Di gerbong kereta, saya menemukan banyak orang membaca Al-Quran, apakah orang Indonesia memang kian religius atau sekadar fenomena musiman belaka?
Kereta Api memang bukan sekadar alat transportasi semata. Sejak komersialisasinya pertama kali di Inggris sekitar 1825, Kereta Api telah melapisi jalan peradaban manusia dengan sangat baik, termasuk di Jakarta dengan KRL sebagai wadah warga ibukota beraktivitas. Dalam gerbong kereta itu, kita dapat berbicara apa saja. Di beberapa pengalaman saya menumpang, hampir setiap hal dibincangkan penumpang; politik terkini, bos kantor yang sexy, demonstrasi, kawan yang jomblo, hingga perkara pinjam duit.
Namun ada beberapa peristiwa dalam gerbong KRL yang unik diamati. Di tengah arus lalu-lintas kereta, nyatanya gerbong-gerbong KRL menyediakan ruang –walaupun sempit- bagi para penumpangnya untuk menumpahkan sisi lain dari manusia ibukota. Kecenderungan pada perkara agama. Begini kisahnya;
Lantunan ayat suci tiba-tiba terdengar dari sisi kanan gerbong KRL. Hari itu, suasana kereta sejatinya cukup lengang. Namun karena malam,lantunan itu mengundang setiap mata meliriknya. Kian lama, suaranyakian jelas terdengar. Saya tak tahan dan dengan penuh keyakinan melirik ke arah suara tersebut. Benar saja, satu setengah meter dari saya ada pelantun ayat suci di gerbong kereta.
Seseorang dengan ciri khusus dan setengah malastengah menggenggamhand grip. Dengan earphone terpasang di kedua telinga, matanya yang tertutup sungguh syahdu membarengi bacaan ayat suci dari telepon genggam seakan tak hirau orang sekitar. Walau akhirnya tak lama, namun kejadian itu menunjukan sesuatu yang lain. Semacam ekspresi yang ingin ditunjukan ke khalayak.
Di kesempatan lain, sering saya jumpai kejadian serupa. Pada satu senja yang padat, kereta yang saya tumpangi meluncur dari Cikini agak lambat. Semua tentu mafhum, dengan situasi antrean yang menyemut, pada jam-jam itu mendapat bagian di kereta merupakan anugerah tersendiri. Kalau tak pandai memantau celah berdiri, akan sial tak pulang pulang.
Tiba-tiba di tengah padatnya gerbong, suara panggilan ibadah menyeruak dari saku kemeja seseorang. Suaranya jelas dan memecah sisi lain keributan penumpang. Uniknya, si pemilik membiarkan panggilan ibadah itu hingga tuntas dengan memenuhi volumenya sampai pucuk.
Alhasil, sekira setengah gerbong orang turut menikmati suguhan itu.Barangkali si empunyamerasa lebih beriman danmendapat poin pahala besar lantaran telah memperdengarkan ‘panggilan’ atas orang setengah gerbong, tak peduli apa agama mereka. Semoga harapan itu -kalaupun benar- terkabul juga.
Tapi terkadang di sini masalahnya. Keinginan mengekspresikan refleksi keagamaan sering meninggi tanpa melihat dimana konteks masyarakatnya. Kita sering sembarang saja mengumbar ekspresi keagamaan tanpa menimbang, apakah orang di sekitar kita punya rasa yang sama atas perbuatan itu. Tentu, kita tak punya masalah pada ekspresi itu. Namun mengumbar semacam ekstase keagamaan pribadi di hadapan umum bisa jadi hanyalah sebuah bentuk egoisme etis, dimana ‘hak,’ –mengutip Domenic Marbaniang- hanya merupakan bagian dari realisasi diri, sehingga apa yang dirasa menguntungkan diri sendiri, termasuk sikap keagamaan, merupakan tujuan akhir dari kebahagiaan. Dimensi ini, menurut saya, hanya akan menegasikan hak orang lain yang seharusnya memiliki peluang yang sama untuk ditampilkan.
Karenanya, kegagalan kita dalam membaca keadaan sekitar dalam mengekspresikan sikap keagamaan, hanya akan melahirkan kelanjutan dari egosentrisme primordial. Dalam perkara agama, posisi ini bahkan akan berubah meresahkan entitas lain di luar diri, sehingga tak jarang ekspresi menolak tindakan konyol tersebut justru berbuah negatif. Alih-alih menyampaikan saran, bisa dituduh merecoki urusan Tuhan. Sebuah tuduhan yang akan menghukum kita enambelas keturunan.
Satu contoh lain; dalam perjalanan Depok-Manggarai, satu orang disebelah kiri saya dengan serius membaca “Religion and The Enlightenment; From Descartes to Kant” anggitan James M. Byrne. Salah satu buku yang memuat pertentangan ide mengenai pencerahan manusia dari Descartes, Rousseau, Spinoza, hingga Voltaire. Di buku itu, gagasan-gagasan besar akan relasi agama dan ilmu pengetahuan yang melatarbelakangi bagaimana manusia (khususnya Eropa) melihat dunia sekarang, berkelindan dalam satu pertanyaan penting; Apa yang membuat agama, sejak abad ke 18 memengaruhi pandangan hidup manusia, sedangkan di sisi lain peradaban sekuler bangkit secara gradual?
Pembaca buku itu nyatanya bertolakbelakang dengan apa yang dilakukan orang sebelah kanan saya yang tetap ngotot membaca kitab suci sembari berdiri, menutupnya sesekali, dan disesaki perempuan kanan dan kiri. Ia tak lagi hirau apakah badan dan tubuh saling tindih asalkan bisa mendaras kitab suci. Saya kira, membaca kejadian kontras saat itu dapat saja menjadi fondasi penting bagaimana kita melihat arah perkembangan dunia sekarang ini. Di abad ke 21, kata André Malraux dalam Nations under God; The Geopolitics of Faith in the Twenty-First Century, dunia akan menjadi sangat religius, tapi juga bisa tidak.
Pengalaman di gerbong-gerbong kereta itu tampaknya menunjukan jalan terang bagi kita, khususnya di Jakarta, bahwa ada arus besar yang sedang menggeliat di hadapan kita; mereka yang tiba-tiba beriman dengan memilih untuk seperti memakai ‘kacamata Kuda’ dengan meniadakan entitas kebenaran yang lain.
Lalu, apakah Indonesia memang benar-benar kian relijius seperti yang saya katakana di awal tulisan ini? Saya belum bisa menjawabnya. Apakah anda bisa membantu saya?