Anda tentu akrab dengan istilah di atas judul di atas. Dan saya kira, Anda juga tidak keheranan bila istilah tersebut menjadi sangat sering didengar, sehingga mungkin membuat kita tak merasa perlu bertanya apa makna keduanya. Kenapa amar ma’ruf, dan tentu nahi mungkar bisa sedemikian masyhur?
Setidaknya ada dua alasan. Pertama, karena istilah tersebut menjadi semacam kata kunci dalam menjalankan agama secara aktif, sungguh-sungguh, dan oleh karenanya, nilai agama seseorang dapat sempurna. Kedua, karena jumlah pemeluk Islam negeri ini menduduki peringkat pertama, sehingga otomatis, istlah tersebut mudah kita dengar dan baca di manapun.
Amar ma’ruf dan nahi mungkar makin cetar membahana lebih-lebih setelah dikibarkan sebagai ‘moral koletif’, misalanya menjadi salah agenda organisasi. Organisasi-organisasi keislaman yang berkembang di masyarakat sejak sebelum Indonesia merdeka, seperti Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Al-Washliyah dan sebagainya, istiqomah memegangi amar maruf nahi mungkar sebagai gerakan keagamaannya.
Memang, tidaklah berlebihan jika amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi salah satu tema utama dalam pembahasan Islam, mengiringi kata Iman dan Islam. Para Sesepuh Islam sering mengumpamakan amar ma’ruf dan nahi mungkar bagaikan ‘kaki tangan’, Muslim tanpa berbuat amar ma’ruf dan nahi mungkin bagaikan tubuh tanpa ‘kaki tangan’.
Oleh sebab itu, dalam Al-Qur’an, amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan syarat untuk menjadi khoiro ummah (umat terbaik), “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintah kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Dalam definisi yang sederhana, amar ma’ruf berarti menyeru kepada sesuatu yang terkenal, masyhur, populer. Ma’ruf secara bahasa diartikan diketahui dikenal. Orang Arab menyebut kebiasan dengan al-‘urf atau al-‘adah. Dua kata tersebut telah menjadi bahasa kita, adat. Dari situ, amar ma’ruf, menurut hemat saya, sebetulnya bukan seruan untuk shalat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah (bersifat pribadi) lain yang secara khusus telah disebutkan sendiri. Tapi seruan kebaikan yang bersifat kolektif atau sosial, seperti sistem pendidikan yang mencerahkan, sistem politik yang berkeadilan, sistem ekonomi yang memihak pada yang lemah, hingga seruan membuang sampah pada tempatnya.
Amar ma’ruf bersifat relatif, tidak mutlak-mutlakan, karena bukan tidak mungkin di satu tempat ma’ruf, di tempat lain tidak. Sudah pasti, seruan kebaikan ini sejauh tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran lain dalam Islam.
***
Dari pengalaman-pengalaman perilaku keagamaan di masyarakat, saya melihat bahwa konsep amar ma’ruf dan nahi mungkar yang seharusnya berjalan beriringan, tidak ada yang ditinggal, tidaklah banyak terjadi. Memang benar bahwa amar ma’ruf dan nahi wungkar adalah dua hal yang berbeda. Tapi tidaklah tepat jika kita berpikir dikotomis seperti itu. Sebab, Al-Qur’an selalu menyandingkan keduanya.
Kalaupun musti ada prioritas (aulawy) untuk beroperasi, maka yang berhak (maaf jika kesimpulan ini menerima revisi) adalah konsep Amar Ma’ruf. Dan otomatis, konsep nahi mungkar disimpan dulu. Kenapa saya berpendapat demikian? Pertama, Amar ma’ruf selalu disebut lebih dulu, dan nahi mungkar mengikuti di belakangnya.
Kedua, karena hasil dari amar ma’ruf bukan saja orang akan melakukan perbuatan baik, dan pada saat bersamaan orang tersebut tidak akan melakukan keburukan. Contoh, ketika kita diperintahkan berdagang, lalu kita akan berdagang secara wajar, termasuk mematuhi aturan-aturan perdagangan. Lalu bagaimana jika dalam berdagang kita melakukan kecurangan? Sudah jelas, kita telah melanggar perintah berdagang. Tapi, kesalahan kita bukan berasal dari kesalahan orang yang melakukan amar ma’ruf.
Nahi mungkar, bila disebut sebuah konsep aturan, adalah konsep ‘setengah hati’. Kok bisa begitu? Sederhana saja. Nahi mungkar, secara lafdiyah, hanya dapat menghentikan keburukan, tidak lebih. Atau minimal, terhentinya aktivitas keburukan, tidak serta merta dilanjutkan dengan kebaikan. Betul bahwa tidak melakukan keburukan adalah kebaikan. Tapi, kalau hitungannya adalah pahala, maka pahala yang didapat hanya pahala tidak melakukan keburukan saja.
Contoh, ketika ada aturan bahwa pelacur dilarang ‘praktik’. Maka bila pelacur tadi mematuhinya, dia hanya mendapat ‘pahala’ satu saja, yaitu pahala mematuhi larangan terebut. Setelah tidak ‘praktik’, dia tidak melakukan apa-apa. Lah lalu ngapain? Ndoblong? Jika pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara menyakinkan, bukan mustahil dia akan kembali lagi ‘mangkal’. Fakta seperti inilah yang tampaknya sudah dan sedang terjadi.
Mungkin akan berbeda ceritanya jika nahi mungkar diganti dengan amar ma’ruf. Bagaiamana dengan kaidah fiqih yang berbunyi, dar`ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih, menolak keburukan harus didahulukan daripada mendatangkan maslahah? Lain waktu kaidah ini akan diulas tersendiri. Insya Allah.
Akhirul kalam, wajarlah ketika ada orang yang lebih kepincut kepada konsep amar ma’ruf ketimbang nahi mungkar. Pemeluk Islam negeri ini, biasanya memperlihatkan “keberpihakannya” terhadap konsep amar ma’ruf dalam wujud pemberian nama untuk orang. Kita sering menjumpai orang bernama Amar Ma’ruf, Amir Ma’ruf, atau yang semakna dengannya. Saya sendiri punya tiga teman yang menyandang nama Amar Ma’ruf dan dua teman bernama Amir Mar’uf.
Sebaliknya, saya belum pernah mendengar, apalagi berkenalan dengan orang yang bernama Nahi Mungkar. Saya kira alasannya bukan karena tidak indah didengar, apalagi karena terkesan mengandung keburukan. Tidak, sama sekali tidak. Nahi mungkar sama indahnya dengan amar ma’ruf dan sama sekali tidak mengandung keburukan. Keduanya sama-sama positif. Bedanya cuma yang satu menunjukkan kata perintah (Amar Ma’ruf), satunya kata larangan (Nahi Mungkar). Lalu apa alasannya?
Alasannya seperti yang terungkap di atas. Fungsi Nahi Mungkar sangat minimalis, hanya bisa menghentikan orang untuk tidak berbuat keburukan saja. Pendek kata, sebagai sebuah konsep aturan yang utuh, Nahi Mungkar tidak cukup efektif.
Saya juga belum pernah mendengar nama orang yang diambil dari gabungan keduanya, Amar Ma’ruf Wa Nahi Mungkar. Alasannya jelas, antara lain, karena terlalu panjang.
Dus, jangan berkata dua hal berbeda tanpa kata penghubung ‘dan’. Menulis atau berkata amar ma’ruf nahi mungkar tidak boleh. Sebab, Al-Qur’an menulisnya dengan penghubung ‘dan’. Sekali lagi karena keduanya berbeda, dan pasti punya tugas dan fungsi yang berbeda pula. wallahu a’lam bishshowab. []