Amien Rais marah besar. Dalam sebuah video, ia meluapkan kekesalannya dengan perasaan campur aduk: “… menangis, betul-betul sedih, tapi marah…”
Tak hanya itu, Amien Rais bilang kalau “polisi-polisi yang berbau PKI telah menembaki umat Islam secara ugal-ugalan”. Lalu, ia yang mengaku bersama umat Islam menuntut pertanggung-jawaban Kapolri Tito, sebab jika tidak, menurutnya hal itu bisa memicu amarah orang Islam.
Amien Rais mungkin benar. Para demonstran yang berunjuk rasa pada Maret 2019 tanggal 21, 22 dan ntah sampai kapan di Ibu Kota itu memang kebanyakan adalah orang Islam.
Bahkan mereka, sebelum terjadi huru-hara, sempat menggelar salat tarawih berjamaah. Selain itu, berbagai pernak-pernik “islami” juga terpantau melimpah melilit tubuh para demonstran, dari kaki sampai kepala.
Tapi, ia juga sangat mungkin keliru. Amien Rais sepertinya tidak tahu, atau malah tidak mau tahu kalau aparat keamanan yang mengawal aksi massa itu juga ternyata kebanyakan Muslim. Kendati memang mereka tidak berjubah, berpeci, bersorban, atau bahkan tidak menenteng dan mengibas-ngibaskan bendera tauhid.
Buktinya, Pak Polisi dan aparat lainnya juga masih meluangkan waktu untuk sembahyang atau Salat. Bahkan kabarnya, mereka gabung dengan jamaah tarawih para demonstran. Termasuk himbauan Pak Polisi kepada para pengunjuk rasa agar menunaikan sahur mengingat aksi itu berlangsung pada bulan Ramadhan juga menegaskan kalau mereka masih menghormati ibadah umat Islam.
Lalu, di mana letak masalahnya?
Ternyata Amien Rais-lah masalahnya. Sebab, bukan Amien Rais namanya jika tidak memunculkan masalah. Apalagi mengingat ia merupakan tokoh yang lahir dari rahim intelektual formal, Amien Rais tentu sangat paham bagaimana membuat rumusan masalah.
Hanya saja, masalah-masalah yang ia buat selama ini malah menunjukan kalau dirinya tidak cakap membuat masalah, alih-alih kegelisahan seorang intelektual.
Sejak ia memunculkan istilah paling aneh, partai setan vs partai Allah misalnya, tidak perlu gelar selangit professor saya kira, bahkan orang halu atau awam pun terlampau sanggup untuk mempolitisasi agama.
Di tambah, pengelihatan “supranaturalnya” yang sempat menyebut adanya makhluk astral, sebut saja genderuwo dan jin sebagai pihak yang kata dia akan mengganggu keberlangsungan Pemilu 2019, menunjukan kalau Amien Rais rupanya salah jurusan.
Lagi pula, sebagai politisi senior dengan rekam jejak yang cukup panjang di gelanggang perpolitikan nasional, tentu saja ia mengerti betul bagaimana cara mengkondisikan umat, salah satunya dengan menyulut emosi mereka.
Di titik ini, media sosial mempunyai peranan penting, yakni sebagai jembatan propaganda. Dan, ntah sengaja atau tidak, Amien Rais menyasar idiom paling dibenci umat karena salah paham luka masa lalu: PKI yang dibenturkan dengan orang Islam.
Beruntung Pemerintah lalu tanggap mengambil inisiatif membatasi pesebaran pesan singkat di media sosial. Meskipun hal itu juga tak menyelesaikan masalah.
Apa yang dilakukan Amien Rais itu rupanya berseberangan dengan himbauan Prabowo Subianto yang belakangan menghimbau agar pendukungnya tidak melakukan tindakan nekat.
Bahkan Prabowo sempat menyarankan agar mereka bersabar. Langgam serupa juga dikicaukan Sandiaga Uno dan Dahnil Anzar Simanjuntak lewat twitter.
Tapi apa boleh buat, massa justru kelihatan bodo amat. Para pengunjuk rasa lebih mendengar seruan Amien Rais yang membuat adrenalin mereka lebih terpompa ketimbang bersikap santun. Dengan demikian upaya meredam suasana yang ditempuh para elit BPN hanya dibuat kecut oleh sesepuhnya sendiri.
Hal itu, belum ditambah dengan komentarnya setelah terjadi korban jiwa dalam aksi massa 22 Mei lalu. Kata Amien Rais, People Power yang ia inisasi hanyalah people power yang enteng-entengan belaka. Apa maksudnya? Embuhlah. Lalu, siapa yang disalahkan atas jatuhnya korban? Kukira, kita bisa jernih menjawabnya sekarang.