“The question is disturbing nevertheless. We reject the foreign school in order to remain ourselves and to preserve for God the place He holds in our hearts. But have we still enough force to resist the school, and enough substance to remain ourselves?”
“Apakah kita masih punya cukup kekuatan untuk menangkal sekolah (modern), dan cukup substansi untuk tetap menjadi diri sendiri?”
Kutipan menyayat itu disampaikan oleh Thierno, guru sekolah al-Qur’an di Dialloube. Masyarakatnya, tak terkecuali para bangsawan sebagai pemimpin, sedang riuh oleh kebingungan menghadapi gempuran sekolah modern yang dibawa pemerintah kolonial Prancis.
Di satu sisi, mereka tahu betul harga yang akan dibayar ketika mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah modern, alih-alih ke sekolah al-Qur’an sebagaimana tradisi yang telah berabad-abad usianya. Chief Dialloube menimbang-nimbang, “But, learning, they would also forget. Would what they would learn be worth as much as what they would forget? I should like to ask you: can one learn this without forgetting that, and is what one learns worth what one forgets?”
Di sisi lain, mereka juga tidak mampu menahan penetrasi sekolah baru. Apakah sekolah al-Qur’an bisa menahan laju gerak zaman baru? Pertanyaan berat ini menjadi medan pertarungan batin berbagai pihak. Tidak ada yang tahu betul jawabannya. Semua hanya bisa meraba-raba. Apesnya, meski dalam kegelapan, mereka harus tetap mengambil keputusan.
Ambiguous Adventure (L’adventure ambique), novel yang ditulis oleh Cheikh Hamidou Kane asal Senegal dan terbit tahun 1961 ini merekam dilema yang mewarnai pertemuan antara Prancis-Eropa dan Afrika Barat pada masa penjajahan. Lewat perjalanan sosok Samba Diallo dan orang-orang di sekitarnya, Kane menggambarkan kerumitan pertemuan asimetris antara dua peradaban ini dan efeknya bagi subyek Afrika Barat.
Samba Diallo adalah keturunan bangsawan. Sepupunya adalah seorang chief Dialloube, dan ayahnya seorang knight. Samba dilamar khusus oleh guru Thierno sebagai santrinya karena ia melihat bakat spiritual anak ini. Thierno ingin mendidiknya langsung. Di usia enam tahun, orang tua Samba memondokkannya. Dalam konteks ini, itu artinya orang tua menyerahkan dan memercayakan jiwa raga anak ini kepada sang guru untuk dibentuk, ditempa. Demikianlah, Theirno memahat jiwa dan tubuh Samba dengan Kalamullah. Semua orang menerawang, kelak Samba akan menjadi penerus Thierno.
Guru sekolah al-Qur’an bukan peran sembarangan. Sebagai penubuhan dari al-Qur’an itu sendiri, guru al-Qur’an menjadi tempat orang meminta nasihat dan pandangan, mulai dari rakyat jelata sampai bangsawan. Ia adalah jangkar spiritual bagi masyarakatnya.
Di tengah Samba menjalankan pendidikannya di sekolah al-Qur’an, tekanan sekolah modern semakin menguat. Rakyat membutuhkan fatwa, apakah mereka harus mengirimkan anak mereka ke sekolah modern atau tetap ke sekolah al-Qur’an?
Sampai pada suatu ketika, kakak tertua chief yang dikenal dengan The Most Royal Lady, mengambil sikap. Ia berpandangan bahwa mereka harus mengirim anak-anak mereka ke sekolah modern, sehingga anak-anak ini bisa belajar “how they conquer without being in the right,” bagaimana orang-orang Prancis ini bisa menaklukkan meskipun tidak di pihak yang benar.
Pidato the Most Royal Lady begitu menggetarkan. Begini kata dia, “The school in which I would place our children will kill in them what today we love and rightly conserve with care. Perhaps the very memory of us will die in them. When they return from the school, there may be those who will not recognize us…”
Ia sebenarnya tahu betul risiko dari keputusan itu. Orang-orang juga tahu bahwa ini lebih efektif dari mesiu, sekolah menjadikan penjajahan kian abadi. Apapun, the Most Royal Lady telah bulat dengan keputusannya itu.
Singkat kata singkat cerita, akhirnya, Sambapun ditarik dari sekolah al-Qur’an untuk dikirim ke sekolah modern. Sampai akhirnya ketika dewasa, ia belajar filsafat di Prancis.
Novel ini bukan hanya merekam pertemuan antara sekolah al-Qur’an dan sekolah modern, tetapi pertemuan antar jantung dua peradaban. Jantung peradaban Afrika Barat adalah spiritualitas. Jantung Prancis-Eropa adalah materialisme. Bagaimana Samba, yang punya memori sebagai santri, atau telah dipahat sebagai santri, dan kini sebagai mahasiswa di Prancis, hidup dengan dua jantung yang berbeda ini? Apakah ia bisa menyelaraskannya? Bisakah ia belajar sesuatu yang baru tanpa melupakan yang lama?
Krisis Identitas
Berikutnya, novel ini merekam bagaimana pertemuan ini melahirkan krisis identitas dan ambiguitas dalam pribadi Samba. Di sampul belakang buku ini tertulis, “Initially Samba Diallo is excited by his contact with Western culture and when he chooses to study philosophy at Paris he sees it as offering the most direct access to the European mind. But he rapidly finds that he is in an ambiguous situation for, while he has become estranged from the simple faith of his people, he is unable to identify with the soulless material civilization he sees in French.” Samba terjebak dalam situasi ambigu. Dia tercerabut dari akar tradisinya, tetapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengasosiasikan dirinya dengan peradaban Prancis yang “tak berjiwa,” “mekanik,” dan “dehumanis.”
Terkait bagaimana sekolah modern membentuk alam pikir baru, salah satu bagian paling menarik adalah ketika Samba begitu gelisah karena mendapati dirinya bisa membayangkan “to live” dan “to pray” sebagai dua kategori yang berbeda. “To live” merujuk kepada kehidupan sehari-hari. “To pray” adalah waktu-waktu sejenak yang dipakai untuk mengingat Tuhan di sela keseharian itu. Pembedaan ini sama sekali tak terbayangkan di masyarakatnya. Bukankah sebagaimana diajarkan gurunya, Thierno, hidup adalah zikir dan zikir adalah hidup? Pemisahan-pemisahan ini memang khas filsafat modern, seperti pembedaan yang sekuler dan agamawi, yang profane dan sacred, ilmu dan amal, atau dikotomi lainnya.
Novel ini adalah meditasi tentang subyek paska-kolonial yang penuh kebingungan. Mau diakui atau tidak, bukankah Samba adalah gambaran dari kita semua? Kitapun perlu menjawab pertanyaan yang menggelisahkan guru Thierno dan para tokoh lain di novel ini: Dalam membentuk diri yang baru, sebagai keniscayaan dari pertemuan dengan zaman baru ini, “apakah kita masih punya substansi untuk menjadi diri kita sendiri?”
Saya mengenal novel ini lewat Rudolph Ware III alias Bilal Ware, penulis buku The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa. Rupanya, novel ini menjadi salah satu inspirasi Bilal Ware menulis buku tersebut. Seperti halnya buku ini, Ware berkisah tentang sekolah al-Qur’an di Afrika Barat, Senegal, dan bagaimana ia menghadapi gempuran imajinasi baru orang modern (Cartesian) tentang apa itu ilmu dan bagaimana ilmu mesti ditransmisikan, apakah lewal reason atau akal semata, atau juga lewat tubuh, juga isu-isu lain.
Pertanyaan mendasar novel dan buku ini bisa menemani siapapun untuk merenungkan kembali dunia pendidikan di Indonesia. Sekali lagi, bukankah kita punya kisah yang mirip dengan Samba? Atau, jangan-jangan kita adalah generasi setelah Samba yang bahkan tidak tahu apa yang sudah kita lupakan?