Amah binti al-Mahamily: Ulama Fikih Perempuan

Amah binti al-Mahamily: Ulama Fikih Perempuan

Amah adalah ulama perempuan yang kompeten di bidang fikih, beliau banyak mengajarkan banyak orang dari kalangan laki-laki maupun perempuan.

Amah binti al-Mahamily: Ulama Fikih Perempuan

Ulama dari kalangan perempuan bukan hal yang asing lagi. Tak usah jauh-jauh, di beberapa tayangan ceramah di layar televisi pun sudah banyak diisi oleh kalangan ustadzah.

Eksistensi keulamaan dari kalangan wanita perlu adanya, sebagaimana dikutip dari islami.co, kehadiran mereka untuk menyampaikan beberapa perkara yang tidak dapat disampaikan seorang ustad kepada jamaah wanita. Untuk contoh ulama wanita, kita bisa mengambil teladan dari Amah Binti Al-Mahamily.

Nama lengkap beliau adalah Amah binti Al-Qodhy Al-Husain bin Isma’il Al-Mahamily, seorang ahli fikih mazhab syafii pada zamannya, dan kerennya, beliau dari kalangan wanita. Disamping ahli fikih, beliau pun seorang muhaddis, hafal al-Quran, dan memiliki daya hafal yang kuat.

Dikutip dari kitab A’lam al-Mubaddi’in min ‘Ulama al-‘Arob wal Muslimin, beliau tumbuh berkembang di lingkungan rumahnya sendiri yang penuh dengan nuansa keilmuan dan keagamaan.

Beliau berguru pada ayahnya, yaitu al-Qodhy al-Husain bin Isma’il al-Mahamily yang termasuk ulama kibar pada masanya. Sang ayah mengajarkan puterinya beberapa ilmu-ilmu dasar seperti bahasa, membaca dan menulis.

Hal tersebut sebagaimana dituturkan sendiri oleh Binti Al-Mahamily, “Ayahku adalah ustadku sekaligus guru yang telah memeberikanku pendidikan keagamaan, darinya lah aku belajar kitab-kitab Sunan, dan beliau juga telah menggali ranah keilmuan bagiku”.

Selain berguru kepada ayahnya, beliau juga berguru kepada beberapa ulama seperti Isma’il Al-Warroq, Abdul ghofir bin Salamah Al-Hamshy, Abu Al-Husain Al-Misry, Hamzah Al-Hasyimy Al-Imam, dan masih banyak lagi.

Setelah menguasai ilmu fikih secara matang, Binti Al-Mahamily dijadikan rujukan ilmu fikih bagi orang-orang pada masa itu. Keadaan ini beliau dapatkan setelah mempelajari ilmu fikih secara mendalam, sehingga kedudukan beliau dapat disandingkan dengan derajat mufti di daerah Baghdad saat itu. Beliau juga sering mengikuti pertemuan bersama Fuqaha Syafi’iyyah (para ahli fikih dari kalangan syafiiyah), diantara mereka yaitu Ibn Abi Hurairah.

Yang dimaksud dari Ibn Abi Hurairah di sini bukanlah anaknya Abu Hurairah sahabat nabi, melainkan beliau adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Husain bin Abi Hurairah al-Baghdadi, salah seorang ahli fikih safiiyah yang mensyarah Mukhtashor al-muzanni, beliau wafat pada tahun 345H sebagaimana yang tercantum dalam kitab Syiar a’lam an-nubala.

Bukti bahwa beliau adalah ulama perempuan yang kompeten di bidang fikih, beliau banyak mengajarkan banyak orang dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Bahkan anaknya yang beliau ajar sendiri pun menjadi salah satu qadi (hakim) besar, yaitu al-Qodhi Muhammad bin Ahmad bin al-Qosim al-Mahamily.

Dalam kitab Thobaqot as-syafi’iyyin,karya Abu al-Fida Isma’il bin ‘Amir al-Bashri ad-Dimasyqi, beliau digambarkan sebagai muslimah yang memiliki keutamaan, banyak bersedekah, dan bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan. Beliau meninggal pada bulan Ramadhan tahun 377H.

Dari biografi singkat Amah binti Al-Mahamily ini, kita semua khususnya para muslimah dapat mengambil pelajaran bahwa seorang perempuan pun dapat bersaing di persaingan papan atas, asal mereka mau berusaha sungguh-sungguh. Tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, perempuan juga bisa menjadi ulama yang membanggakan dan memberikan sumbangsih besar kepada bangsa dan negara. Bukan begitu?