataan ini, dalam amatan saya, jelas sekali bermasalah karena di dalamnya mengandung penyesatan atas fakta dan penggiringan opini kepada masyarakat.Fakta yang disesatkan dari pernyataan tersebut adalah, Amien tidak menjalani apa yang disebut dalam hukum, prasangka tidak bersalah. Apalagi, urusannya senjata. Kalaupun selonsong peluru ditunjukkan AR dalam pernyataan tersebut adalah yang menyebabkan hilangnya nyawa salah seorang demonstran, harusnya ia juga tidak mengabaikan apakah benar selonsong tersebut dari senjata yang dipegang oleh polisi yang berjaga dan melakukan pengamanan selama aksi berlangsung.

Pernyataan AR jelas bertendensi Polisi sedang berhadapan dan bermusuhan dengan Umat Islam, yang sebenarnya pernyataan ini seharusnya tidak keluar dari sosok sekelas AR. Dalam posisi sebagai guru Bangsa AR seharusnya bisa menjadi pengayom dan peneduh suasana yang sedang memanas kemarin, bukan malah membuat keadaan makin panas dan tegang antara aparat dan warga.

Jika Amien berkomentar yang menyejukkan, pekikan takbir yang menggema membakar semangat para peserta aksi bisa jadi berubah menjadi kesadaran baik atas fakta soal selonsong tersebut. AR sebenarnya bisa memberikan pernyataan bahwa Polri harus mengusut tuntas hilangnya nyawa tersebut, demi keadilan.

Jadi Polri dituntut untuk mengusut apakah selonsong tersebut berasal dari senjata polisi yang bertugas atau dari senjata lain yang sengaja digunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membakar emosi para demostran lain. Persoalan kedua dari pernyataan AR adalah penggiringan opini warga bahwa polisi disusupi oleh paham PKI, notabene partai terlarang di Indonesia.

Banyak esai dan artikel yang membahas soal isu PKI dalam konstestasi politik Indonesia, khususnya kala Jokowi mencalon menjadi Presiden RI di tahun 2014 kemarin. Saya mencoba membuka persfektif baru dalam persoalan ini berkaitan dengan pernyataan AR di atas.

Saya meneroka pernyataan AR di atas adalah bagian dari menjaga emosi dan kebencian warga, terutama kalangan muslim atas sosok Jokowi sebagai representasi panglima tertinggi TNI-Polri. Namun, bagian berbahaya dalam pemeliharaan kebencian dan emosi ini akhirnya menjadi bagian pembentukan identitas diri.

Louis Althusser menjelaskan bahwa kekuatan sebuah ideologi lahir dari kemampuannya melibatkan kelas subordinat dalam diskursusnya, hingga bisa menuntun mereka pada identitas konstruk sosial. Kondisi tersebut jelas memiliki konklusi logis dari konstruksinya adalah tidak pernah ada jalan keluar dari sebuah ideologi dominan. Karena, sekalipun materi pengalaman sosial kita berkontradiksi dengannya, maka satu-satunya piranti yang kita miliki dalam memaknai akan pengalaman sosial niscaya memiliki muatan ideologis.

Oleh sebab itu, Althusser menjelaskan bahwa pemaknaan akan diri kita dalam relasi sosial dan pengalaman sosial adalah hasil dari praktik ideologi dominan.Di sinilah permasalahan Umat Islam dengan persoalan PKI di Indonesia yang sangat pelik tersebut, membuat kebencian dan emosi pada partai terlarang tersebut dijadikan bagian tafsiran bagaimana menjadi bagian Umat Islam yang baik.Sebab, ideologi dominan di masyarakat dikonstruksi untuk membenci PKI, entah apapun itu bentuknya dan tidak perlu mengetahui apa sebenarnya dalam persoalan yang sudah berumur puluhan tahun.

Jadi, kalau anda ingin menjadi bagian Umat Islam yang mayoritas di Indonesia maka bencilah pada PKI, walau anda tidak memiliki keislaman yang baik. Pernyataan AR jelas sekali masih terjebak dalam persoalan masa lalu yang pernah dikonstruksi oleh Orde Baru, padahal beliau jelas memahami bagian tersebut adalah lembar paling kabur yang sulit bagi kita memahaminya secara jelas. Tapi, narasi tersebut dipakai AR dengan maksud membakar emosi warga atas Pemerintahan sekarang ini, dengan narasi yang tersembunyi dalam pernyataan tersebut adalah jika anda ingin menjadi warga negara sekaligus muslim yang baik, maka lawanlah rezim (dalam representasi Polri) karena memiliki kesalahan besar yaitu menembaki umat Islam yang dulu pernah dilakukan oleh PKI dulu.

AR sebagai salah satu tokoh politik paling senior dan memiliki beban tanggung jawab sebagai guru bangsa, seharusnya bisa lebih bijak dalam berkata-kata dan tidak menambah keras segregasi yang telah terjadi selama ini di Indonesia. Sebagai orang yang pernah menikmati karya tulis beliau, turut mendoakan agar beliau bisa kembali menjadi pengayom di tengah kekisruhan politik di bangsa ini.

Fatahallau alaihi futuh al-arifin